Dewan Pers dan Pelembagaan Demokrasi

Dewan Pers dan Pelembagaan Demokrasi
07 November 2006 | Administrator

Deputi Direktur Yayasan SET
Sentralisasi penyelenggaraan kekuasaan sepanjang sejarah Orde Baru telah melahirkan pemerintahan yang sangat kuat dan sulit ditandingi oleh unsur-unsur yang merepresentasikan publik. Tidak ada kekuatan politik alternatif yang mampu mengontrol kekuasaan pemerintah sehingga tumbuh suburlah struktur dan kultur birokrasi yang korup, nepotis, dan tidak punya cukup kepekaan terhadap kepentingan-kepentingan publik.

Sebagai alternatif untuk mengurai sentralisasi kekuasaan itu, gerakan reformasi melahirkan lembaga-lembaga negara independen/LNI (state auxiliary agencies). Namanya bermacam- macam, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, dan lain-lain. Lingkup kerja dan otoritasnya berbeda-beda, tetapi mereka dilahirkan dengan tujuan yang sama: melembagakan proses check and balances kekuasaan, melahirkan struktur politik di mana proses penyelenggaraan pemerintahan terdesentralisasi, transparan, dan memungkinkan partisipasi publik secara demokratis.

�

Inkonsistensi pemerintah

Namun, belakangan muncul kesan LNI itu dilahirkan sekadar karena eforia reformasi semata. Bagaimana implementasi dan sustainability-nya tidak benar- benar dipikirkan. Sejauh ini belum terlihat political will pemerintah untuk membantu penguatan LNI. Alih-alih dilihat sebagai sebuah imperatif dalam mewujudkan good and clean governance, institusionalisasi LNI itu belakangan justru lebih sering diperlakukan sebagai ancaman bagi struktur pemerintahan yang telah mapan.

Ada berbagai pola yang membuat LNI itu tidak berfungsi secara optimal. Pertama, beberapa LNI kurang bekerja secara efektif karena senantiasa bermasalah dengan dana operasional yang semestinya dianggarkan dari APBN. Mereka hanya dibentuk dan disahkan, tetapi implementasi selanjutnya kurang dipikirkan oleh pemerintah.

Kedua, banyak LNI mendapatkan limpahan staf dari departemen teknis terkait. Dalam praktiknya, para staf itu lebih banyak menunjukkan loyalitasnya kepada departemen tempat mereka berasal, dan justru menimbulkan kerumitan baru pada kinerja LNI, sebagaimana terjadi pada kasus KPI dan Dewan Pers.

Ketiga, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memangkas fungsi dan wewenang LNI. Dalam kasus KPI, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tentang Penyiaran yang memangkas fungsi KPI sebagai regulator penyiaran. Pemerintah berpendapat, KPI hanya perwakilan masyarakat yang tidak seharusnya memegang fungsi regulasi. Hal yang lebih kurang sama tampaknya juga terjadi pada rencana revisi UU Pemilu, di mana beberapa kewenangan KPU hendak dikembalikan kepada Depdagri dan jajarannya.

Tantangan ke depan

Dewan Pers periode 2006- 2009 telah terpilih dan tak lama lagi akan dilantik oleh Presiden. Kepada sembilan anggota Dewan Pers yang baru, perlu diingatkan bahwa dinamika kebebasan pers tidak pernah bisa berdiri sendiri dan selalu memengaruhi atau dipengaruhi oleh dinamika politik-ekonomi yang terjadi di sekelilingnya. Karena itu, problem-problem kebebasan pers harus "ditransendenkan" sebagai problem demokratisasi secara lebih luas. Problem-problem Dewan harus dipetakan sebagai bagian dari problem pelembagaan demokrasi pada umumnya.

Tantangan Dewan Pers ke depan bukan cuma bagaimana menyelesaikan masalah-masalah sektoral bidang pers. Tantangan yang tak kalah serius muncul dari realitas institusionalisasi LNI yang belum sepenuhnya tuntas, bahkan belakangan mengalami banyak kemunduran. Hal ini sama pentingnya dengan isu sektoral, seperti kriminalisasi kerja jurnalistik, defamation, mekanisme hak jawab, dan kesejahteraan pekerja media.

Jika menghendaki Dewan Pers yang independen, kuat, dan produktif, problem institusionalisasi LNI harus mendapatkan prioritas. Hambatan Dewan Pers di sini tidak hanya konservatisme pemerintah dalam memandang asas trias politika yang seakan- akan tidak memberi tempat bagi hadirnya LNI, tetapi juga sempit atau lemahnya pemahaman publik, termasuk juga pers, sehingga sering memicu kritik yang kurang konstruktif terhadap eksistensi LNI dan menganggap remeh relevansinya bagi perwujudan good and clean governance.

�

Harian Kompas, Selasa, 10 Oktober 2006