Namun, dari sisi kualitas, produk pers Jawa Timur menempati urutan kedua. “Perusahaan pers di Jawa Timur kualitasnya bagus, tapi aduannya juga banyak,” ujar Imam dalam diskusi di sela kegiatan “Bazar Media Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Malang”, Sabtu ( 28/5/ 2016).
Dewan Pers, tutur dia, juga menerima 250 aduan keberatan atas pemberitaan media. Aduan terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa. “Pengaduan tak harus dari pihak yang merasa dirugikan, tapi semua warga negara memiliki hak hukum mengadukan ke Dewan Pers,” ucapnya.
Imam mengimbuhkan kebebasan public mengkritik isi pemberitaan media menjadi bagian dari Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Sebelumnya, publik yang tak secara langsung berkaitan dengan sumber berita tak bisa mengajukan keberatan.
Kekritisan Media
Pada era Orde Baru, kata dia, semua perusahaan media diwajibkan memiliki lisensi. Perusahaan tanpa lisensi dianggap illegal. Ketika itu, media tidak bebas membuat berita karena diintervensi pemerintah dan berada di bawah bayang-bayang bredel. “Sehingga tak banyak media yang kritis,” ujarnya.
Setelah reformasi semua media berani menulis apa saja. Termasuk menyampaikan kritik keras terhadap pemerintah. Kebebasan itu dibarengi dengan munculnya 1.687 media atau tumbuh 600 persen dari yang sebelumnya hanya 189 media.
Namun gegap gempita itu tak berumur panjang. Lambat laun media berguguran dan mengikuti seleksi alam. Pada 2000, tersisa 290 media massa yang memiliki kriteria sebagai perusahaan pers. “Dalam perkembangannya, ada media yang hanya muncul saat menjelang pilkada,” katanya.
Dia mencontohkan, di Mojokerto, ada tiga media lokal yang dikelola sebuah keluarga. Mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik karena hanya menyalin isi dari situs berita. “Bukan pers, tapi peres (memeras). Ini mencederai kebebasan pers,” tuturnya.
Dewan Pers, kata Imam, menemukan kecenderungan bahwa sejumlah media digunakan untuk memeras narasumber. Perilaku semacam ini sudah masuk kategori tindak pidana. Namun ada juga sebuah media lokal di Bondowoso yang awalnya dikelola preman sekarang berkembang menjadi media profesional. “Ada media tak berbadan hukum, tapi isinya bagus,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Arfi Bambani Amri mengatakan organisasinya menyatakan perang terhadap media abal-abal. Faktor yang mendorong maraknya media abal-abal, kata dia, adalah situasi ekonomi. Padahal mereka tidak punya standar profesionalisme sebagai jurnalis. “Jangan menggadaikan independensi,” katanya. (tempo.co)