Usut Tuntas Pembunuhan Jurnalis Pengungkapan Selesai Sebelum Hari Pers Sedunia 2017

images

Keseriusan Indonesia dalam menuntaskan kasus-kasus ini diharapkan bisa menjadi pembelajaran banyak negara saat pelaksanaan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun depan di Indonesia.

Tahun ini, penyelenggaraan Hari Kebebasan Pers Sedunia berlangsung di Helsinki, Finlandia, 2-4 Mei. Adapun tahun depan, Indonesia mendapat kepercayaan dari UNESCO untuk menjadi tuan rumah Hari Kebebasan Pers Sedunia.

“Sebelum Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017, kasus-kasus pembunuhan wartawan harus diselesaikan. Dengan demikian, saat menjadi tuan rumah nanti, kita bisa bercerita tentang upaya-upaya penyelesaian kasus-kasus kebebasan pers,” kata Ketua Dewan Pers terpilih periode 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Senin (28/3/2016), di Kantor Dewan Pers, Jakarta.

Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Indonesia akan diikuti 800 jurnalis dari seluruh dunia. Momen ini penting untuk menegaskan sikap Indonesia yang berpihak pada perjuangan kebebasan pers.

Hingga kini, ada delapan jurnalis yang tewas dan kasus pembunuhan mereka tidak terungkap tuntas. Mereka ialah Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin (harian Bernas, DI Yogyakarta, tewas 16 Agustus 1996); Naimullah (Sinar Pagi, Kalimantan Barat, tewas 25 Juli 1997); Agus Mulyawan (Asia Press, tewas 25 September 1999, di Timor Timur); Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003); Ersa Siregar (jurnalis RCTI, tewas 29 Desember 2003); Herliyanto (tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006); Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis stasiun televisi lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010); serta Alfred Mirulewan (tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Iman D Nugroho mengatakan, AJI Indonesia menyambut baik komitmen Dewan Pers untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pembunuhan jurnalis. “Kita semua harus membantu Dewan Pers mendorong Kepolisian RI untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut,” tuturnya.

Menurut dia, perjuangan mengungkap kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis pada akhirnya berujung pada pembelaan hak-hak publik. “Masalahnya, polisi belum bisa membuktikan diri mau mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan,” kata Iman.

(kompas)

 

 

 

Indeks Kebebasan Pers

Tahun ini pula, Dewan Pers menyiapkan diri menjadi tuan rumah Global Forum for Media Development pada September di Jakarta. Sebelum forum ini digelar, Dewan Pers akan menyelesaikan laporan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di 24 provinsi se-Indonesia. “Provinsi-provinsi itu mewakili daerah-daerah bekas konflik dan daerah-daerah yang banyak diadukan ke Dewan Pers terkait kebebasan pers,” ucap Stanley.

Menurut dia, Indonesia sebelumnya tak pernah membuat IKP. Modelnya akan berbeda dengan model indeks kebebasan pers yang disusun Committee to Protect Journalist, Reporter Sans Frontieres, dan Freedom House.

Penyusunan IKP didasarkan pada 53 indikator yang meliputi tiga bidang: hukum, politik, dan ekonomi. Adapun metode penilaian kebebasan pers dilakukan melalui survei publik, wawancara 15 ahli, dan pengumpulan data. Melalui penelitian dan penyusunan IKP, Dewan Pers ingin mendapatkan data dan fakta terkait upaya-upaya negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara atas informasi. (kompas)

 

Dua Alasan Publik Menolak Revisi UU KPK

Ada dua alasan mengapa publik menolak revisi Undang-Undang KPK. Pertama, ketidakpercayaan publik terhadap para penegak hukum selain KPK. “Bukan semata-mata karena kapasitas mereka rendah, melainkan ini persoalan integritas dan martabat. Saat ini sulit memulihkan public distrust kepada penegak hukum selain KPK,” kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Pers dengan tema “Pelemahan KPK Melalui Legislasi, Tinjauan Komunitas Pers terhadap Kelemahan KPK”. Diskusi tersebut berlangsung di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2016).

Alasan berikutnya adalah laju kecepatan korupsi yang tidak mampu dikejar oleh tindakan pemberantasannya sehingga kemudian muncul gagasan korupsi merupakan extraordinary crime. “Dengan demikian, hukuman untuk pelaku korupsi juga harus extraordinary,” ujarnya.

Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain Ketua Dewan Pers Bagir Manan, sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola, dan peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK oleh DPR. Namun, oleh sebagian pihak keputusan tersebut masih dinilai sebagai sikap yang abu-abu. Pemerintah semestinya mencabut rencana revisi tersebut.

Kendati demikian, menurut Bagir, harus tetap ada pengawasan terhadap KPK. Menurut dia, KPK harus kuat dan tidak boleh ada upaya pelemahan. Namun, di sisi lain, KPK juga tidak boleh terlalu kuat dan tetap mesti ada batasan. Karena itu, harus ada checks and balances. Sementara itu, menurut Lalola, tidak ada urgensi untuk melakukan revisi beberapa pasal dalam UU KPK. “Kerja KPK saat ini masih menjadi yang paling mumpuni dalam memberantas korupsi,” kata Lalola.

Dia pun mempertanyakan motivasi DPR dalam merevisi UU KPK. Sebab, menurut Lalola, diperlukan naskah akademik untuk melakukan revisi. “Tetapi sampai saat ini belum ada,” ujarnya. (Kompas)

By AdminMediaCentre| 24 September 2018 | berita |