Pemilihan dilakukan oleh BPPA bersama tiga anggota Dewan Pers periode 2013- 2016
Anggota Dewan Pers yang baru ini akan menggantikan anggota Dewan Pers saat ini yang masa tugasnya akan berakhir pada pertengahan Februari 2016. Mereka mewakili tiga unsur yaitu wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat.
Sembilan anggota Dewan Pers baru tersebut yaitu Hendry Chaeruddin Bangun, Nezar Patria, dan Ratna Komala dari unsur wartawan. Ahmad Djauhar, Jimmy Silalahi, dan Reva Deddy Utama dari unsur pimpinan perusahaan pers. Kemudian, Imam Wahyudi, Sinyo Hary Sarundajang, dan Yosep Adi Prasetyo dari unsur tokoh masyarakat.
Sebelumnya BPPA Dewan Pers membuka pendaftaran calon anggota Dewan Pers periode 2016-2019 sejak 18 November sampai 3 Desember 2015. Hingga hari penutupan pendaftaran, tercatat 34 orang yang mendaftarkan diri atau didaftarkan oleh organisasi wartawan dan perusahaan pers. Sebanyak 12 orang di antaranya mendaftar dari unsur wartawan, 9 orang dari unsur pimpinan perusahan media, dan 13 orang dari unsur tokoh masyarakat.
Kebebasan Pers Hadapi Tantangan Berat
Kebebasan pers pasca reformasi, terutama pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masih menghadapi tantangan berat. Kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi terhadap narasumber berita, dan sistem hukum, seperti digagas dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penyelenggara Pengadilan (contempt of court), sangat berpotensi menghambat kebebasan pers.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang melibatkan sejumlah lembaga bantuan hukum dan lembaga swadaya masyarakat di kantor LBH Pers, Jakarta, Rabu (13/1/2016). Pembangunan jejaring kekuatan sangat dibutuhkan agar peran LBH Pers pada masa depan tidak sekadar berhenti pada kajian, tetapi dapat memainkan peran menjaga kebebasan pers.
LBH Pers mencatat sedikitnya 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi tahun 2015. Tentu, tidak tertutup kemungkinan sejumlah tindak kekerasan yang belum terekspos di negeri ini.
Frekuensi kekerasan terhadap pers berdasarkan pelaku ataupun bentuk kekerasan didominasi oleh polisi. Ada pula kriminalisasi terhadap narasumber, insan pers, dan netizen, yang semakin menjadi fenomena pada era demokrasi. Sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dikeluarkan tahun 2008, sudah ada 134 orang yang terjerat kasus hukum.
Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan, sejak 2012 energi kita habis tersedot memperhatikan kekerasan di internet. “Kita melupakan fenomena kasus ekspresi offline yang jarang muncul ke publik. Ada pengekangan di sejumlah daerah yang tidak muncul di media,” katanya.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, tantangan media semakin berat manakala secara sistemik muncul upayaupaya sistemik, seperti pengaturan pidana penyelenggara pengadilan. Kristiawan, Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa, mengatakan, fenomena kekerasan terhadap jurnalis masih signifikan, terutama di daerah pedalaman. Sistem advokasi masih sangat dibutuhkan, antara lain dengan memperbanyak jejaring LBH Pers.
Teror Bom Thamrin, Foto Tempo Tak Langgar Kode Etik
Anggota Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo mengatakan tak ada kode etik yang dilanggar dari foto-foto yang ditampilkan oleh Tempo terkait dengan tragedi bom dan penembakan di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Menurut dia, foto-foto tersebut justru membuka fakta bahwa masyarakat Indonesia tidak siap menghadapi teror
Di sisi lain, foto-foto tersebut juga berhasil memberikan informasi lengkap mengenai posisi pelaku ketika kejadian sedang berlangsung
. “Pemberitaan media massa tentang aksi teror memang sebaiknya tidak menimbulkan kepanikan. Namun pekerjaan jurnalis adalah memberikan informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi,” ujarnya saat menjadi pembicara di Diskusi Ruang Tengah di gedung Tempo, Kamis, (21/1/2016) 2016
Ia juga menjelaskan, foto yang menjadi cover Majalah Tempo merupakan sebuah bentuk ajakan kepada publik untuk berperang melawan terorisme, bukan sebaliknya. Tempo mengadakan diskusi membahas cover Majalah Tempo yang terbit Senin lalu. Diskusi digelar di lantai 7 gedung Tempo, Kamis, 21 Januari 2016. Cover majalah, yang menampilkan gambar seorang pelaku teror Thamrin tengah menembak seorang polisi, dianggap kontroversial dan melanggar kode etik jurnalistik
Dalam acara bertajuk “Etika Di Belakang Kamera: Benarkah Cover Majalah Tempo Melanggar Kode Etik?”, Tempo menghadirkan Aditya Noviansyah, fotografer Tempo yang mengabadikan gambar peristiwa bom Thamrin sebagai narasumber. Selain itu, hadir Yosep Stanley dari Dewan Pers, Oscar Motuloh dari Antara, dan Muhamad Heychael dari RemoTivi sebagai pembicara
Cover Majal ah Tempo menampilkan potongan gambar peristiwa bom yang terjadi di Jalan M.H. Thamrin, 14 Januari lalu. Dalam gambar tersebut, terlihat seorang pelaku tengah menodongkan pistol dan menembak seorang polisi. Foto tersebut diambil oleh Aditya Noviansyah, fotografer Tempo, yang secara tidak sengaja berada di lokasi kejadian. (tempo.co).
Jangan Takut Terhadap Media Abal-abal
Semakin mudahnya sarana dan akses informasi belakangan ini diakui kerap memunculkan kejahatan berkedok penyamaran dengan melakukan aktivitas jurnalistik. Berbekal keberanian dan sejumlah identitas berlabel pers, para pelaku kejahatan ini kerap memeras ke berbagai institusi dengan ancaman pemberitaan di media jika institusi tersebut tidak memberikan apa yang mereka inginkan. Menanggapi hal ini, Dewan Pers menilai institusi baik pemerintah maupun swasta tak perlu takut.
Menurut anggota Dewan Pers, Muhammad Ridlo Eisy, selama ini memang masih ditemui institusi yang terkesan menjaga jarak kepada media karena menyamaratakan semua media dengan oknum kejahatan tersebut. Padahal, untuk memastikan wartawan yang datang dari media resmi atau tidak, institusi berhak menanyakan identitas wartawan tersebut.
Jika wartawan yang datang sudah menjurus pada pemerasan, institusi pun berhak melapor kepada Polisi.
“Tangkap saja. Pemerasan seperti itu sudah kriminal. Dewan Pers hanya menangani pemberitaan yang dipublikasikan. Tapi kalau tidak disiarkan apalagi mengandung pemerasan, itu bisa dilaporkan ke polisi,” kata Ridlo dalam diskusi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik di Hotel Krisna Pangandaran, Selasa (1/12/2015).
Lagi pula, sambung Ridlo, perusahaan media resmi memiliki sejumlah kriteria. Yang paling mudah dilihat adalah badan hukum dari perusahaan media tersebut. Pasalnya, berdasarkan aturan, media resmi hanya berbadan hukum berupa perseroan terbatas, yayasan, atau koperasi.
“CV tidak termasuk. Untuk melaksanakan tugas jurnalistiknya, perusahaan media juga seharusnya menggaji wartawannya dengan layak. Ini perlu agar kode etik yang harus dijunjung oleh wartawan tidak terganggu,” ucapnya.
Untuk meningkatkan profesionalitasnya, wartawan hendaknya mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan oleh organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, atau Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Selain itu, beberapa perusahaan media pun sudah menggelar uji kompetensi wartawan tersendiri untuk para karyawannya
“Institusi pemerintahan atau swasta pun hendaknya tidak memberikan imbalan seperti amplop atau uang peliputan kepada wartawan. Ini penting mengingat tugas jurnalistik tidak diperkenankan menerima itu,” ucapnya seraya menuturkan institusi terutama pemerintahan sudah selayaknya membuka informasi kepada publik mengingat hal tersebut tidak hanya diatur dalam UU Pers tetapi juga dalam UU Keterbukaan Informasi Publik KIP
“Minimal secara online informasi itu ada lah. Pada dasarnya sih untuk pemerintahan di Jawa Barat baik Provinsi atau Kabupaten Kota, keterbukaan informasi ini sudah lumayan dan enggak ada keluhan. Tapi tentu masih ada yang perlu ditingkatkan,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua PWI Jawa Barat Mirza Zulhadi menuturkan, dalam tiga tahun ini dari sekitar 1100-an anggota PWI di Jawa Barat, 341-nya sudah mengikuti uji kompetensi. Diakuinya meski semua wartawan sadar pentingnya uji kompetensi, masih sering ditemukan kemalasan wartawan untuk mengikuti ujian tersebut
“Alasannya takut enggak lulus. Padahal ini penting untuk meningkatkan profesionalisme wartawan. Lagi pula ini enggak ada lulus atau enggak lulus. Yang ada kompeten atau tidak,” kata Mirza.
Mengenai keterbukaan informasi publik di pemerintahan, diakuinya Jawa Barat sudah bisa dibilang bagus. Namun begitu, perlu ada optimalisasi mengingat keterbukaan informasi penting dan merupakan kebutuhan pemerintah itu sendiri
“Selain itu pemerintah dengan media pun harus bersinergi dengan baik,” ucapnya
Banyak Media Massa Terkontaminasi Politik
Anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, mengatakan situasi media massa di Indonesia saat ini telah banyak terkontaminasi oleh situasi politik dan kepentingan pemilik media.
“Hampir semua siaran tampak terkontaminasi politik tinggi, terutama televisi berita,” ucap Stanley saat ditemui di gedung Dewan Pers, Rabu (20/1/2016).
Stanley juga mengatakan, akibat kejadian itu, banyak sekali acaraacara di televisi, misalnya, yang menyajikan fakta yang berbeda satu sama lain. Modusnya adalah dengan pemilihan angle dan narasumber. “Fakta bisa berbeda 180 derajat dalam beberapa acara,” ujarnya.
Stanley menjelaskan, fenomena ini berawal pada adanya pemilik media yang membentuk partai politik atau sebaliknya, yaitu orang dari partai politik yang memiliki media. “Media loyal mencitrakan pemiliknya,” tuturnya
Menurut Stanley, karena hal itu pula, banyak partai politik melirik para pemilik media untuk diajak bergabung. Alasannya, merekaingin mempengaruhi opini publik menggunakan media. “Jadi jangan kaget juga lihat politikus masuk sinetron.”
Stanley juga menegaskan, dibutuhkan ketegasan dari pemimpin redaksi masing-masing media untuk mencegah hal itu. Namun celakanya, kata Stanley, banyak pemimpin redaksi yang mendukung intervensi oleh pemilik media.
Stanley mengaku sering berkata kepada para pemimpin redaksi yang medianya ia anggap telah terkontaminasi kepentingan politik agar bisa mencegah. Sebab, ia menganggap para pemilik media itu kebanyakan adalah orang baru di dunia media
“Harus bisa megang independency policy newsroom. Kalau masuk iklan, silakan. Kalau angle redaksi, enggak bisa diatur,” ucapnya. Terutama soal penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan pemilik media. “Frekuensi publik jelas enggak boleh. Kalau kabel, enggak apa-apa.”
Menurut Stanley, dibutuhkan satu regulasi yang dirancang oleh komunitas pers, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, dan para pemilik media tentang bagaimana hal ini dapat diatur. “Harus duduk bersama. Bentuknya nanti undangundang, yang nantinya mengikat semua, termasuk pengawasan.”
Diduga Memeras, Wartawan Ditangkap
Anggota Satreskrim Polres Tuban melakukan operasi tangkap tangan (OTT) wartawan online yang diduga memeras kontraktor pembangunan jalan di wilayah Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban.
OTT dilakukan beberapa anggota Satreskrim usai oknum wartawan tersebut menerima uang dari kontraktor bernama Kartono di rest area, Rabu (13/1/2016).
Informasi yang dihimpun surya. co.id. pelaku yang diduga memeras itu berinisial ER dipekirakan berasal dari Mojokerto dan mengaku kepada korbannya sebagai wartawan online bernama Surya Indonesia (SI).
Polisi yang mengetahui ER telah memasukkan uang hasil dugaan pemerasaan ke saku baju langsung mendatanginya.
Tiga polisi yang berpakaian preman mendekati ER lalu minta pria yang berpakaian hem warna putih itu mengeluarkan uang itu dari saku bajunya. Uang itu terlihat dibungkus selembar kertas.
Awalnya, ER membantah telah memeras kontraktor dengan dalih memiliki kwitansi pembayaran
Namun, polisi tidak mempercayainya. Seorang anggota polisi pun mengambil uang dari tangan ER yang baru saja mengeluarkannya dari saku baju. ER tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terlihat menekan tombol di
ponsel mirip blackberry warna putih. Polisi yang mengetahui tindakan ER pun tak tinggal diam, ponsel itu diambil. ER kemudian menuruti perintah polisi, termasuk mau dibawa ke Mapolres Tuban. “Ayo ikut kami. Nanti sampaikan ke kantor,” ujar seorang polisi mengajak ER menuju mobil polisi.