Sementara koran lain, rata-rata dicetak di bawah 3.000 eksemplar. Koran di Jayapura, bukan hanya menghadapi oplah yang rendah, tetapi juga basis pembacanya yang eceran. Rata-rata hanya 30-40% saja dari koran yang dilanggan, sementara sisanya adalah pembeli eceran.
Basis pembeli eceran ini mempunyai beberapa konsekuensi. Pendapatan tidak bisa diharapkan dari segi penjualan koran. Pembeli koran banyak atau tidak, sangat ditentukan oleh isu yang diangkat. Ada saat dimana oplah koran naik, ada saat dimana oplah koran turun. Beberapa pengelola media yang saya wawancarai menyatakan angka cetak yang ada sekarang adalah angka stabil. Media di Papua, khususnya Jayapura, pernah mengalami masa jaya kenaikan oplah, saat isu Papua Merdeka, sepanjang tahun 2000. Saat itu misalnya, Tifa Papua, Papua Post atau Jubi, bisa dicetak pada angka sampai 9.000 eksemplar.
Para pelanggan koran umumnya adalah kelas menengah intelektual dan birokrat. Sementara mereka yang membeli eceran sebagian besar dalah penduduk asli. Ketika isu Papua Merdeka bergulir, terutama saat kongres Presidium Dewan Papua, banyak penduduk asli yang membeli koran secara eceran. Saat itu terjadi persaingan yang keras antar media untuk menampilkan berita mengenai kemerdekaan. Bahkan misalanya, Cenderawasih Pos, koran yang dulunya sangat konservatif, balik secara keras menyuarakan aspirasi kemerdekaan Papua. Tokoh-tokoh Papua pro kemerdekaan banyak yang diwawancarai dan mendapat tempat dalam pemberitaan.
Persoalan lainnya adalah masalah infrastruktur terbitan. Sebagai sebuah penerbitan, media di Papua belum mempunyai infrastruktur yang baik: percetakan, dan jaringan distribusi. Bahkan dari sudut peralatan kantor masih sangat terbatas. Jumlah komputer yang sedikit, tidak adanya komputer khusus layout, menyebabkan hasil menjadi tidak sempurna. Bahkan di Suara Papua, jumlah komputer hanya ada dua buah. Ketika menjelang deadline, antara anggota redaksi harus saling bergantian komputer. Dari media cetak di Papua, hanya Cenderawasih Pos yang mempunyai mesin cetak sendiri dengan kapasitas mesin cetak yang besar. Ketika pertama kali menanamkan usaha di Papua, jaringan Jawa Pos ini memang membawa revolusi besar-besaran. Ini untuk kali pertama ada sebuah media yang dikelola secara profesional, dengan cetakan berwarna dan berita-berita nasional. Praktis hanya percetakan yang dipunyai Cenderawasih Pos yang bisa dikategorikan modern dan memang diperuntukkan untuk mencetak koran. Pada 1999, berbagai media diluar Cenderawasih Pos---seperti Papua Post dan Jubi---- mencetak di Cenderawasih Pos.
Pilihan lain di luar percetakan Cenderawasih Pos adalah Percetakan Negara (milik pemerintah) atau CV Tintas Mas (milik swasta). Media yang mencetak di Percetakan Negara adalah Papua Post, sedangkan yang mencetak di CV Tintas Mas adalah Jubi dan Tifa Papua. Kedua percetakan ini mempunyai kelemahan masing-masing. Percetakan negara, relatif harga cetakannya murah. Kelemahannya, mesin di Percetakan Negara, karena lebih digunakan untuk mencetak dokumen negara, tidak bisa dipakai cetak warna.
Masalah infrastruktur lain media di Papua adalah soal jaringan distribusi. Wilayah Papua adalah wilayah yang luas yang terpisahkan oleh gunung. Jarak antara satu tempat dengan tempat lain amat jauh. Ini diperparah dengan tidak adanya jaringan transportasi. Satu-satunya jalur transportasi yang cepat adalah lewat pesawat terbang. Imbasnya, beban biaya pengiriman ke luar Jayapura relatif mahal. Rata-rata, biaya pengiriman untuk 100 eksemplar ke luar Jayapura, bisa mencapai 300-400 ribu. Akibatnya, harga koran di daerah luar Jayapura bisa lebih mahal sampai 2 kali lipat. Itupun masih ditambah, penerbangan dari Jayapura ke beberapa kabupaten (seperti Wamena, Jayawijaya) tidak tiap hari. Beberapa koran, seringkali bahkan merapel edisi. Misalnya dua edisi/dua minggu dikirim sekaligus.
Daerah yang terpencar-pencar, menyebabkan kontrol dan pengawasan edisi beredar menjadi sulit dilakukan. Agen nakal, yang tidak membayar koran adalah masalah yang kerap dihadapi oleh media. Tetapi kontrol, misalnya berapa koran yang terjual menjadi sulit dilakukan. Rata-rata koran mengeluhkan agen yang nakal ini. Piutang tersebut tidak bisa ditagih karena sulitnya pengawasan dan mengontrol agen yang nakal.
Dengan kapasitas produksi yang rendah, media tentu saja menekan biaya produksi. Hal yang dilakukan pertama kali adalah menekan gaji karyawan. Rata-rata gaji wartawan di Papua sangat rendah. Hal ini membuat wartawan, selain gaji, juga mengandalkan amplop. Sebagai besar wartawan di Papua menerima amplop, dan ini diakui oleh pengelola media. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi/ lembaga atau pemerintah selalu menyediakan amplop. Jumlah amplop yang diterima oleh wartawan ini kadangkala bahkan lebih besar dibandingkan dengan gaji yang diterima per bulan.
Hal ini agak bertolak belakang dengan kualitas sumber daya manusia wartawan di Jayapura. Rata-rata wartawan Papua sudah sarjana. Bahkan koran macam Cenderawasih Pos mensyarakatkan lulus S-1 untuk wartawan-wartawan pemula yang baru mendaftar. Tetapi standar gaji yang diterima sedikit. Selain gaji, untuk bertahan hidup koran juga memangkas biaya liputan. Karena itu hampir tidak ada laporan investigasi yang memadai yang pernah dilakukan oleh wartawan di Jayapura. Selain minimnya gaji, penghargaan terhadap kerja wartawan di Jayapura juga kurang.
Isi Memprihatinkan
Secara umum hampir semua media yang terbit di Jayapura banyak mengakomodasi isu lokal. Khusus Cenderawasih Pos, setengahnya berisi berita-berita nasional dan internasional. Cenderawasih Pos juga banyak mengetengahkan berita-berita hiburan dan selebriti yang tidak ada hubungannya dengan permasalahan di Papua. Alasannya, saya kira sederhana. Berita-berita nasional itu tinggal mengambil dari induknya, Jawa Pos News Network (JPNN). Cara seperti ini bisa menghemat biaya reportase atau liputan. Tetapi akibatnya banyak peristiwa penting di Papua sendiri menjadi terabaikan.
Kecenderungan media di Jayapura untuk menempatkan peristiwa lokal dalam sajiannya, merupakan kelebihan tersendiri. Aspek positif ini hanya tidak dibarengi dengan kualitas dan profesionalisme liputan yang memadai. Beberapa media bahkan melakukan kesalahan yang mendasar. Umumnya redaksi media di papua tak memiliki editor bahasa, sehingga kesalahan ejaan bermunculan di setiap berita. Kesalahan menulis nama, kesalahan penempatan foto, atau adanya foto tanpa keterangan selalu ada di tiap edisi. Belum lagi, sumber yang diambil (foto, berita) tidak disebutkan dari mana sumbernya atau download dari internet.
Kesalahan mendasar lain yang dilakukan adalah soal format/ bentuk berita. Misalnya tabloid yang terbit mingguan, tetapi bentuk beritanya hard news (berita langsung) yang seharusnya hanya cocok untuk koran harian. Tifa Papua misalnya beberapa kali melakukan hal ini.
Media yang terbit di Jayapura ditandai oleh banyaknya berita talking news. Sebagai wilayah konflik, di Papua banyak terjadi kasus-kasus besar. Peristiwa tersebut jarang bisa dinvestigasi oleh media yang terbit di Jayapura. Sebaliknya, praktek jurnalisme yang banyak dilakukan adalah wawancara dengan beberapa orang daripada reportase lapangan. Berita tampak menjadi parade pendapat. Ketika ada peristiwa, pejabat pemerintah atau militer mengatakan A, lalu aktifis menyatakan B dan begitu seterusnya.
Artikel ini diambil dari Jurnal Komnas HAM, Vol XII/2015
Bersambung edisi berikutnya