Kemajuan Teknologi Jadi Tantangan Pers

images

Saat ini, melalui teknologi, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai media komunikasi. Perkembangan ini juga membawa perubahan besar pada industri media massa. Beberapa penelitian menyimpulkan, suratkabar (media cetak) mulai menuju kematian, yang ditandai dengan menurunnya jumlah tiras. Masa keemasan suratkabar telah lewat, digantikan dengan media elektronik. Namun, suratkabar tetap bisa hidup. Syaratnya harus melakukan perluasan dengan bergerak di bisnis multimedia. Di Indonesia upaya ini telah dimulai. Kelompok-kelompok suratkabar besar saat ini merambah kepemilikannya ke radio, televisi, dan bisnis lainnya.

Demikian beberapa pemikiran yang muncul dalam acara Dewan Pers Menjawab yang disiarkan langsung stasiun TVRI, Rabu, 7 Februari lalu, bertema Refleksi Hari Pers Nasional (HPN). Tema ini diangkap untuk menyambut hari pers yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Acara yang dipandu Hinca IP Pandjaitan ini menghadirkan wartawan senior, Djafar H. Assegaf, anggota Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dan program officer UNESCO-Jakarta, Arya Gunawan.

Assegaff menyatakan komunikasi adalah fitrah manusia. Karena itu setiap hari manusia membutuhkan media massa. Pada abad teknologi saat ini hukum besi berlaku, sehingga menurutnya bisnis media massa membutuhkan skill yang luas dan modal besar.

Terkait dengan peringatan HPN, Assegaff memandang pentingnya pendidikan bagi wartawan. Ia juga menyoroti pentingnya kebiasaan membaca (reading habit). Sebab salah satu tantangan untuk meningkatkan tiras suratkabar adalah bagaimana meningkatkan minat baca. Assegaff menyatakan, “Sekarang adalah abad new media. (Namun) semua tidak ada artinya kalau tidak didalami dengan membaca koran, dan lebih lagi membaca buku”.

Sementara itu Leo membenarkan berbagai riset yang menyimpulkan adanya penurunan tiras surat kabar di dunia. Namun, menurutnya, hal itu tidak berlaku di beberapa negara seperti India. Mengutip hasil pertemuan serikat penerbit surat kabar seluruh dunia yang berlangsung tahun 2000 lalu, Leo menyatakan suratkabar perlu melakukan konvergensi untuk dapat bertahan hidup.

Ia melihat di Indonesia sudah ada kencenderungan demikian. Selain ke suratkabar, kelompok pebisnis pers telah memperluas bisnisnya ke radio dan televisi. Dengan demikian suratkabar dapat tetap eksis. Apalagi suratkabar punya kelebihan dibanding media elektronik. “Kelebihan suratkabar yang tidak bisa ditandingi yaitu kedalaman berita”, ungkapnya.

Menanggapi pers di Indonesia yang sering dinilai telah sangat bebas dan cenderung kebablasan, Leo menyatakan, pers sebetulnya belum benar-benar bebas. “Di Indonesia pers yang mengungkap korupsi tapi pers malah yang ditangkap. Jadi pers belum bebas”.

Sedangkan Arya melihat posisis pers diuntungkan dengan reformasi. Pers dapat terbuka, tidak lagi memerlukan izin sehingga tidak dapat dibredel. Kebebasan pers saat ini, menurut Arya, adalah berkah, ancaman, dan sekaligus tantangan. Tantangan pertama pers Indonesi adalah menjaga kebebasan pers. “Ancaman” teknologi manjadi tantangan berikutnya.

Ia menambahkan, keberadaan wartawan pemeras dan penyalahgunaan kebebasan oleh kalangan pers sendiri menjadi tantangan lainnya. Karena itu perlu ditekankan pentingnya peningkatan profesionalisme wartawan.(red)

By Administrator| 08 Februari 2007 | berita |