Himbauan ini disampaikan Ketua Dewan Pers ketika memberikan materi dalam pelatihan jurnalistik “Peliputan Tentang Anak” yang digelar Dewan Pers di Bengkulu, Kamis (30/4/2015).
Menurut Bagir, dalam meliput kasus tentang anak, wartawan perlu memahami tiga premis, yang utamanya tidak ada yang disebut kejahatan anak, tetapi berupa kenakalan anak. “Kalaupun ada pidana maka disebut pidana kenakalan anak,” ucapnya. Dalam kasus hukum, anak-anak harus dipandang sebagai korban, bukan pelaku. Anak-anak yang bermasalah, menurutnya, merupakan korban dari kemiskinan dan masalah keluarga. “Premis ketiga adalah anak-anak hanya mempunyai hak, mereka belum memikul kewajiban,” katanya seraya menambahkan, sebaiknya wartawan menggunakan UU Perlindungan Anak bahwa yang disebut anak-anak adalah mereka yang masih di bawah 18 tahun.
Satu Persepsi Di Indonesia ada sejumlah Undang-Undang yang mengatur tentang usia anak dan orang dewasa. Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang tentang Kepemudaan menyebutkan
bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun. “Sedangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilik hak politik mulai usia 17 tahun,” ungkap Bagir Manan. Karena itu, perlu satu persepsi tentang usia anak-anak, terutama mereka yang terlibat masalah hukum yaitu di bawah 18 tahun. Wartawan hendaknya menggunakan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak untuk menentukan usia anak dalam pemberitaan tentang kasus kekerasan yang menimpa anak-anak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mengatakan, perbedaan usia anak dalam beberapa Undang-Undang diatur berdasarkan semangat atau tujuan peraturan tersebut. “Seperti di Undang-Undang Kepemudaan berusia 16 tahun, karena partisipasi dalam kepemudaan lebih dini lebih baik,” kata dia. Namun, dalam kasus yang melibatkan anakanak, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menjadi acuan. Sebelumnya kegiatan serupa juga