Potret Pers dan Media di Papua: Belum Hadir Memenuhi Hak Atas Informasi Oleh: Stanley Adi Prasetyo

images

Koran hadir pertama kali bukan untuk motivasi bisnis. Letak Papua yang bergung-gunung, hutan lebat dan wilayah yang luas yang terpisah oleh laut, sulit untuk bisnis media. Ini bisa dilihat misalnya dari koran pertama di Papua, de Tifa. Koran ini didirikan oleh Mgr Oskar Cremers OFM, terbit pertamakali 22 April 1956. Terbitan ini didukung oleh Stichting de Katholieke Press (semacam yayasan pers Katolik), terbit dalam bahasa Belanda. Koran ini diterbitkan untuk mengabarkan perkembangan jaman dan menjadi media perekat antara misionaris dengan masyarakat. Semula de Tifa dicetak di Belanda. Seiring dengan kemampuan Stichting, de Tifa lalu dicetak di Jayapura oleh percetakan Labor milik Keuskupan Jayapura. Pada 1962, de Tifa terbit dalam dua bahasa: Belanda dan Melayu.

Sejak 1963, de Tifa berubah menjadi Tifa Irian dan terbit dalam bahasa Indonesia. Lalu sejak 1999, terbit dengan nama Tifa Papua. Media lain yang diterbitkan oleh gereja adalah Serikat, sebuah buletin yang diterbitkan oleh Gereja Kristen Injili (GKI). Bedannya dengan Tifa Papua, Serikat hanya diperuntukkan kalangan sendiri, tidak dijual untuk umum.

Kalangan gereja Kristen tak mau kalah, mereka menerbitkan buletin Serikat. Di kemudian hari Serikat dikembangkan menjadi majalah yang beredar di lingkungan Gereja Kristen Injili di Irian Jaya. Majalah yang mengalami berbagai masa pasang surut itu mencoba terus terbit dengan tertatih-tatih.

Wartawan senior Idris Jusuf mencatat bahwa perintis pers yang menyebarkan ide keIndonesiaan yang pertama kali tak lain adalah Silas Papare seorang alumni Sekolah Pamong Praja di Hollandia (kini Jayapura). Silas menerbitkan majalah Suara Irian dengan isi tentang perjuangan Papua bersama Indonesia. Karena tak adanya dukungan infrastruktur, majalah ini dicetak di Jawa dan diedarkan di kawasan Serui yang menjadi kampung halaman Silas Papare dan baru kemudian secera perlahan juga beredar di wilayah di luar Serui. Namun Suara Irian tak berumur panjang karena masalah pendanaan.

Media yang perlu disebut adalah juga media Nieuw Guinea Courier yang diterbitkan oleh keluarga de Terlaak sebelum penyerahan Papua kepada Indonesia melali UNTEA. Namun usia koran ini berakhir saat penyerahan Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963 di mana de Terlaak memutuskan untuk kembali ke Belanda.

Pada masa pemerintahan Nieuw Guinea juga terbit sebuah majalah berbahasa Belanda, Cassuari Bode dan buletin Peretas. Pada saat pembentukan Nieuw Guinea Raad dan munculnya partai politik di papua pada 1960, Partai Papua Merdeka juga menerbitkan buletin Jubi.

Beberapa media lain juga muncul saat UNTEA. Disan Penerangan Nieuw Guinea semasa UNTEA menerbitkan koran Pengantara dan majalah bulanan Triton. Pada saat penyerahan wilayah Papua ke Indonesia, Pengantara berubah nama menjadi Dwikora.

Media cetak lain adalah buletin diterbitkan oleh kalangan ornop pada akhir dekade 70-an, yaitu Kabar Dari Kampung yang diterbitkan oleh Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD). Buletin ini terkenal saat banyak memuat tulisan George Junus Aditjondro yang kemudian membuat heboh penguasa dan masyarakat setempat. Namun sayang, buletin yang tergolong bagus ini ini akhirnya harus mati akibat mismanagement pengelolaan.

Setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dan Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia, media di Papua diwarnai dengan misi nasionalis. Tercatat misalnya Harian Cenderawasih dengan pemimpin redaksi Hari Wahyu. Tokoh pers Papua, Fred Hengga, kemudian mengambil alih Dwikora dan dikelola lebih baik. Dwikora lalu berubah nama menjadi Teropong. Bentuk dan frekuensi terbitnya menjadi surat kabar mingguan. Dengan demikian, Teropong adalah SKM pertama yang diterbitkan swasta. Teropong kemudian berhenti terbit akibat kesulitan dana. Setelah Teropong tidak terbit, muncul Berita Karya yang diterbitkan Golongan Karya. Koran ini pun tidak lama terbit, karena kesulitan dana dan SDM.

Sejarah pers di Papua berubah setelah Jawa Pos Group masuk ke Papua. Jawa Pos mengambil alih SKM Cenderawasih dan lahirnya harian pertama di Papua, Cenderawasih Post tahun 1993. Kalau dikatakan sebagai sejarah, ini untuk pertama kali media pertama dalam bentuk harian. Ini juga untuk pertama kali, media dikelola dan dibangun untuk tujuan bisnis. Kalau sebelumnya media hanya manjadi organ penyebaran agama atau media penyebaran pesan nasionalisme, Cenderawasih Pos hadir sebagai produk untuk dijual.

Masuknya Jawa Pos bisa dibilang mengenalkan teknologi dan perkembangan baru di Papua. Jawa Pos membawa bukan hanya wartawan, tetapi juga mesin cetak, teknologi internet dan lay-out. Dengan teknologi cetak yang memadai, puluhan ribu eksemplar koran bisa dicetak dalam hitungan jam. Koran pun bisa dicetak berwarna dengan tampilan yang lebih bagus. Cenderawasih Pos juga mengenalkan berita-beriat nasional dan internasional, mulai politik sampai gonjang-ganjing ekonomi hingga olahraga. Materi itu sejak lama absen dalam dunia pers Papua, yang sebelumnya didominasi oleh berita-berita gereja dan lokal Papua. Kehadiran Cenderawasih Pos ini memaksa media yang telah terbit sebelumnya untuk menyesuaikan diri. Isi dibuat beragam, tampilan juga dibuat lebih menarik. Saat itu dimulai persaingan baru memperebutkan pasar.

Pers Era Reformasi

Era reformasi, seperti juga daerah lain, melahirkan banyak koran baru. Makin mudah orang mendirikan koran. Lalu bermunculan satu persatu koran di bumi Papua. Yang menarik, lahirnya koran-koran baru ini bersumber dari dua media yang sejak lama ada di Papua: Tifa dan Cenderawasih Pos. Beberapa pengelolanya keluar dan mendirikan media baru. Ketika survei ini dilakukan ada 5 media yang terbit di Jayapura: Cenderawasih Pos, Tifa Papua, Jubi, Suara Papua dan Papua Post.

Surat kabar Papua Post lahir 5 April 1999. Koran ini didirikan oleh Abdul Munib, mantan redaktur pelaksana Cenderawasih Pos. Munib membawa serta beberapa wartawan yang sebelumnya bekerja di Cenderawasih Pos. Ini untuk pertama kali ada persaingan, dimana Cenderawsih Pos bukan lagi menjadi pemain tunggal. Semula Papua Post bukan harian, tetapi tabloid yang terbit mingguan dengan nama Irja Pos. Bulan September 1999, Irja Pos berubah menjadi harian. Setelah Gus Dur menjadi Presiden RI dan memperbolehkan pemakaian nama Papua, Irja Pos berubah nama menjadi Papua Post.

Tabloid Jubi lahir juga bersamaan dengan momentum reformasi. Ia didirikan oleh sejumlah aktifis NGO yang tergabung dalam Foker (Forum Kerja) LSM Papua. Jumlah anggota Foker sendiri tidak kurang 50 LSM dari berbagai LSM. Foker mempunyai media, Podium, yang berisi informasi tentang kegiatan anggota Foker. Saat itu ada pemikiran, kenapa tidak membuat suatu media, di luar Podium, yang berisi berita-berita umum dan menyuarakan aspirasi demokratisasi. Media itu nantinya diharapkan dapat menyuarakan suara aktifis LSM akan demokratisasi dan hak asasi manusia. Media yang dipilih adalah tabloid supaya menjangkau masyarakat sebanyak mungkin. Kegiatan awal Jubi didanai oleh HIVOS, sebuah lembaga donor dari Belanda. Sejak Januari 2000, Jubi mendapat bantuan dana dari USAID meski ada usaha agar lebih mandiri. Namun Jubi paa 2004 berhenti terbit dengan alasan hambatan manajemen dan akibat masalah internal dan baru terbit lagi pada 2008.

Sedangkan Suara Papua adalah media yang baru muncul di Jayapura sejak Maret 2002 lalu. Suara Papua sendiri sebetulnya sudah ada sejak 9 Februari 1999, dan terbit di Sorong. Di Sorong, bahkan media ini sudah dikenal dan dicetak dengan oplah 4-5 ribu setiap edisi. Awal 2002, terjadi konflik internal. Beberapa awak redaksinya keluar dan mendirikan Suara Papua di Jayapura. Suara Papua dipimpin oleh Kristian Ansaka, mantan wartawan Tifa Papua. Suara Papua sendiri dimodali oleh Martin Reno, Kepala Bagian Intel dan Kriminal di Polda Papua.

Media baru yang belakangan terbit dan memberikan harapan adalah tabloid Suara Perempuan Papua. Media yang pertama kali terbit pada 2002 ini sesungguhnya mengalami proses penyiapan yang panjang dan melibatkan sejumlah orang dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Media yang mencoba fokus kepada persoalan-persoalan gender yang dihadapai masyarakat Papua berkembang cukup bagus apalagi didukung percetakan C.V Pyramid. Tabloid yang mendapatkan dukungan secara individual dari Hanna Hikayobi yang saat itu menduduki posisi penting di Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua dan sekaligus menjadi Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) ini cukup mendapat apresiasi dari kalangan masyarakat luas. Terutama dari angle tulisan maupun laporan utama yang disajikannya. Namun pada 2010 tabloid Suara Perempuan Papua hanya terbit dalam versi online saja.

Bagaimana perkembangan radio di Papua? Seperti halnya media cetak, sejarah radio di Jayapura tidak bisa dilepaskan dari penyebaran agama. Radio tertua di Jayapura adalah radio Suara Kasih Agung (SKA) yang mulai mengudara sejak 1973. Radio ini berada di bawah Yayasan Paulus, sebuah yayasan Kristen. Semula SKA tidak mempunyai pemancar, yang dipunyai hanya seperangkat audio dan kaset rohani. Pertama kali mengudara, pemancar SKA pinjam pemancar milik Komando Daerah Militer (Kodam) Jayawijaya, yang letaknya kebetulan berdekatan dengan Radio SKA. Radio SKA sempat vakum siaran setalah pihak Kodam meminta kembali pemancar yang dipinjamkan ke SKA.

Sejak 2000, SKA mulai siaran kembali dengan pemancar sendiri dan memakai pemancar FM. Pada 1990-an, selain RRI juga hadirradio Tabora Broadcasting System (TBS). Radio ini dikelola oleh Departemen Penerangan. Seiring dengan reformasi dan penutupan Departemen Penerangan, radio ini juga ikut tutup tahun 1998.

Setelah 1997, mulai bermunculan radio lain. Pada April 1997, radio Suara Nusa Bahagia (SNB) mulai mengudara. Seperti halnya SKA, Radio SNB adalah radio yang khusus memutar siaran rohani. Meskipun tidak berada di bawah gereja, SNB diniatkan sebagai radio yang menyajikan acara dan program untuk umat Kristiani. Pada Juni 1997, muncul radio Move. Kemunculan Move menandai era baru perkembangan radio di Jayapura. Radio ini dibuat untuk pendengar anak muda, dan tidak diniatkan sebagai radio rohani. Setelah kemunculan Move, hadir radio lain dengan segmen yang beragam. Sampai survei ini dilakukan, April 2002, tercatat ada 8 radio di luar RRI, yaitu Art, Best Modulation, Gita, Move, Suara Nusa Bahagia, Suara Kasih Agung, Voive of Papua dan Zona.

Pe r kembangan me d i a selanjutnya di Papua mengambarkan pasang-surut. Sejumlah media cetak, radio dan televisi bermunculkan tapi mati. Ada yang hidip lagi tapi mengalami pergantian manajemen. Sedang dari para wartawannya bisa dikatakan tak banyak orang baru, ya hanya itu-itu saja. Mereka berputar dan berpindah dari sebuah media ke media lain. Tercatat sedikitnya ada 6 koran dan 8 tabloid yang terbit. Selain Cendrawasih Pos, Jubi, dan Papua Post terbitan Jayapura yang hingga kini masih terbit, ada Timika Pos (Timika), Radar Timika (Timika), Radar Sorong (Sorong), Fajar Papua (Sorong), Media Manokwari (Manokwari), Tifa Papua (Jayapura), Pikiran Merdeka (Biak), Suara Papua (Sorong), Nabire Post (Nabire), Amanat Suara Gunung (Paniai), Serui Pos (Serui), Saksi (Jayapura), dan Suara Nurani (Merauke).

Di Papua juga muncul media TV yaitu TV Papua yang tadinya merupakan bagian dari Metro TV dan menggunakan nama Metro Papua TV. ***

Artikel ini diambil dari Jurnal Komnas HAM, Vol XII/2015.

By AdminMediaCentre| 24 September 2018 | berita |