“Jangan takut diintimidasi. Kalau penakut tidak usah jadi wartawan,” katanya pada Pelatihan Jurnalistik Peliputan Khusus Korupsi di Jayapura, Selasa (24/5/2016).
Membawakan materi “Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi”. Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menambahkan, media mempunyai peran besar dalam penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia kini semakin kompleks karena para pelaku tindak pidana korupsi semakin cerdas.
Dia memberikan banyak contoh tindak pidana korupsi: mulai dari dugaan korupsi yang dilakukan oknum penegak hukum, sampai orang-orang yang diduga memberikan uang suap atau pelicin, bukan hanya menggunakan cek dalam bentuk rupiah juga dengan uang asing.
Bagir Manan juga memberikan contoh-contoh bagaimana nasib para wartawan yang memberitakan soal korupsi. Mereka ini sering diintimidasi atau dimaki-maki oleh oknum-oknum tertentu. Di Sumatera Utara misalnya, ada wartawan yang dikatakan “otaknya di dengkul” dan sebagainya, ketika memberitakaan dugaan korupsi yang dilakukan oknum-oknum itu. Karena itu, dia mengingatkan kepada seluruh insan media, jika memilih profesi jurnalis sebagai panggilan hidup haruslah tetap memegang yakni bekerja untuk kepentingan umum dan tidak mudah tergoda oleh kepentingan pribadi, untung rugi.
Wakil Ketua Dewan Pers 2007– 2010, Sabam Leo Batubara yang membawakan makalah berjudul: “Kasus-Kasus yang diadukan ke Dewan Pers Terkait Liputan Korupsi” mengungkapkan, dari ribuan media yang diadukan ke Dewan Pers, 80 persen diantaranya adalah media yang terbit di pusat.
Laporkan ke Dewan Pers Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo, menegaskan wartawan jangan takut meliput isu korupsi, terutama di daerah seperti Papua. “Jika terjadi sesuatu, wartawan dan medianya bisa melaporkan ke Dewan Pers,” saran Yosep yang akrab dipanggil Stanley.
Menurut dia, Dewan Pers memiliki Satuan Tugas (Satgas) penanganan kekerasan terhadap wartawan. Dewan Pers telah menjalin kerjasama (MOU) dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Ketua Mahkamah Agung yang menyatakan agar kasus-kasus pers sebaiknya dimintakan pendapat kepada dewan pers.
“Saya kira, perangkat yang ada ini cukup untuk melindungi wartawan. Yang penting jangan merasa sendirian dan jangan sampai kasus korupsi yang besar hanya berkutat di tingkat lokal, tetapi tarik ke tingkat nasional karena Dewan Pers punya konsen terhadap masalah pemberantasan korupsi,” kata Stanley, seraya menjelaskan, bahwa Dewan Pers menggelar workshop jurnalistik investigasi atau peliputan khusus korupsi di Papua sebagai salah satu program dalam mendukung pemberantasan korupsi. “Apalagi di Papua kasus korupsi terbilang cukup tinggi,” kata Stanley.
Dewan Pers, tambah Stanley, ingin memberikan penyegaran kepada para wartawan dan mendorong agar liputan-liputan korupsi diperbanyak di Papua karena kasus-kasus korupsi di Papua, seperti sudah disebutkan, cukup tinggi. Di sisi lain Dewan Pers ingin membantu pemerintah daerah agar mampu menekan angka korupsi, karena khusus di Papua menurut dia agak spesifik. Pasalnya kondisi masyarakatnya masih tertinggal jika dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Dia menambahkan, indeks kebahagiaan orang Papua di antara 30 provinsi di Indonesia paling rendah, di mana salah satunya karena proses penikmatan masyarakat dalam pembangunan juga paling minimalis.
“Dana yang digelontorkan ke Papua besar sekali, tetapi rupanya yang sampai ke masyarakat hanya menetes, sangat kecil. Sehingga, pelatihan jurnalisme investigasi korupsi ini sangat penting bagi para wartawan di Papua,” pungkasnya. (netralitas.com)
Disesalkan, Pemberitaan Anak Yang Provokatif
Dewan Pers menyesalkan sikap media massa yang cenderung menjadikan kasus anak sebagai komoditas tontonan atau bacaan menarik, serta provokatif dalam pemberitaan.
“Yang terjadi sekarang ini, kasus anak menjadi komoditas, sangat provokatif,” kata Anggota Dewan Pers, Anthonius Jimmy Silalahi dalam Pelatihan Liputan Khusus Anak di Batam, Kepulauan Riau, Senin (16/5/2016).
Menurut dia, sejumlah media mengemas pemberitaan yang melibatkan anak tanpa memperhatikan kode etik, sehingga melanggar hak anak, dan merugikan anak, serta keluarga mereka.
Ia mencatat, beberapa keluarga sampai dikucilkan dan diusir dari tempat tinggal mereka akibat pemberitaan terkait anak yang berlebihan.
Dalam meliput kasus anak, ia mengingatkan agar media tetap berada di luar lingkaran, agar dapat melihat dengan jelas, kaitan satu dan lainnya.
“Bagaimana membuat berita dalam perspektif edukatif, bukan provokatif,” katanya mengingatkan
Insan pers diminta untuk turut mempertimbangkan masa depan anak, apa saja faktor dan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, akibat pemberitaan itu. Jurnalis harus lebih selektif untuk membuka informasi yang berhubungan dengan anak.
Anak yang berusia di bawah 18 tahun tidak boleh diwawancara untuk sesuatu yang di luar kapasitasnya, meskipun itu dialaminya. “Berdiri di atas kebenaran, memihak masyarakat,” kata dia.
Terkait dengan kejahatan seksual yang ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa, ia mengatakan harus didukung oleh kerja Jurnalis yang extra ordinary juga dalam menerapkan kode etik.
Di tempat yang sama, Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Erlinda menyatakan wartawan adalah malaikat bagi pengungkapan kejahatan seksual terhadap anak. Tanpa wartawan, ia yakin ada banyak kasus anak yang tidak terungkap.
Jurnalis juga berperan serta dalam menyosialisasikan pentingnya upaya bersama memerang kejahatan seksual terhadap anak. (AntaraNews.com)