Usir Wartawan Gadungan

images

JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, menegaskan saat ini masyarakat berdaulat untuk menindak pers yang tidak profesional. Kedaulatan itu seharusnya juga diwujudkan dengan sikap tegas melawan wartawan gadungan. “Tidak ada kata lain selain usir mereka! (wartawan gadungan),” tegasnya saat menjadi pembicara dialog Dewan Pers Menjawab yang disiarkan langsung stasiun TVRI, Jakarta, Rabu, 19 September lalu.

Dialog yang mengambil tema “Delapan Tahun UU Pers” ini juga dihadiri pembicara Bambang Sadono, Anggota DPR RI, Tarman Azzam, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, serta Wina Armada Sukardi sebagai pembawa acara.

Wartawan gadungan atau sering juga disebut “wartawan tanpa suratkabar”, lanjut Leo, bukanlah wartawan sesungguhnya. Sebab mereka tidak membuat berita yang dimuat di media yang teratur terbit. Tujuan mereka hanya memeras narasumber.

Dalam setiap kegiatan di daerah, Dewan Pers selalu berupaya menyakinkan masyarakat dan pemerintah daerah untuk bersama memberangus wartawan gadungan. “Birokrasi jangan segan-segan untuk tidak memberi amplop,” tegasnya lagi.

Bermunculannya wartawan gadungan merupakan salah satu ekses negatif sejak diberlakukannya UU No.40/1999 tentang Pers delapan tahun silam, tepatnya pada 23 September 1999. Di samping wartawan gadungan, pertumbuhan jumlah pers yang pesat sejak 1999 juga memunculkan banyak wartawan tidak profesional. Sumber persoalannya karena persediaan wartawan profesional tidak bisa memenuhi kebutuhan akibat ledakan jumlah pers baru.

Leo menambahkan, saat ini ada pers yang berkualitas dan tidak berkualitas. Di setiap daerah jumlah pers berkualitas tidak banyak namun mereka sangat berpengaruh. Sementara pers tidak berkualitas, yang tidak taat kode etik serta tidak mencerahkan masyarakat, jumlahnya mungkin banyak. Namun tiras mereka sebenarnya sangat sedikit. “Pers seperti inilah yang bermasalah,” katanya.

Sementara itu Bambang Sadono melihat banyak kemajuan pasca pemberlakuan UU Pers. Contohnya, masyarakat memiliki akses yang baik untuk menyelesaikan masalah dengan pers. Selain itu, pers dilindungi dari ancaman tindakan politik, seperti sensor, dari penguasa.

Namun, ada kelemahan pers yang timbul. Misalnya pers bersikap manja ketika digugat ke pengadilan dengan berusaha untuk mengelak. Kemudian jika pers berhadapan dengan hukum dan putusannya menguntungkan pers, maka pers mengelu-elukan pengadilan. Hal sebaliknya terjadi jika pers tidak diuntungkan.

Persoalan pers lainnya, menurut Bambang, menyangkut pemberitaan mengenai privasi. Saat ini pemberitaan mengenai privasi seolah tidak ada batasannya. “Ini menimbulkan kesan di masyarakat pers kebablasan,” ungkapnya.

Di tempat yang sama Tarman Azzam menyayangkan tidak diakomodirnya persoalan standar kompetensi wartawan saat penyusunan UU Pers. Sebab, menurutnya, problem pers saat ini banyak muncul karena tidak dihargainya standar tersebut.

Menurut Tarman, UU Pers telah melakukan liberalisasi di bidang pers. Akibatnya segala kemungkinan bisa muncul. Contohnya, banyak wartawan yang tidak memenuhi standar tetap bisa bekerja di pers. Hal ini dapat merusak citra pers karena produk mereka yang tidak berkualitas dan melanggar kode etik. “Karena itu standar kompetensi perlu ditegakkan,” katanya.

Dewan Pers sendiri telah menyusun standar kompetensi wartawan dalam bentuk buku. Standar ini terus disosialisasikan Dewan Pers ke berbagai daerah.**


SMS Penonton

“Mohon maaf, orang yang menganggap pers “kebablasan” hanyalah para pejabat korup.” (0813.66966xxx)

“Dewan Pers harus mengeluarkan aturan yang ketat (sebagai) persyaratan menjadi wartawan. Agar berita yang ditulis itu benar.” (0813.32873xxx)

“Saya setuju banget standar kompetensi wartawan. Tapi di pedesaan banyak wartawan brengsek, pemeras, amplop.” (0852.69989xxx)

“Saat ini saya lihat banyak upaya-upaya dari kalangan tertentu utak-atik dapur pers. Ada apa sebenarnya? Pers hanya lakukan kontrol sosial pada kinerja pemerintah.” (0341.7801xxx)

“Mohon standar kompetensi bentul-bentul diberlakukan bagi seluruh wartawan, sehingga wartawan tahu kode etik dan bukan sebagai pemeras.” (0852.67958xxx)

“Pers jadi sangat penting kalau berpihak bagi kepentingan pembangunan bangsa. Keberpihakan media bagi rakyat, bukan kepentingan dewe (sendiri).” (0852.43513xxx)

“Idealnya pers Indonesia jangan terlalu emosional dengan kebebasannya. Bebas harus beradab, bertanggung jawab dan cinta tanah air.” (0813.41699xxx)

“Akibat kebebasan pers yang berlebihan, akhirnya pers sudah memiliki banyak fungsi: Pers jadi penyidik, pers jadi hakim dan jaksa, pers dikomersilkan.” (0852.56486xxx)

 

By Administrator| 20 September 2007 | berita |