Kemerdekaan Pers untuk Kepentingan Publik

images

Makassar (Berita Dewan Pers) - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan mengatakan, kemerdekaan pers tidak hanya dilihat sebagai hak. Kemerdekaan pers merupakan kebutuhan untuk sekaligus mewujudkan kepentingan pers dan kepentingan publik. Sebagai kebutuhan, kemerdekaan pers tidak sekedar for the sake of freedom of press. Kemerdekaan pers memiliki hubungan fungsional dengan fungsi pers, seperti fungsi informasi, politik, kemanusiaan, pencerahan dan fungsi hiburan.

Hal tersebut disampaikan Bagir Manan saat berbicara dalam Simposium Nasional bertema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Perspektif Kriminologi Dalam Penegakan Hukum di Indonesia” di Universitas Hasanuddin Makassar, yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) pada pertengahan Maret lalu.

Ia menambahkan, selama ini perdebatan umum kemerdekaan pers lebih bernuansa sebagai hak, baik atas dasar tuntutan demokrasi atau hak asasi manusia.

Pendekatan hak, ungkap Bagir Manan lebih rinci, adalah pendekatan yang semata-mata ditinjau dari sudut pandang atau penerima hak. “Dalam ilmu hukum dikenal hak subyektif (subjectief recht) dan hak obyektif (objectief recht). Hak subyektif adalah hak untuk menuntut sesuatu. Hak obyektif adalah hak untuk mempertahankan sesuatu. Keduanya semata-mata bertolak dari kepentingan pemegang hak. Demikian pula kalau melihat kemerdekaan pers sebagai hak, tidak lain dari sebuah klaim pers terhadap pihak lain, klaim kepentingan pers,” katanya di depan sekitar 300 peserta yang terdiri dari pimpinan lembaga negara, asosiasi profesi hukum, akademisi perguruan tinggi, pakar hukum serta aparat penegak hukum itu.

Tak Kebal Hukum
Di bagian lain penjelasanmya, Bagir Manan menegaskan, meskipun kemerdekaan pers dipandang sebagai suatu yang asasi, dibutuhkan, atau sebagai salah satu condition sine qua non demokrasi, sama sekali tidak berarti pers kebal hukum atau tidak dapat diganggu gugat. 

Menurutnya, pers dapat melakukan kesalahan. Ada kesalahan yang disengaja dan tidak sengaja. Namun kesalahan pers dibedakan antara kesalahan jurnalistik yang lazim digolongkan pada pelanggaran kode etik, dan kesalahan hukum yang dapat dikenakan tanggung jawab secara hukum.

Praktek di Dewan Pers, Bagir Manan menjelaskan, suatu pelanggaran kode etik diselesaikan dengan beberapa cara. Pertama, apabila pelanggarannya sangat nyata, Dewan Pers langsung memberi teguran kepada media yang bersangkutan tanpa menunggu pengaduan atau laporan. Kedua, apabila menyangkut pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, Dewan Pers terlebih dahulu memeriksa untuk menilai apakah kasusnya masuk ranah jurnalistik atau tidak.

Menanggapi “wartawan” yang memeras, menekan atau menakut-nakuti narasumber untuk memperoleh imbalan, Dewan Pers akan menyatakan tidak berwenang untuk menindaklanjutinya. Pihak yang dirugikan dapat menempuh proses hukum.

Sedangkan menghadapi pengaduan yang masuk ranah jurnalistik, Dewan Pers mengusahakan pertemuan dengan kedua pihak untuk menemukan penyelesaiaan secara musyawarah mufakat.

“Dari begitu banyak kasus, ternyata pers besar lebih taat pada rekomendasi Dewan Pers. Suatu kedewasaan akuntabilitas yang sekaligus menunjukkan kematangan berdemokrasi yang patut ditiru oleh komunitas lain,” ujarnya.

Kegiatan
Dalam Simposium ini, Bagir Manan menjelaskan beberapa upaya Dewan Pers untuk menegakkan hukum di bidang pers. Pertama, penandatanganan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Nota Kesepahaman ini dimaksudkan untuk saling membantu memastikan suatu persangkaan pelanggaran oleh pers sebagai pelanggaran jurnalistik atau pelanggaran hukum.

Kedua, pelatihan ahli pers. Hingga saat ini telah dilatih sekira 100 orang ahli yang tersebar di berbagai daerah.

Ketiga, mewajibkan wartawan mengikuti ujian kompetensi wartawan (UKW) untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi wartawan yang serba amatir atau wartawan abal-abal yang menyalahgunakan kartu pers.

Keempat, terus menerus melakukan pelatihan jurnalistik bersama lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan jurnalistik, dan asosiasi pers. Pelatihan-pelatihan juga diberikan kepada pers kampus.

Kelima; melakukan literasi media sebagai suatu pengenalan kepada masyarakat mengenai seluk beluk jurnalistik, hak-hak masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan atau siaran pers.

Terakhir, keenam, Dewan Pers menyediakan website yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dengan Dewan Pers. (red)

By Administrator| 23 April 2013 | berita |