Media Siber Dominasi Pengaduan

images

 Hal serupa juga terjadi di tahun lalu. Meskipun jumlah pengaduan menurun drastis tahun ini, namun dominasi pengaduan yang berkaitan dengan media online tetap mendominasi. “Dari Januari sampai April ada 60 pengaduan yang masuk, separuhnya tentang media online,” kata Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Imam Wahyudi, dalam diskusi: “Membedah Malapraktik Media Siber” di Malang, Minggu (14/6/ 2015). Kebanyakan pengaduan tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan media siber, seperti berita yang tak berimbang atau konfirmasi sanggahan yang tak berada dalam satu laman yang sama dengan berita awal. Tahun lalu, kata Imam, dari sekitar 500 pengaduan, separuhnya juga menyangkut media siber. Selain itu, media siber yang mengejar kecepatan seringkali melupakan kredibilitas sumber. Informasi dari akun jejaring sosial dicomot dengan mudah menjadi berita tanpa diverifikasi kebenarannya. Sumber yang tak kredibel dan berita sumir acap kali digunakan untuk mendongkrak pembaca. “Banyak media yang melanggar pedoman media siber,” katanya. Dewan Pers mencatat ada tiga media siber yang telah dilaporkan dan bersengketa dengan narasumber. Yakni beritajatim.com, antaranewas. com, dan surabayapost.co.id. Laporan disampaikan oleh manajemen sebuah hotel atas pemberitaan ketiga media yang dianggap tidak  profesional. Kasus tersebut kemudian diselesaikan sesuai nota kesepahaman antara 
Dewan Pers, polisi, jaksa dan surat edaran Mahkamah Agung yang menegaskan penyelesaian kasus sengketa pemberitaan diatur dengan mekanisme undang-undang pers. “Awalnya dilaporkan kasus pencemaran nama baik ke polisi, tetapi kemudian bisa diselesaikan dengan menggunakan undang-undang pers,” ucap Imam. Dewan Pers meminta media online tetap berpedoman pada kaidah jurnalistik dan kode etik dalam memproduksi berita. Berita yang mengejar jumlah pembaca lebih banyak memang penting, namun tidak boleh mengabaikan kepentingan publik.
Haus berita D a l a m d i s k u s i y a n g diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang itu, narasumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Anita Rachman menambahkan, malapraktik media siber muncul karena tuntutan pembaca. Namun, perusahaan pers tak memberikan pendidikan dan pencerahan kepada pembaca. Ruangan yang tak terbatas membuat media siber selalu haus berita. “Berita vulgar, seperti koran kuning yang paling banyak klik. Media siber juga terkadang seperti tak pernah merasa kenyang dengan berita,” katanya. Semakin banyak pengunjung ke situs berita, tambah Anita, maka semakin banyak diburu pemasang iklan. Berita remeh temeh dan tak memiliki nilai berita yang kuat menjadi andalan. Sehingga, kata Imam, bisnis media siber menggiurkan dan menjanjikan banyak untuk membuat praktek itu kerap terjadi. “Salah satu portal media online besar butuh 22 bulan untuk bisa balik 
modal dan menghasilkan untung, tak perlu waktu sampai dua tahun,” katanya. Ini berbeda dengan media massa lain, seperti cetak, radio dan televisi yang membutuhkan waktu lama.    Terkait masalah itu, Imam membandingkan dengan sejumlah media di Inggris yang tak hanya mengandalkan iklan. Di negara itu perusahaan pers menyediakan sumur data serta memberlakukan paywall. Pembaca harus berlangganan dan membayar sejumlah uang untuk bisa mengakses berita di portal berita tersebut. Ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang memberikan berita secara gratis pada pembaca. “Mereka menerapkan paywall karena berita dibuat dengan mengeluarkan tenaga dan modal, tidak gratis. Berita juga terverifikasi dengan baik kebenarannya,” katanya. Data dari Dewan Pers menyebut terjadi lonjakan cukup besar dalam jumlah pengguna internet di Indonesia, dari 63 juta pengguna di tahun 2012 meningkat menjadi 82 juta pengguna di tahun 2014. Jumlah itu mencakup sekitar 31 persen dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2014, sekitar 253 juta jiwa dan sekitar 60 persen pengguna internet berasal dari usia 12 tahun hingga 35 tahun.

By AdminMediaCentre| 24 September 2018 | berita |