Sebuah berita harus sesuai dengan fakta, jangan kemudian muncul sebuah penafsiran (yang keluar dari konteks),” demikian penegasan anggota Dewan Pers, Imam Wayudi, ketika memberikan paparannya di depan insan pers, para wartaawan dari berbagai media cetak, online maupun elektronik, mahasiswa serta sejumlah tamu undangan lainnya dalam diskusi pedoman pel iputan terorisme, Kamis (21/4/2016) di Semarang.
Diskusi itu digelar oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jateng yang dikemas dalam acara “Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa Pers dalam Meliput Isu-isu Terorisme”.
Imam menambahkan, seorang jurnalis sebisa mungkin harus memberikan informasi yang mendekati kebenaran. Pemberitaan di media massa, lanjutnya, jelas berbeda dengan informasi yang ada di media sosial. “Harus ada disiplin verifikasi, terlebih pemberitaan tentang terorisme. Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik ,” tandas Imam.
Ditengah-tengah acara, Imam mengajak para hadirin untuk melakukan studi kasus, dengan membedah dan menganalisis sebuah pemberitaan terorisme di salah satu media yang dinilai tak sesuai dengan peraturan Dewan Pers nomor 01/ Peraturan-DP/IV/2015, tentang Pedoman Peliputan Terorisme.
Jangan beri Panggung
Pada kesempatan terpisah sebelumnya, Imam menyatakan kompetensi seorang wartawan menentukan penggalian informasi terkait pemberitaan terorisme. Wartawan harus berpihak dalam pemberantasan terorisme daripada memberi panggung kepada pelaku teror.
Hal itu disampaikan Imam saat berdiskusi dengan Pemred Suara Merdeka, Hendro Basuki dan sejumlah hadirin di Ruang Rapat Kantor Suara Merdeka, Jalan Kaligawe, Semarang, Rabu (20/4/2016). Ia menambahkan, pekerja media harus belajar mengenai terorisme agar tak terjebak pada promosi teror secara terselubung dari aksi atau dari pelaku teror melalui pemberitaan.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers itu lebih lanjut mengatakan, elemen pemberantasan dan pencegahan terorisme juga harus belajar tentang media agar informasi yang disampaikan merupakan inti dari upaya pemberantasan terorisme.
Imam berp esan:”Jangan sampai pemberitaan terorisme malah memberi panggung kepada pelaku teror yang kontraproduktif dengan pemberantasan terorisme”. Ia mengingatkan: “Ini pernah terjadi saat wawancara pelaku teror. Wartawan tidak menguasai materi terorisme. Wawancara malah berubah jadi panggung dakwah pelaku teror. Ini harus dihindari,”pungkasnya.
(BeritaJateng.net/suara merdeka)
Dewan Pers: Laporkan
Wartawan Pemeras
Dewan Pers berkomitmen memb er s ihkan per s Indonesia dari praktik-praktik penyalahgunaan profesi jurnalis. Begitu ada wartawan atau orang yang mengaku-aku wartawan meminta uang, memeras, ataupun mengancam, Dewan Pers mendorong supaya segera dilaporkan ke kepolisian agar diproses secara hukum.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengatakan, praktik-praktik penyalahgunaan profesi jurnalis sekarang menjadi persoalan yang paling mendesak untuk segera diberantas. “Banyak pihak yang menyalahgunakan profesi wartawan untuk meminta uang ke sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) atau ke institusi-institusi lain, bahkan sampai memeras dan mengancam. Ini bentuk lain praktik-praktik koruptif yang menjadi beban masyarakat,” ujar Stanley, Kamis (31/3/2016), saat dihubungi dari Jakarta.
Kepada masyarakat, Dewan Pers mengimbau agar tidak melayani wartawan atau siapa pun yang menyalahgunakan profesi jurnalis seperti itu.
Beretika dan profesional
Agar para wartawan tetap teguh menjunjung etika jurnalistik dan makin profesional, Dewan Pers mendorong mereka untuk ikut berbagai macam pelatihan.
“Wartawan harus memiliki daya saing. Karena itu, ke depan akan semakin terlihat mana wartawan yang profesional dan mana yang tidak. Hanya mereka yang profesional yang akan tetap bertahan,” kata Stanley.
Dalam tiga tahun ke depan, Dewan Pers melihat ada dua tantangan besar yang menuntut independensi peran jurnalistik. Dua tantangan itu adalah momen pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 dan pemilihan umum presiden pada 2019.
Pada momen pilgub 2017 dan pilpres 2019 itu, para pemerhati media dan partai politik pasti akan melirik media agar bisa dimanfaatkan dalam pesta demokrasi tersebut. Karena itu, Dewan Pers mengimbau kepada seluruh insan media agar tetap menjaga netralitas dan independensi mereka.
Gaji rendah
Persoalan lain yang tengah disoroti Dewan Pers adalah rendahnya gaji wartawan. Fenomena ini cukup memprihatinkan karena meski wartawan telah bekerja total siang dan malam, kinerja mereka hanya dihargai murah oleh perusahaan media.
Berdasarkan hasil survei kontributor yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di delapan kota, dari 90 responden yang disurvei, 74 persen di antaranya hanya digaji di bawah Rp 3 juta per bulan. “Ada wartawan yang hanya digaji Rp 800.000 per bulan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka harus mencari pemasukan tambahan menjadi petugas satpam (satuan pengamanan), misalnya,” kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Yudie Thirzano. (Kompas)