Menerawang Dewan Pers Yang Visioner dan Tanggap
07 Mei 2013 | Administrator
Kinerja Dewan Pers periode 2010-2013 layak diapresiasi. Pelbagai program sosialisasi tentang keputusan-keputusan Dewan Pers, tentang uji kompetensi wartawan, dan juga tentang penanganan pengaduan masyarakat atas rupa-rupa persoalan berjalan lancar dan mengesankan.
Bersamaan dengan capaian dan prestasi tersebut, disadari bahwa dinamika pers Indonesia sendiri terus tumbuh, baik karena masyarakat yang semakin terbuka dan makin sadar akan hak-hak mereka juga karena semakin dekatnya tahun politik, maupun oleh tersedia dan terjangkaunya media baru.
Sekadar berefleksi tentang jurnalisme dan profesi jurnalistik, ada baiknya di era jurnalisme warga, di era ‘We’re All Journalists’ (Scott Gant) sekarang ini, perlu dikemukakan bahwa jurnalisme tengah berada di persimpangan jalan. Yang ekstrem bilang “It’s a dying profession”. Dalam ‘peer to peer journalism’ siapa pun yang mewartakan sesuatu, bisa melewati redaktur, melewati pemimpin redaksi dan melewati mainstream media. Jurnalistik pun berubah ciri, dari ‘one-to-many’ menjadi ‘many-to-many’.
Wacana ini muncul seiring dengan wacana meredupnya media cetak, yang dibantah keras oleh kalangan ‘die hard’, yang menyebut isu yang ditiupkan seperti dalam “The Vanishing Newspaper” (oleh Philip Meyers) sebagai isapan jempol.
Dalam masa sulit (predicament) inilah kita semua yang lahir dan besar dalam era keemasan jurnalisme, para jurnalis terpanggil untuk terus menjalankan fungsi tugas jurnalisitiknya secara profesional. Diringkaskan dalam kalimat pendek, ideal tentang pers dapat dilukiskan dalam ungkapan Perancis ‘Un Journal, C’est Un Monsieur’, ‘Koran itu, adalah Seorang Tuan’, yang di dalamnya ada dignity, ada keluhuran.
Namun untuk memperluas tafsir, saya ingin melihat ‘koran’, atau media secara umum, bukan saja diselimuti dignity, tetapi juga keanggunan yang dibalut dengan keluasan pengetahuan, namun juga disertai pesan ‘outreaching’ (merengkuh), dan compassionate (berbela-rasa). Dalam praksisnya, media juga punya semangat membela yang lemah dan belum sejahtera.
Menangkap Kearifan
Pada sisi lain, era baru menuntut pers tidak hanya berkisah tentang kesusahan hidup, tentang kekisruhan yang seolah tanpa akhir. Pers harus mampu menangkap kearifan, that in every cloud, there’s always a silver lining, bahwa dalam setiap kesusahan ada cahaya terang. Sebabnya tidak lain adalah karena pers juga dituntut untuk melihat sisi positif, sisi yang menghibur dan mencerahkan.
Di saat teknologi informasi-komunikasi datang menggebu, pers juga dituntut bisa menjelaskan, bagaimana masyarakat mampu memanfaatkan kemajuan ini, sehingga tidak terhanyutkan. Ini juga yang menjadi pesan Bill Kovach dalam buku barunya, Blur, bahwa di tengah banjir informasi pers harus tetap bisa mengetengahkan kebenaran.
Saya kira masih banyak hal yang dapat kita wacanakan dalam konteks itu. Yang jelas, Dewan Pers tetap mengemban peran yang diharapkan masyarakat dan peran itu pastilah peran yang makin menantang, karenanya Dewan Pers harus visioner, mampu melihat masa depan, namun juga tidak meninggalkan sikap tanggapnya.
Dewan Pers, yang saya bayangkan, adalah Dewan Pers yang tetap menangkap aspirasi di atas. Dewan Pers yang bisa mengangkat pers Indonesia ke aras lebih tinggi, mengayomi dan melindungi para wartawan, memperjuangkan peningkatan kesejahteraannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya.
Catatan: Tulisan ini diambil dari sambutan anggota Dewan Pers, Ninok Leksono, mewakili Dewan Pers periode 2013-2016, dalam acara alih tugas dengan Dewan Pers periode 2010-2013 di Kantor Dewan Pers pada 3 April 2013 setelah dihilangan tegur sapanya dan diberi subjudul seperlunya. - Red