Membangun Karakter Bangsa, Butuh Pers yang tak Diperbudak Pasar

images

Komersialisasi yang eksesif terjadi di industri pers Indonesia saat ini. Banyak pemilik perusahaan pers hanya tunduk pada selera pasar sehingga menjadi budak pasar. Padahal pers sebenarnya mampu membentuk pasar. Kemampuan mengambil sikap menentang pasar ini dibutuhkan agar pers dapat turut membangun nilai-nilai karakter bangsa.

Saat sistem pendidikan di Indonesia terus bermasalah dan pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak berjalan baik, pers menjadi ujung tombak untuk membangun karakter bangsa.

Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Persoalannya, sejauh ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya mampu membuat strategi untuk membangun karakter bangsa melalui penyebarluasan nilai-nilai utama yang ditinggalkan para pendiri bangsa.

Ketika pers hanya terpaku pada logika dan estetika dengan melupakan etika dalam penyajian informasinya, maka hal itu akan memperburuk kondisi bangsa. Sebab nilai etika sangat penting bagi masyarakat, khususnya pelajar, sebagai bekal berinteraksi di ruang publik. Persoalan etika ini belum cukup diperhatikan dalam sistem pendidikan kita. Diperparah lagi dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang tidak menempatkan nilai-nilai etika sebagai salah satu aspek kelulusan.

Demikian beberapa gagasan yang mengemuka dalam diskusi “Pers dan Pendidikan Kewarganegaraan: Upaya Membangun Karakter Bangsa” yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, 29 Mei lalu. Hadir sebagai pembicara ialah Dosen Universitas Gadjah Mada, Ashadi Siregar, Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti dan Garin Nugroho, Tokoh Pendidikan, Arief Rachman, serta Anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin, sebagai moderator.

Menurut Bambang upaya membangun karakter bangsa melalui pers mensyaratkan pers harus keluar dari perbudakan pasar. Tugas pers adalah mendeteksi sejak dini perubahan dan kemudian menyampaikan kepada masyarakat agar mereka siap menghadapinya. Masyarakat yang siap menghadapi perubahan tidak akan diperbudak perubahan sehingga mampu membangun karakter diri sebagai bangsa.

“Senjata bagi para pejuang Indonesia sebenarnya pena yang tajam, melalui karya-karya mereka. Gagasan (mereka) itu hanya akan menjadi gagasan elite saja jika tidak ada pers yang menyebarluaskan,” lanjut Bambang.

Sementara Garin Nugroho menyatakan masyarakat Indonesia membutuhkan strategi dalam menyebarluaskan karakter bangsa. Strategi itu meliputi kemampuan membaca nilai-nilai utama bangsa yang telah digagas dan dipikirkan para tokoh bangsa. ”Pendidikan kewarganegaraan terkait kemampuan kita membaca nilai-nilai utama kebangsaan kita,” katanya.

Dalam konteks pers, menurutnya model yang dibutuhkan untuk pendidikan kewarganegaraan adalah jurnalisme multikultural, jurnalisme damai atau humaniora, jurnalisme hak-hak informasi, dan jurnalisme kode etik.

Pendidikan
”Pendidikan kewargaan pada dasarnya merupakan proses pencerdasan warga di ruang publik. Dengan begitu kata kuncinya adalah pencerdasan yang mencakup moral, intelektual, dan ruang publik dalam konteks negara maupun masyarakat,” ungkap Ashadi dalam makalahnya.

Cara pandang pendidikan kewargaan, menurut Ashadi, meliputi dua konsp. Pertama, konsep pendidikan untuk hegemoni yang mengedepankan kemenangan di ruang publik yang biasa dilakukan dengan cara propaganda ideologis. ”Iklan adalah contoh hegemoni yang terus dilakukan.”

Konsep kedua adalah pendidikan untuk pembebasan. Konsep ini menghendaki ruang publik bebas dari dominasi, monopoli kekuasaan negara dan pasar. Selain itu juga menjadikan ruang publik sebagai ruang kebebasan, kecerdasan, dan orientasi kemanusiaan. ”Menyiapkan masyarakat cerdas dalam lingkungan publik, dia tidak perlu ijazah,” tegas Ashadi.

Pada kesempatan yang sama Arief Rachman berpendapat pendidikan yang sukses harus mampu mengantarkan anak menjadi bertaqwa, berkepribadian matang, berilmu mutakhir dan berprestasi, mempunyai rasa kebangsaan, serta berwawasan global.

Arief mengkritik sistem pendidikan di Indonesia saat ini yang tidak memperhatikan pentingnya aspek etika dan moral bagi anak didik. Karena itu, ia berharap pers dapat menjadi ujung tombak bagi pendidikan warga dengan menguatkan nilai etika.

Namun, banyak pers saat ini menurutnya terjebak mengikuti arah selera masyarakat yang keliru. Harapannya informasi yang diberikan pers mengarah pada kepekaan sosial. ”Idealisme kita akan berhadapan dengan fulgarisme, konsumerisme,” tambahnya.

Terkait dengan usul perlunya pelajaran tentang media (media literacy) di sekolah, ia mengusulkan hal itu tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri. Namun dapat disisipkan dalam mata pelajaran lain seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Sosiologi, atau Antropologi.

By Administrator| 31 Mei 2007 | berita |