Jurnalisme Damai untuk Ambon

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) - Pemberitaan pers tentang kericuhan di Ambon, Maluku, pada 11 September lalu, hendaknya mengedepankan jurnalisme damai. Dalam menghadapi kekerasan, kerusuhan atau konflik di masyarakat, wartawan tidak hanya bertugas memberitakan, tetapi harus ikut berperan agar konflik tidak berlanjut. Peran itu dilakukan melalui pemberitaan yang berperspektif damai.

Pendapat tersebut disampaikan Anggota Dewan Pers, Zulfiani Lubis, saat menjadi narasumber acara dialog “Dewan Pers Kita” yang disiarkan TVRI nasional, Selasa (13/9/2011) pukul 22.00-23.00 WIB. Dialog yang dipandu Wina Armada Sukardi ini juga menghadirkan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfud Sidik, dan wartawan harian The Jakarta Post, Ahmad Junaedi.

Menurut Uni, panggilan akrab Zulfiani Lubis, pemberitaan tentang kerusuhan akhir-akhir ini sudah lebih baik dibanding saat kerusuhan tahun 1999, meskipun masih juga ditemukan penonjolan gambar kekerasan dan ketidakakuratan informasi. “Yang sangat dikhawatirkan, memberitakan rusuh tapi tidak melihat akar persoalan,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir Dewan Pers melakukan banyak pelatihan jurnalisme damai untuk wartawan di Jakarta dan daerah lainnya. Khusus di Jakarta, lebih dari 300 wartawan televisi nasional telah mengikuti pelatihan tersebut.

Mahfud Sidik meminta wartawan tidak berulang-ulang menayangkan gambar peristiwa kekerasan di masa lalu saat memberitakan kasus kekerasan di Ambon terakhir ini. Sebab, masih banyak masyarakat Ambon yang trauma. Tayangan televisi dapat menghidupkan trauma itu.

Ia meminta wartawan memberitakan fakta sesuai konteks dan memahami dampak dari beritanya. Menyikapi kasus Ambon, menurutnya, jurnalisme damai perlu menjadi gerakan bersama. “Media begitu penting perannya,” tegas anggota DPR dari Fraksi PKS ini.

Ahmad Junaedi mengungkapkan, dalam konflik selalu ada banyak pihak yang terlibat yang harus diperhatikan oleh wartawan. Menurutnya, pemilihan bahasa masih menjadi masalah serius dalam banyak pemberitaan tentang konflik. Misalnya, wartawan dengan mudah mengatakan kelompok tertentu sesat.

“Dalam jurnalisme damai, memberikan label tertentu kepada kelompok tertentu harus dihindari,” katanya. (red)

By Administrator| 14 September 2011 | berita |