Dalam beberapa pernyataan, saya mengatakan: kemerdekaan atau kebebasan pers bukan sekedar hak, baik dalam makna human rights, fundamental rights, legal rights atau constitutional rights. Kemerdekaan atau kebebasan pers selain sebagai hak sekaligus sebagai kebutuhan. Kebutuhan peradaban. Walaupun seperti dikatakan Rousseau, peradaban atau civilazion itu dapat juga merusak atau membelenggu. Celakanya kita tidak mungkin keluar dari peradaban ciptaan kita itu. Karena itu, agar peradaban itu memberi sebesarbesarnya kemaslahatan, Rousseau mengatakan harus dilakukan to civilize civilization. Demikian pula kemerdekaan atau kebebasan pers, sebagai hasil atau sebuah peradaban dapat menjadi belenggu atau merusak baik untuk kehidupan pers sendiri maupun untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam rangka menjaga kemerdekaan pers, setiap tahun ada lembaga yang menilai peringkat kemerdekaan pers suatu negara. Beberapa kalangan di tanah air yang begitu cinta kemerdekaan
pers, sangat senang menggunakan penilaian itu sebagai cara menyebut, Indonesia secara hakiki belum memiliki kemerdekaan pers, karena tingkat kemerdekaan pers kita berada di bawah beberapa negara Asean tertentu apalagi negaranegara yang lebih berpengalaman berdemokrasi. Kadang-kadang hati saya membisikkan: apakah sikap yang menggunakan hasil survei peringkat kemerdekaan pers kita di bawah Myanmar atau Kamboja, tidak sekedar ingin memaksakan premis tanpa melihat kenyataan yang ada secara menyeluruh. Bahkan hati kecil saya mengatakan, sikap yang selalu bangga dengan hasil semacam itu pada dasarnya merupakan manifestasi inferior complex yang melihat semua yang dari luar atau yang berkaitan dengan dunia luar selalu lebih hebat dan sekali lagi sebagai internasionalisasi diri dengan mengabaikan nilainilai, kenyataan dan kebutuhan publiknya sendiri. Kemerdekaan pers sangat penting, baik sebagai hak atau kebutuhan. Tetapi kalau tidak dilaksanakan dengan disiplin, tanggung jawab dan kesadaran bahwa pers harus selalu merupakan cermin hati nurani publik, kemerdekaan atau kebebasan
pers tidak akan menjadi suatu kemaslahatan, tetapi dapat menjadi faktor yang akan merusak, baik pers itu sendiri maupun publik pada umumnya. Pers harus merdeka atau bebas, tetapi setiap segi kemerdekaan atau kebebasan pers harus dapat menjadi cermin peradaban yang berdisiplin, bertanggung jawab, dan memberikan sebesar-besarnya kemaslahatan bagi seluas-luasnya kepentingan publik. Pers sebagai hati nurani rakyat. Semua pelaku pers sudah semestinya sangat menghayati kenyataan yang harus ada agar pers merdeka dapat hidup dan berkembang secara wajar dan layak – antara lain. Pertama; kehadiran demokrasi. Semua pelaku pers tahu, tanpa demokrasi, pers bebas tidak mungkin hidup dan berkembang secara wajar dan layak. Tetapi bukan sekedar karena tidak perlu SIUPP, tidak ada sensor, tidak ada breidel. Meniadakan SIUPP, meniadakan sensor atau breidel penting sebagai kebutuhan internal pers maupun masyarakat di luar pers. Namun kebebasan semacam itu perlu ditopang oleh peri kehidupan masyarakat yang demokratis pula. Dengan suasana itu, akan ada hubungan yang saling menunjang antara pers demokratis dengan masyarakat demokratis. Perlu pula dicatat, tidaklah cukup kalau demokrasi dalam makna government by the people, hanya karena ada pemilihan umum yang teratur untuk mengisi lembaga-lembaga yang mewakili rakyat atau didukung rakyat. Sebagai suatu sistem atau bentuk kekuasaan, demokrasi tidak semestinya dipandang sebagai hal-hal prosedural belaka, tetapi substantif. Demokrasi dalam makna substantif dapat terwujud apabila rakyat banyak tidak sekedar bebas tetapi memiliki kecakapan dan tanggung jawab agar para wakil atau pejabat yang didukung rakyat banyak, terdiri dari orang-orang yang memiliki kecakapan dan sikap etik yang baik, mengetahui secara mendalam tugas utama yang mesti dihasilkan dan menjauhi segala perbuatan tercela baik dalam arti etik maupun hukum, serta bertanggung jawab kepada publik. Rakyat harus didewasakan agar menjauhi orang-orang yang hanya melihat demokrasi sebagai peluang untuk memperoleh dan memiliki kekuasaan serta sebagai peluang memperoleh fasilitas dan privilege dari kekuasaan. Sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, kita perlu pula menyadari, sisi lain dari demokrasi yang oleh para Founding Fathers kita disebut demokrasi sosial atau kolektivisme. Demokrasi untuk kesejahteraan rakyat, demokrasi sebagai alat memakmurkan rakyat. Demokrasi sebagai sarana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat jelata kita. Pers sangat perlu menghayati ini agar pers senantiasa berada di jantung hati rakyat, selalau berada dalam
suasana rakyat. Demokrasi sosial tidak hanya menjamin kebebasan, tetapi juga kesetaraan dan keadilan. Semata-mata kebebasan dapat menjadi pembenaran ketidaksetaraan (unequality). Kebebasan akan menjadi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang apabila disertai kesetaraan dan keadilan (liberty, equality, justice). Kedua; kehadiran hak asasi dalam peri kehidupan nyata (bukan sekedar jaminan normatif), baik sebagai civil and political rights, sebagai economic, social and cultural rights, maupun sebagai collective rights, community rights, atau subsistence rights. Dengan demikian, dari sudut kepentingan rakyat banyak, hak asasi manusia bukan sekedar civil and political rights. Tidak kalah penting hak asasi dalam dimensi kesejahteraan yang mencakup economic, social and cultural rights atau yang secara keseluruhan disebut subsistence rights atau sociaalmensen-rechten. Demikian pula community rights atau collective rights. Pengakuan dan jaminan atas community atau collective rights akan menjadi rumah yang nyaman dan tenteram untuk masyarakat kita yang pluralistik, yang beraneka ragam. Menjadi tempat bernaung bagi mereka yang kebetulan berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain. Collective rights bukan saja bermakna perlindungan terhadap mereka yang berjumlah sedikit dan berbeda dari yang banyak. Tetapi community rights juga harus diberi makna yang kecil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari yang besar. Itulah makna sosial dari ungkapan: nusantara adalah zamrud khatulistiwa. Demikian
pula sebaliknya. Tidak boleh terjadi yang besar teralinasi oleh yang kecil, baik dalam makna politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Hampir selalu terjadi dimasyarakat manapun, kelompok yang lebih kecil senantiasa menunjukkan keunggulan, kerja keras dan ingin maju dibandingkan dengan kelompok besar. Hanya dengan keunggulan itu mereka akan berhasil dengan baik. Namun ada satu segi yang acapkali merugikan hubungan sosial mereka dengan jumlah yang banyak. Ada kalanya, demi keberhasilan, mereka membenarkan segala cara, tidak ada kesetiaan ideologis atau prinsip tertentu, dan justeru menonjolkan eksklusivisme. Sebaliknya mereka yang berada dalam kelompok yang banyak, baik karena warisan sejarah, seperti penindasan yang berkepanjangan, peluang yang sangat dibatasi, penyakit kompleks mayoritas yang merasa memiliki warisan privilege tertentu. Mereka tidak memiliki keuletan dan kemauan untuk kerja keras. Menghadapi hal ini, kita harus berpendirian, semua kecenderungan-kecenderungan yang akan memperlebar perbedaan harus diubah, harus dieliminasi. Disini penting suatu rumusan public policy yang menyeluruh dan mendasar, tidak dibiarkan pada proses alamiah. Lebih-lebih lagi kalau proses alamiah itu sekedar untuk berlindung untuk suatu sistem yang korup dan menyuburkan penyalahgunaan kekuasaan. Seperti halnya demokrasi, hak asasi, selain menjamin individual rights, juga menuntut social rights yang menjamin kesejahteraan bagi sebanyak-banyaknya rakyat. Dalam ungkapan Jeremy Benthan disebutkan: “the greaterst happiness for the greatest number”. Ketiga; paham negara hukum. Paham ini multi dimensi dan tidak ada pengertian tunggal. Setiap ahli, bukan hanya dapat, tetapi biasa memuat rumusan dengan substansi yang berbeda-beda. Di masyarakat kita – termasuk pers – dimensi yang paling banyak dibicarakan adalah hubungan negara hukum dengan penegakan hukum. Penegakan hukum yang paling disorot, karena dianggap tidak well performed adalah penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim), dan tindak pidana korupsi. Sebaliknya KPK dan MK dipandang oleh publik (melalui pers) sebagai the most highly performed. Pertanyaannya: “Apakah lembaga-lembaga penegak hukum yang tidak bagus itu akan menjadi baik dengan cara yang kita lakukan sekaran ini. Sekedar menemukan ketidakberesan mereka?” Begitu pula mengenai korupsi. Suatu survey yang dilakukan sebuah surat kabar – antara lain – berkesimpulan, korupsi merupakan faktor yang paling merusak segala segi kehidupan kita. Lembagalembaga pengkajian luar negeri juga berpendapat yang sama. Pertanyaannya: “Apakah korupsi merupakan gejala tunggal yaitu semata-mata sebagai suatu gejala hukum yang tidak sehat?” Dalam beberapa kesempatan, berdasarkan bacaan sederhana dan pengamatan, saya pernah mengutarakan, korupsi bukan gejala tunggal yang bersifat hukum belaka. Pemberantasan korupsi yang semata-mata “menegakkan hukum” sulit sekali mencapai ujung penghapusan
korupsi. Begitu pula, mungkin misleading kalau pemberantasan dan keberhasilan memberantas korupsi akan menjamin kehadiran pemerintahan yang bersih. Apalagi kalau pengertian pemerintahan yang bersih tidak sekedar dalam makna clean government melainkan clean governance. Korupsi merupakan salah satu buah dari tatanan politik, tatanan pemerintahan, tatatan sosial, tatanan ekonomi, tatanan budaya yang korup, atau setidak-tidaknya berbagai tatanan yang penuh anomali. Dengan demikian, upaya menegakkan hukum memberantas korupsi, semestinya dilakukan bersamaan dengan meniadakan berbagai anomali tatanan yang disebutkan di atas. Bahkan – dalam pandangan yang lebih jauh – penataan-penataan untuk meniadakan berbagai anomali merupakan prasyarat dan sekaligus sebagai conditio sine quanon menuju
good governance termasuk bersih dari perbuatan hukum korupsi. Dimensi lain dari negara hukum yang kurang menjadi perhatian kita adalah keterkaitannya dengan paham negara kesejahteraan. Paham negara hukum kesejahteraan berhimpitan dengan aspek sosial dari demokrasi dan hak asasi sosial. Ditinjau dari dimensi kesejahteraan, demokrasi, hak asasi, dan negara hukum merupakan satu segi tiga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Saya berharap, ketika kita berkumpul memperingati hari pers sedunia ini, tidak sekedar upaya mengeratkan prinsippinsip pers bebas itu sendiri, tetapi juga membicarakan prinsipprinsip membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan adil.*