Taat Etika Lindungi Pers dan Masyarakat

images

Penegakan Etika menjadi persoalan mendasar di masyarakat. Sebab masyarakat tanpa ketaatan terhadap etika akan anarkis. Pers menjadikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai landasan etika kerja. Melalui etika, profesi wartawan dapat dijalankan secara profesional.

Etika pers pertama sekali ditujukan untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang merugikan. Selanjutnya, dengan sendirinya, masyarakat juga akan melindungi pers. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan yang disebabkan adanya pelanggaran kode etik dalam pemberitaan.

Disamping etika untuk wartawan, juga penting didorong penegakan etika oleh pemilik industri pers. Sebab, selama ini ada kecenderungan hanya wartawan yang terus dituntut taat etika, sedangkan pemilik industri pers semena-mena memperlakukan wartawannya. Etika industri pers itu, misalnya, menyangkut fasilitas yang memadai, gaji yang layak, dan perlindungan terhadap wartawan.

Dewan Pers menjadi lembaga etik yang diberi fungsi oleh UU No.40/1999 tentang Pers untuk mengesahkan dan menegakkan KEJ. Karena itu, dasar bagi banyak kegiatan Dewan Pers adalah mendorong penegakan etika pers.

Demikian beberapa pemikiran yang berkembang dalam Lokakarya Etika dan Perlindungan Pers yang digelar Dewan Pers bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung di dua kota, Balikpapan (14 Juni 2007) dan Yogyakarta (28 Juni 2007).

Di Balikpapan hadir sebagai pembicara Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, Anggota DPRD Kalimantan Timur, Said Alwi, dan Pemimpin Redaksi harian Kaltim Post, Badrul Munir. Sementara di Yogyakarta tiga pembicara adalah Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, Dosen Atma Jaya, Lukas S. Ispandriarno, dan Pemimpin Redaksi harian Kedaulatan Rakyat, Octo Lampito. Lokakarya yang difasilitatori Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, Lukas Luwarso, ini dihadiri puluhan peserta yang umumnya berasal dari komunitas pers.

Cinta Etika
Persoalan etika, Bekti Nugroho mengungkapkan, bukan hanya milik pers tetapi semua komponen masyarakat. Karena itu, ia mendorong tumbuhnya gerakan masyarakat cinta etika. Dengan gerakan seperti ini diharapkan tumbuh kesadaran untuk menegakkan etika di masyarakat. ”Akan terbangun masyarakat yang etis. Masyarakat yang etis pasti taat hukum dan bisa hidup tertib,” katanya.

Sementara di Yogyakarta, pembicara Abdullah Alamudi mengatakan, berbagai pengaduan yang diterima Dewan Pers selama ini menandakan adanya kekurangpahaman masyarakat pers terhadap etika. Padahal untuk mempertahankan kemerdekaan pers dipersyaratkan pers mampu bersikap profesional, antara lain dengan taat kode etik.

Lebih lanjut Alamudi menyorot persepsi yang salah dari sebagian komunitas pers karena adanya rekomendasi Dewan Pers yang menyalahkan wartawan. Menurut mereka Dewan Pers harus membela pers. ”Ini pandangan salah terhadap peran Dewan Pers. Dewan Pers adalah dewannya publik untuk menjamin bahwa hak-hak publik tidak diinjak-injak oleh pers dengan dalih kemerdekaan pers,” katanya.

Di tempat yang sama pembicara lainnya, Lukas S. Ispandriarno, memaparkan beberapa persoalan etika pers di Yogyakarta. Ia mencontohkan adanya iklan seks yang dimuat pers umum di Yogyakarta, bukan ”pers kuning”, yang menurutnya patut dipertanyakan pertimbangan etikanya.

Selain itu, ia juga menemukan sikap independensi pers di Yogyakarta goyah dalam memberitakan kasus korupsi pengadaan buku paket di Dinas Pendidikan Sleman. Menurutnya pada awal terungkapnya kasus tersebut pers lokal genjar memberitakan. Namun, belakangan meredup. ”Kedekatan relasi media dengan pejabat lokal telah mencederai komitmen dan independensi media untuk bersikap kritis dan menyalurkan informasi yang benar,” tegas Lukas dalam makalahnya.

Sementara itu pembicara Octo Lampito menduga masih ada wartawan yang belum membaca KEJ. Padahal KEJ, menurutnya, adalah “mesiu ketika ia (wartawan) akan bertempur di medan laga”.

By Administrator| 06 Juli 2007 | berita |