Siaran Pers: Dialog Demokrasi dalam 140 Karakter, Peran Media Sosial dalam Pilpres 2014

images

Jakarta - Percakapan di media sosial, khususnya twitter, pada tingkat tertentu merupakan cerminan realitas perbincangan yang terjadi di ruang publik. Kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 di dunia nyata juga tercermin di dunia maya. Percakapan di media sosial dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memprediksi tingkat popularitas dan elektabilitas kandidat. Demikian menurut hasil studi tentang media sosial yang dipresentasikan pada seminar “Dialog Demokrasi dalam 140 Karakter”, hari ini, 16 Juni 2014, yang diselenggarakan oleh Dewan Pers. Seminar dibuka oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, dan dihadiri oleh Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Casper Klynge, yang juga memberikan sambutan.

Studi mengenai dialog demokrasi di Twitter terkait Pemilihan Presiden 2014 dilakukan oleh Dewan Pers dan Indonesia Indicator, dengan didukung Kedutaan Denmark. Berdasarkan temuan riset, Twitter merupakan medium yang efektif untuk gerakan sosial untuk isu-isu spesifik, misalnya: gerakan #SelamatlkanKPK, Koin untuk Prita, dan dalam konteks Pilpres 2014, gerakan #KawalPemilu dan diskusi pembentukan kabinet, melalui Twitter publik menyalurkan aspirasi dan pendapat untuk memastikan prosesnya berlangsung transparan dan akuntabel.  

Transparansi dan dialog demokratik adalah fokus area penting dalam kaitan kerjasama Denmark dengan Indonesia dalam bidang tata kelola pemerintahan yang baik. Duta Besar Casper Klynge sangat senang dapat mendukung Dewan Pers dalam melaksanakan riset penting ini:  "Twitter adalah salah satu media sosial yang paling populer di Dunia. Twitter digunakan secara aktif selama proses Pemilu, untuk melawan korupsi, mengangkat problem sosial, bahkan  dipakai dalam diplomasi modern. Sebagai duta besar Denmark, Twitter adalah salah satu sarana penting yang saya gunakan untuk berhubungan dengan warga Indonesia dan Denmark."

Dari Demokrasi Analog ke Digital:
Duta Besar Denmark yakin penggunaan Twitter di Indonesia sangat unik sehingga Denmark dan juga nagara-negara lain di dunia dapat belajar dari cara masyarakat Indonesia menggunakan media sosial: "Twitter dan Facebook telah mengubah secara fundamnetal dialog demokratik. Indonesia bukan saja merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, melainkan juga pengguna terbesar media sosial. Studi ini memberikan wawasan baru tentang demokrasi digital. Saya rasa, kami dapat belajar banyak dari pengalaman Indonesia untuk memahami bagaimana twitter meningkatkan diskusi politik dan demokrasi di abad 21.”

Berdasarkan penelusuran percakapan di Twitter pada periode 4 Juni – 9 Juli 2014, Jokowi mengungguli Prabowo pada semua aspek. Penelusuran mesin Artificial Intelligence yang dilakukan dalam riset ini mendapati 1.800.000 akun Twitter yang aktif melakukan posting selama proses Pilpres 2014. Riset ini menyaring 50.286 akun individu sebagai sample untuk mengetahui demografi dan tendensi pilihan mereka.  
Secara umum, selama proses Pilpres 2014 perbincangan tentang Jokowi lebih besar volumenya dari pada Prabowo. Demikian pula dengan perbincangan yang mengindikasikan tentang kecenderungan pilihan. Tercatat perbincangan publik cenderung lebih mendukung pasangan Jokowi-JK (50,66%) daripada Prabowo-Hatta (41,68%). Realitas perbincangan di twitter ini, mendekati hasil akhir dari perhitungan KPU yang menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dengan perolehan suara (53,15%) atas Prabowo-Hatta (46,85%).

Bagaimana twitter memengaruhi Pilpres dan berujung pada kemenangan Jokowi? Twitter memengaruhi Pilpres  melalui proses diseminasi informasi yang terkandung dalam setiap perbincangan secara cepat. Diseminasi perbincangan makin eskalatif ketika sebuah informasi disebarluaskan dengan cara mention dan retweet sehingga informasi dalam perbincangan bergulir seperti bola salju.  Fenomen ini bisa kita lihat dari perbincangan yang berisi tema: deklarasi pemberian dukungan, relawan, visi misi, debat dan  kampanye hitam. Satu tweet akan diretweet secara eskalatif bila menyangkut tweet dari atau figur atau tokoh penting.

Kendati demikian, secara umum netizen baru memanfaatkan twitter sebatas sarana mempromosikan capres yang didukung serta sarana untuk menyatakan pendapat (monolog). Ada kecenderungan publik memanfaatkan media sosial untuk menyerang atau mengolok-olok capres yang tidak didukung, termasuk massifnya penggunaan bots dan cybertroops untuk memobilisasi opini. Artinya, Twitter sebagai media dialog politik belum dimanfaatkan dalam kerangka nalar dan kepentingan publik (public interest), melainkan lebih untuk perseteruan kontestasi (partisanship).

Studi ini menggunakan metode kombinasi dari analisis kuantitatif dan kualitatif. Berfokus pada analisis siapa pengguna media sosial, isi informasi, dan peran kandidat dalam jaringan media sosial. Fokus studi ini tertuju pada akun Twitter warga Indonesia yang aktif melakukan posting selama proses Pilpres 2014. Studi ini juga menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussiion, dan penelusuran referensi dari dokumen, buku, dan hasil riset yang relevan.

Untuk informasi lebih lanjut tentang seminar dan hasil studi silahkan hubungi Dewan Pers.*
 

 

*untuk disebarluaskan

By Administrator| 16 Juni 2015 | berita |