Kredibilitas Media dan Reputasi Bangsa
15 Juni 2017 | dedy
1. Pendahuluan
Perlu disadari, setiap fenomena, setiap sistem, tidak hadir atau tercipta semata-mata karena faktor internal fenomena atau sistem yang bersangkutan, melainkan tali-temali, bahkan sebagai hasil hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak jarang pula, suatu fenomena atau sistem adalah hasil reaksi dari fenomena atau sistem lain. Inilah yang kemudian menimbulkan ungkapan: “yang tetap itu adalah perubahan.” Kita mengenal teori dialektika Marx (tesis-antitesis-sintesis). Tetapi ada juga perkembangan yang tidak dialektis (bukan hasil pertentangan) melainkan hasil evolusi (teori evolusi fisik Darwin, teori evolusi sosial Spencer). Namun semua teori ini berasumsi, perubahan akan menuju keadaan yang lebih baik dalam makna fisik, sosial, politik, ekonomi, budaya. Dalam kenyataan, perubahan dapat juga menuju keadaan yang lebih buruk. Teori dialektika Marx dalam bentuk pertentangan kelas antara kapitalis lawan proletar, melalui revolusi akan melahirkan masyarakat tanpa kelas (classless society) atau masyarakat komunis (sintesis), suatu masyarakat tanpa penindasan dan pemerasan oleh kelas kapitalis terhadap kelas proletar (tidak ada exploitation de l’homme par l’homme). Apabila masyarakat seperti ini dapat diwujudkan, tidak perlu lagi kekuasaan (negara), tidak perlu hukum. Namun, ada masa transisi yang disebut “kediktatoran proletariat”. Masa transisi akan ada selama ada kelas kapitalis. Kenyataan, tidak berjalan seperti hipotesis Marx. Malahan kelas kapitalis berangsur-angsur berubah. Tanpa melalui proses dialektis, kapitalisme yang ditopang liberalisme melahirkan konsep-konsep kesejahteraan dan keadilan sosial, demokrasi (politik dan sosial) yang mewujudkan kesejahteraan dan kebebasan. Sebaliknya kediktatoran proletariat menjadi sistem yang serba menindas, kekuasaan negara yang makin menguat sebagai alat penindas. Demokrasi karena berbagai ulah pelakunya dapat mundur menjadi otoritarian atau kediktatoran. Dalam teori ilmu negara (staatsleer) dikenal teori siklus Polibios (Yunani). Walaupun demikian, perlu dicatat, tidak benar kalau ada anggapan faktor eksternal selalu determinan. Ada kalanya, faktor internal menjadi faktor determinan perubahan. Di atas telah dikemukakan, kemungkinan demokrasi berubah menjadi otoritarian, karena tingkah laku para pelaku demokrasi itu sendiri. Demokrasi dihancurkan oleh demokrasi. Independensi media dijual sendiri oleh media karena menerima amplop, berkolaborasi dengan penguasa, menjadi partisan, menjadi alat propaganda dll.
Berdasarkan premis di atas, kenyataan menunjukkan, kredibilitas pers dan reputasi bangsa, secara serentak ditentukan, baik oleh faktor-faktor internal, maupun pengaruh dari lingkungan sekitar, baik pengaruh dari suatu atau berbagai fenomena atau pengaruh dari suatu atau berbagai sistem. Kita mengenal ungkapan: “situation gebundenheit” (keadaan atau lingkungan itu menentukan). Tarik menarik antara faktor-faktor internal-eksternal akan tercermin dalam ouput perubahan atau perkembangan. Pada saat ini, ada keluhan, tata kehidupan kenegaraan dan ekonomi kita menjadi liberal bahkan berada dalam pelukan liberalisme – individualisme, sesuatu yang bertentangan dengan cita negara (staatsidee) UUD 1945. Berbagai faktor eksternal di satu pihak dan ketidakberdayaan internal di pihak lain menjadi penyebab kecenderungan tersebut. Ciri-ciri kehadiran liberalisme—antara lain—privatisasi, sistem pasar bebas, kapitalisme dan lain-lain. Salah satu akibatnya adalah merajalelanya modal dan perusahaan asing tanpa batas, termasuk usaha-usaha yang semestinya dikuasai negara baik karena menguasai hajat banyak orang maupun kepentingan negara itu sendiri.
2. Kredibilitas media
Apakah semestinya (should be) makna “kredibilitas media”? Secara kebahasaan, kredibilitas media artinya media yang mampu memikul kepercayaan dan dapat dipercaya (media trust). Secara esensial, media kredibel adalah media yang senantiasa mengkedepankan responsibility dan accountability Secara jurnalistik, media trust biasanya dibangun atas dasar ketaatan terhadap prinsip-prinsip jurnalisme, baik dalam arti mekanisme maupun etik, ketaatan terhadap kelaziman jurnalistik (the best practices of democratic media), dan ketaatan pada hukum. Apakah hal itu cukup untuk membangun kepercayaan? Belum cukup, tanpa disertai misi publik baik dalam makna menjadi penyambung lidah publik, melindungi publik, menjadi avant garda publik.
Persoalannya: “terhadap siapa media harus memikul atau menjaga kepercayaan?” Apakah media hanya harus kredibel di depan publik atau termasuk juga kredibel di depan penguasa publik atau keduanya?”
Dalam masyarakat dan sistem politik dan sosial demokratis, kredibilitas media semestinya berlaku baik terhadap publik maupun penguasa, atau setidak-tidaknya dilakukan secara berimbang. Namun, acapkali, media atau pranata apapun, bahkan perorangan dihadapkan pada pilihan. Media secara natur adalah pranata publik. Dengan demikian pada dasarnya (sebagai principles) apabila dihadapkan pada pilihan semestinya media ada di pihak publik, lebih-lebih jika penguasa sama sekali tidak bekerja untuk kepentingan publik, apalagi penguasa melanggar hak-hak publik atau menindas publik. Tetapi dapat pula terjadi, publik berlaku tak semena-mena atau terjadi eksploitasi publik untuk kepentingan yang bukan kepentingan publik. Dalam keadaan demikian, media tidak layak apriori berpihak kepada publik yang tidak mengemban kepentingan publik. Kita mengenal bermacam-macam kepentingan publik seperti keamanan, ketenteraman, kenyamanan, kesejahteraan, keadilan dan lain-lain. Dalam masyarakat demokratis, berbagai kepentingan itu adalah “hak” yang dapat diperjuangkan, dipertahankan, dan harus dijamin dan dilindungi. Tetapi secara serentak harus juga dikatakan, dalam masyarakat demokratis, hampir tidak ada hak yang tidak serentak melekat pula kewajiban. Untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, diperlukan aturan main (rule of the game), baik yang bersifat hukum, etik, kelaziman, dan lain-lain tatanan hidup bersama. Lagi-lagi, dalam masyarakat demokratis, segala bentuk aturan main bersama merupakan wujud kehendak bersama atau general will (Rousseau).
Kredibilitas media akan terbangun apabila dipenuhi aspek-aspek internal dan aspek-aspek eksternal.
Pertama; aspek internal, yang dapat dibedakan antara aspek-aspek jurnalistik dan aspek nonjurnalistik.
- Aspek jurnalistik. Media akan kredibel apabila secara jurnalistik bermutu. Untuk bermutu, selain senantiasa menjunjung tinggi independensi dan taat pada kode etik jurnalistik, para jurnalis dan pengelola newsroom cq editor harus memiliki kapasitas intelektual dan keterampilan di bidang jurnalistik atau di luar jurnalistik. Tidak kalah penting, memiliki wawasan baik ilmiah maupun non ilmiah. Bukanlah suatu kapasitas intelektual kalau hanya bertumpu pada pengetahuan yang banyak atau ilmu yang tinggi, tanpa disertai wawasan. Kapasitas intelektual harus ditunjukkan bahwa ilmu yang dimiliki menjadi tuntunan bekerja dan bersikap, memiliki tanggung jawab terhadap perikehidupan publik, mencintai kebenaran dan memiliki keberanian menegakkan kebenaran. Sutan Syahrir menyebutkan: ciri intelektual itu yaitu menjadikan ilmu sebagai hati nurani. Mohammad Hatta mengatakan, ciri keterpelajaran itu adalah karakter (kepribadian) yang bertanggung jawab. Ilmu dapat dipelajari, kata Bung Hatta, karakter adalah sesuatu yang tumbuh sebagai hasil latihan (latihan bertanggung jawab). Pada saat ini, kita telah memiliki sangat banyak sarjana, tetapi hal itu belum tentu seiring dengan kehadiran keterpelajaran (intelektual) yaitu lapisan orang-orang yang bertanggung jawab.
- Aspek nonjurnalistik yaitu yang bertalian dengan pengelolaan (managerial). Aspek ini bertalian dengan media (pers) sebagai perusahaan. Selain harus dikelola menurut tatanan pengelolaan perusahaan yang baik dan sehat, menjalankan fungsi-fungsi perusahaan modern untuk memperoleh laba, menjalankan prinsip-prinsip corporate social responsibility, pengelola cq pemilik perusahaan media, juga wajib memiliki kesadaran mengenai hakikat pers, fungsi pers, dan asas serta kaidah media sebagai suatu kegiatan jurnalistik. Pengelola perusahaan atau pemilik media wajib menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang harus berlaku sebagai syarat agar di perusahaan media dapat menghasilkan produk-produk jurnalistik yang bermutu dan kredibel. Tanpa kesadaran semacam itu, media hanya sekedar alat perusahaan untuk mencari laba atau tujuan lain yang dapat melanggar prinsip-prinsip jurnalistik. Pada saat ini—paling tidak—ada dua sumber kerisauan publik dan pengelola jurnalistik, terhadap pengelola perusahaan atau pemilik media.
- Motif mencari laba. Telah dikemukakan, motif mencari laba merupakan konsekuensi media sebagai industri, media sebagai usaha ekonomi. Yang merisaukan publik dan juga para pengelola jurnalistik, praktek-praktek campur tangan pengelola atau pemilik perusahaan yang mempengaruhi kerja wartawan dan pekerja newsroom semata-mata dari kepentingan perusahaan bukan kepentingan menjaga kredibilitas media. Bahkan semua arah kebijakan dan aktivitas jurnalistik harus dilakukan demi kepentingan ekonomis pengelola atau pemilik perusahaan media. Semestinya, sebagai perusahaan media (perusahaan pers), pengelola (pemilik) harus menjaga kredibilitas media. Setidak-tidaknya ada keberimbangan (simbiosis mutualistik).
- Motif kepentingan politik. Kita baru saja melalui peristiwa politik lima tahunan yang sangat besar: Pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Ada sejumlah pengelola perusahaan atau pemilik media yang menjadi bagian dari kompetisi tersebut sebagai: “pimpinan partai politik tertentu, atau diusung untuk menjadi calon Presiden, atau menyokong seorang calon Presiden.”
-
Persoalan tidak pada keikutsertaan dalam politik tersebut, melainkan penggunaan media yang dikelola atau dimiliki menjadi instrumen politik dengan meninggalkan asas-asas dan kaidah jurnalistik yang semestinya wajib senantiasa dijunjung tinggi oleh setiap media demokratis, independen dan menjunjung tinggi kode etik. Presiden SBY sampai menggunakan ungkapan: “media terbelah,” meng-hadapi pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Apabila media tidak berhasil menjadikan asas-asas jurnalisme yang sehat sebagai way of life, “media terbelah” hampir pasti berulang pada setiap siklus politik lima tahunan. Dalam sejumlah pertemuan atau diskusi yang saya hadiri, ada berbagai pesan kerisauan mengenai situasi media yang “berpolitik” itu.
Tajamnya keberpihakan media lebih merisaukan publik pada saat menghadapi pemilih Presiden-Wakil Presiden. Beberapa media menjadi begitu partisan untuk memenangkan calon yang mereka dukung, termasuk penggunaan quick count yang semestinya sebagai kegiatan ilmiah yang netral (tunduk pada metode dan analisis ilmiah), dicoba dipergunakan sebagai alat keberpihakan tanpa mengindahkan syarat-syarat ilmiah yang harus dipenuhi. Sangat berlebihan. Menghadapi kenyataan ini, Dewan Pers menyampaikan pendirian, bahwa, memiliki preferensi, menentukan pilihan merupakan bagian dari independensi cq the right to freedom of choice, the right to freedom of opinion. Namun sebagai pers, penggunaan hak-hak tersebut tidak boleh sekali-kali mencederai makna independensi itu sendiri, tidak mencederai prinsip-prinsip kode etik, tidak mengurangi kewajiban memelihara the best practises of democratic media, apalagi melanggar hukum. Di atas semua itu, betapa penting media menjaga honesty dan dignity dirinya sendiri. Kalau tidak, media yang bersangkutan akan berangsur-angsur ditinggalkan publik. Publik adalah hakim yang sangat sulit bahkan tidak mungkin dibantah.
Walaupun mengetahui dan melihat kecenderungan kepartisan tersebut, Dewan Pers tidak terburu-buru untuk menyimpulkan telah terjadi pelanggaran yang begitu mendasar sehingga perlu ada tindakan di luar yang sudah lazim dilakukan. Pertama; meskipun pada segmen politik telah menimbulkan berbagai kerisauan, segmen-segmen lain dari media yang bersangkutan masih tetap dijalankan atas dasar prinsip-prinsip jurnalisme yang baik. Kedua; ketidakhati-hatian mengambil tindakan dapat menjadi blunder dan mendekatkan dunia pers kembali dalam killing ground penyensoran (censorship) yang merupakan antitesis kemerdekaan pers. Ketiga; di tengah-tengah berbagai kepartisan tersebut, masih ditemukan media berpengaruh yang tetap menjaga tata krama jurnalistik yang sehat.
Demikian beberapa hal internal yang akan berpengaruh pada kredibilitas media.
3. Reputasi Bangsa
Aspek terpenting reputasi bangsa adalah keberhasilan sebagai bangsa yang dihargai oleh pihak lain. Ada beberapa reputasi yang telah dicapai bangsa Indonesia: “membebaskan diri dari belenggu penjajahan, sebagai negara kesatuan kepulauan terbesar yang multi etnis. Sejak reformasi Indonesia berhasil memulihkan demokrasi dengan berbagai kebebasan demokratis termasuk kebebasan pers. Reputasi-reputasi ini perlu senantiasa dijaga, dipertahankan dan ditegakkan.
Meskipun penting, membangga-banggakan hal di atas, membangga-banggakan kita memiliki dasar dan tata nilai luhur yang berbeda dengan bangsa lain, sangat tidak cukup sebagai sebuah reputasi. Peri kehidupan demokrasi (prosedural dan substantif) yang hebat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merupakan paradoks, di tengah-tengah kemiskinan dan keterbelakangan sosial yang luas. Reputasi demokrasi, pertumbuhan ekonomi, baru akan berarti dan dihargai apabila disertai kesejahteraan, sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inilah semestinya reputasi yang harus dikejar, bukan demokrasi sekedar untuk demokrasi, bukan pertumbuhan ekonomi sekedar pertumbuhan. Bukanlah demokrasi kalau sekedar ada kebebasan, bukan pula demokrasi kalau menghasilkan keberingasan mayoritas atau sekedar untuk mengalahkan minoritas. Demokrasi semacam ini adalah demokrasi yang sedang meluncur menuju anarki. Reputasi tidak pula cukup sekedar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa disertai kesejahteraan dan kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ada yang berpendapat angka kemiskinan makin menurun. Ada yang mengatakan angka kemiskinan bertambah, apalagi jika dimasukkan mereka yang rentan menjadi miskin. Semua merupakan perdebatan statistik yang mungkin jauh dari realitas. Bagaimana mungkin disebut reputasi, di tengah-tengah gegap gempita teknologi dan ilmu pengetahuan, didapati puluhan ribu bangunan sekolah yang rusak berat, bahkan ada yang runtuh ketika murid sedang belajar. Apakah sebuah reputasi, kalau ratusan ribu orang menjadi penghuni gubuk-gubuk di bantaran rel, di pinggir waduk, di bawah jembatan. Apakah merupakan reputasi, kalau pemulung sampah menjadi pekerjaan. Belum pula disebutkan masalah pelanggaran hukum seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain.
Kita ditantang agar politik bukan sekedar persoalan politik, politik bukan sekedar cara memperoleh, mempertahankan dan mengelola kekuasaan. Ekonomi bukan sekedar produksi, bukan sekedar GNP, bukan sekedar jumlah devisa. Nasionalisme bukan sekedar negara kebangsaan, bukan sekedar kepribadian bangsa atau identitas budaya. Kita menghendaki welfare politics, welfare economy, welfare nationalism, dalam wujud kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Media yang kredibel harus senantiasa menjadikan hal-hal tersebut sebagai persoalan, bukan sekedar berita.
4. Kepemimpinan Baru
Montesquieu menyatakan (L'esprit des Lois/The Spirit of the Laws), kekuasaan itu mengandung sifat “greedy” (ketamakan). Setiap yang berkuasa mempunyai kecenderuangan untuk memperbesar kekuasaan, sehingga menjadi tiada terbatas. Karena itu diperlukan pembatasan kekuasaan. Menurut Montesquieu, pembatasan kekuasaan dilakukan dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang diikuti dengan saling kontrol dalam bentuk checks and balances. Dalam perkembangan, kontrol juga dilakukan melalui, demokrasi (partisipasi publik), ajaran negara hukum, ajaran konstitusionalisme, ajaran hak asasi manusia dan lain-lain.
Selain melaksanakan ajaran-ajaran di atas, pembatasan kekuasaan dan kontrol dilakukan melalui: Pertama, self control seperti self cencorship. Kedua, kontrol publik (kontrol sosial). Di sini media (pers) sangat menentukan. Pers merupakan sarana kontrol sosial yang sangat menentukan. Inilah sebenarnya esensi, pers atau media sebagai the fourth estate. Tetapi hal itu hanya dapat dijalankan dengan baik, apabila pers kredibel, pers tidak sekedar menjadi master’s voice kepentingan-kepentingan pemilik atau penguasa pers, tidak menjadi sekedar penabuh gendang para penari yang sedang bertarung.
Ketika masih mahasiswa (masa Orde Lama) kami menghadap alm. Bung Hatta. Di antara mahasiswa yang hadir, ada yang mengajukan pertanyaan: mengapa UUD 1945 hanya menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali? Mengapa tidak ada pembatasan, sampai-sampai Presiden diangkat seumur hidup? Bung Hatta menjawab. Jabatan Presiden itu berat sekali (Presiden memegang kekuasaan pemerintahan: Pen), karena itu tidak akan ada orang yang akan terus menerus menjadi Presiden. Jadi, diharapkan, praktek ketatanegaraan akan melahirkan pembatasan. Tentu saja, kalau demokrasi berjalan dengan baik, atau ada kemungkinan terjadi perubahan perimbangan kekuasaan politik sehingga MPR (pada waktu itu) akan memilih orang baru. Praktek yang kita alami (das Sein) tidak seperti pemikiran Bung Hatta (das Sollen). Hal ini terjadi karena yang berkuasa terkena penyakit sebagai penikmat kekuasaan, tidak ada keinsyafan bahwa sistem yang kita pilih menghendaki pembatasan.
Berbeda dengan Amerika Serikat (sebelum Amandemen XXII, 1951). UUD Amerika Serikat (sebelum perubahan) menyebutkan: “He shall hold his office during the term of four years, and together with the Vice-President, chosen for the same term…”). Hanya menyebut “4 tahun” tidak ada ketentuan “dapat atau tidak dapat dipilih kembali”. Presiden pertama, George Washington telah menjabat dua kali berturut-turut. Ketika diminta untuk dipilih kembali, beliau menolak. Alasannya: Amerika Serikat memilih bentuk republik bukan kerajaan. Kepala negara republik ada pembatasan masa jabatan, berbeda dengan kerajaan yang tanpa batas waktu. Sikap Presiden Washington, menjadi praktek, sampai “terlanggar” pada masa pemerintahan Presiden Roosevelt (dipilih 4 kali berturut-turut) yang kemudian mendorong Amandemen Ke-XXII yang membatasi masa jabatan Presiden hanya dua kali berturut-turut. Demikian pula di Indonesia (Perubahan UUD 1945, Pasal 7, 1999). Jadi, kehadiran Presiden baru di negeri kita merupakan konsekuensi ketentuan UUD dan merupakan satu kelaziman republik-demokratis.
Pemilihan langsung Presiden-Wakil Presiden, atau melalui electoral college (meskipun dalam perkembangan menjadi sekedar the dummy dari popular vote), menimbulkan resiko perbedaan kekuatan politik pendukung Presiden-Wakil Presiden dengan mayoritas kekuatan politik di badan perwakilan rakyat. Perbedaan ini sangat berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan kebijakan (program) Presiden. Presiden Obama (juga Presiden Clinton) menghadapi persoalan yang sama. Hal semacam itu sedang terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat perbedaan itu tercermin dalam perbedaan pendekatan mengenai kebijakan yang harus ditempuh. Di Indonesia, mayoritas (yang berbeda dengan Presiden) sekedar dijadikan “pembenaran” untuk menguasai semua jabatan di luar jabatan Presiden-Wakil Presiden dan Menteri. Sampai-sampai ada ungkapan: sapu bersih dan sikap untuk menghalangi agar Presiden-Wakil Presiden tidak berhasil menjalankan pemerintahannya. Kalau sikap itu berlanjut, dapatlah disimpulkan, peradaban politik cq peradaban demokrasi yang kita jalankan, masih jauh dari budaya politik (demokrasi) yang berkeadaban. Mudah-mudahan sikap semacam itu sekedar “kemarahan sementara”, dan akan kembali pada prinsip demokrasi yang lebih substantif yaitu dialog, toleransi, dan berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.
Satu-satunya cara melonggarkan politik pengepungan itu, (kalau berkelanjutan) yaitu dengan cara berusaha mendapatkan dukungan rakyat banyak. Hal ini dapat tercapai apabila pemimpin baru (Presiden-Wakil Presiden) mengembangkan orientasi serba kerakyatan, terutama dalam makna usaha mewujudkan secara nyata kesejahteraan dan kemakmuran. Pada akhirnya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan akan ditinggalkan rakyat. Dari perspektif rakyat, inilah makna riil “mengisi kemerdekaan”. Menanamkan semangat kebangsaan, menanamkan semangat kepribadian, menanamkan semangat berdikari penting, tetapi seperti dikatakan Nehru, rakyat sejahtera, kalau cukup sandang, pangan, rumah, jaminan pendidikan dan kesehatan. Hegel mengatakan, manusia butuh makan, sandang, rumah sebelum mereka dapat berpolitik bahkan beragama. Di sinilah peran media menjadi sangat penting sebagai penunjang program-program kerakyatan. Media tidak semestinya melibatkan diri pada persoalan-persoalan yang tidak semestinya dipersoalkan lagi, seperti mengembalikan pemilihan Presiden-Wakil Presiden oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat. Harus dipahami, gagasan semacam itu bertentangan dengan konsep dasar demokrasi dan konsep democratizing process perjalanan politik bangsa, dan kehendak publik.***
Download