Dewan Pers Soroti Gaya Komunikasi Digital Dedi Mulyadi "Membunuh" Peran Jurnalis?
JAKARTA – Fenomena gaya komunikasi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai perhatian serius dari Dewan Pers. Alih-alih mengandalkan konferensi pers resmi atau peran humas, Dedi justru lebih sering menyampaikan kebijakan dan pandangannya melalui kanal pribadi, termasuk media sosial.
Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat, menyebut langkah ini bisa berdampak pada profesi jurnalis.
“Tindakan atau keputusan ini seolah-olah ‘membunuh’ teman-teman wartawan, karena akan berdampak pada pers atau awak media yang tidak lagi dibutuhkan oleh pemangku jabatan,” ujar Komaruddin dalam podcast Suara Demokrasi edisi ketiga.
Komaruddin menekankan, jurnalis tetap memiliki peran penting sebagai penengah dan pengawas informasi publik. Namun, ketika pejabat lebih memilih berbicara langsung ke masyarakat, media bisa kehilangan ruang untuk melakukan klarifikasi, verifikasi, dan pengayaan informasi.
Menurutnya, situasi ini berpotensi menimbulkan “ruang hampa” dalam jurnalisme jika masyarakat hanya bergantung pada narasi tunggal dari pejabat.
Menanggapi pernyataan tersebut, Dedi Mulyadi menegaskan dirinya tidak bermaksud mengurangi peran pers. Ia justru menyebut pola komunikasi langsungnya bisa mempercepat arus informasi.
“Sebenarnya bukan membunuh peran pers, tetapi mempermudah. Dulu wartawan harus menunggu di kantor berjam-jam, terkadang pejabat tidak mau bicara. Padahal publik butuh kepastian cepat. Sekarang sejak pagi, wartawan bisa langsung mengutip apa yang saya sampaikan,” kata Dedi.
Hampir setiap hari, Dedi mengaku menyapa warga sejak pukul 06.30, menyampaikan refleksi kegiatan sebelumnya, hingga agenda hari ini. “Dari situ wartawan tidak perlu menunggu rilis atau datang ke rumah dinas,” tambahnya.
Dedi juga menyinggung isu yang kerap menimbulkan salah paham, yakni menurunnya anggaran kerja sama pemerintah dengan media massa.
“Dari Rp50 miliar turun menjadi Rp3 miliar. Jadi bukan kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan atau berkurangnya pendapatan,” ujar Dedi.
Pernyataan ini menegaskan bahwa dinamika hubungan pejabat dan media bukan hanya soal informasi, tetapi juga terkait pola kerja sama yang berubah seiring perkembangan teknologi digital.
Selain komunikasi, Dedi menekankan bahwa pola kerja pemerintahan modern tidak lagi bergantung pada gedung kantor. Dengan teknologi digital, berbagai keputusan bisa diambil secara cepat tanpa harus tatap muka di ruang kerja.
“Kantor tidak lagi terlalu penting. Keputusan bisa melalui Zoom, video call, WhatsApp, sampai tanda tangan digital. Yang penting keputusan cepat dan tepat,” jelasnya.
Dewan Pers sendiri menegaskan bahwa jurnalis tetap harus dilibatkan dalam proses penyampaian informasi, agar publik mendapat berita yang berimbang dan terverifikasi. Meski pejabat memiliki hak untuk menggunakan media pribadinya, peran pers tidak boleh direduksi hanya sebatas “pengutip”.
Prof. Komaruddin mengingatkan, media berfungsi sebagai pengawas kebijakan, bukan sekadar corong pejabat. Bagi Dewan Pers, isu ini bukan sekadar soal teknis komunikasi, melainkan soal masa depan jurnalisme di tengah derasnya arus informasi digital. (*)