Berbeda dengan Ongen, kasus tukang sate di media sosial yang mirip dengan kasus Ongen, ramai menjadi pembicaraan pada media massa, dan akhirnya kasusnya dianggap “selesai”.
Ongen, Yulianus Paonganan, ditangkap dan langsung ditahan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI karena mengunggah foto yang diduga melanggar kesusilaan lewat akun twitternya. Ongen diduga melanggar Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Pornografi. Ancaman hukuman UU ITE paling lama enam tahun, sedangan ancaman hukuman UU Pornografi paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun.
Sesuai dengan asas praduga tak bersalah, Ongen memang belum tentu bersalah. Jika nanti oleh pengadilan, dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia punya hak untuk direhabilitir nama baiknya, dan ganti rugi secara materi. Namun kalau nanti pengadilan menyatakan Ongen bersalah, karena melanggar UU Pornografi, maka hukuman paling singkat adalah enam bulan. UU ITE tetap berlaku
Mengapa kasus Ongen tidak seramai kasus media online lainnya? Mungkin berita Ongen kalah menarik dengan berita-berita menjelang libur akhir tahun, berita politik, berita reshufle kabinet, dan berita lainnya. Biasanya, kalau tidak ramai diberitakan, tidak ramai diperbincangkan masyarakat, maka prosesnya akan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sedangkan kalau terus menerus menjadi berita, seringkali ada “keringanan”, dan pelakukanya “dimaafkan”.
Mengenai dugaan pelanggaran UU ITE yang bisa diancam hukuman enam tahun penjara sudah sering dibicarakan. Pelanggaran atas Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik bisa dipenjara enam tahun. Pelanggaran pasal 28 ayat (2) tentang informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan diancam hukuman enam tahun penjara. Sedangkan pelanggaran pasal 29 tentang ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan secara pribadi diancam hukuman penjara selama 12 tahun.
UU ITE adalah UU yang sangat keras. Beberapa orang menganggap UU ITE itu melanggar hak konstitusional warga negara, dan mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi menolak semua judicial review itu, dan UU ITE tetap berlaku. Kemudian tuntutan bergeser, bukan untuk membatalkan beberapa pasal dari UU ITE, namun merevisinya, sehingga ancaman hukumannya lebih ringan dari lima tahun, sehingga tidak serta merta bisa ditahan.
Sambil menunggu DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap UU ITE, sebaiknya masyarakat belajar menyesuaikan diri agar tidak melanggar UU ITE. Jika diamati secara selintas, banyak informasi pada media online yang bisa dikategorikan melanggar khususnya pasal 28 ayat (2) UU ITE, karena informasi itu bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan di kalangan masyarakat. Pasal 28 ayat (2) itu bukan delik aduan, sehingga polisi dapat bertindak tanpa menunggu pengaduan
Lebih baik berhati-hati Yang mengejutkan, ternyata Ongen juga diduga melanggar UU Pornografi pasal 4 ayat (1) yang bisa dijatuhi hukuman paling singkat enam bulan penjara dan paling lama 12 tahun penjara. Pasal 4 ayat (1) itu berbunyi:
Setiap orang dilarang memproduksi , membuat , memperbanyak, menggandakan,menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk per senggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
Mari kita pelajari pasal ini dengan seksama dan kemudian kita membandingkannya dengan informasi yang beredar di media online maupun media sosial. Apa yang dimaksud dengan tampilan yang mengesankan ketelanjangan? Menurut penjelasan UU Pornografi, yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Andaikata Kepolisian RI melakukan operasidi media sosial seperti yang dilakukannya di jalan-jalan raya, betapa banyaknya orang yang tertangkap, dan bisa langsung ditahan.
Kita boleh tidak setuju dengan UU Pornografi, dan hal itu sudah dilakukan oleh banyak orang, banyak lembaga, banyak kelompok masyarakat, yang bersama-sama mengajukan judicial review terhadap UU Pornografi. Namun Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 sudah menolak permohonan judicial review itu untuk seluruhnya. Biasanya, kalau Mahkamah Konstitusi sudah menolak permohonan judicial review, maka ikhtiar bergeser untuk melakukan revisi terhadap UU Pornografi. Ikhtiar itu memerlukan waktu yang panjang.
Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita harus sangat berhatihati menyikapi pemberlakuan UU Pornografi yang ancamanhukumannya sampai 12 tahun penjara, sampai-sampai majalah Tempo menulis dalam “Opini” (edisi 3 Januari 2016
“Hari ini Ongen dihukum karena mengunggah foto Presiden dan artis seksi, besok lusa seorang pengguna media sosial dihukum karena, misalnya, mengunggah foto lurah yang berjoget dengan penyanyi dangdut berpakaian seronok. Saat yang lain, sebuah media digital dihukum karena memasang kartun tokoh politik yang memakai baju you can see. Dengan kata lain, kita berbicara tentang pasal karet.”
Tentu saja sekarang ini Ongen belum dihukum, dan belum tentu bersalah, oleh karena itu proses hukumnya menarik untuk diikuti. Sambil terus memantau kelanjutan kasus Ongen, sebaiknya kita belajar dari media mainstream (arus utama) dalam memberitakan atau menyiarkan informasi melalui media sosial yang kita miliki, agar kita bisa tetap bebas berkomunikasi dengan aman.