Masyarakat Cerdas Membutuhkan Media yang Mencerdaskan

images

SERANG - Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, menyatakan masyarakat harus cerdas dalam memilih pers agar hanya pers berkualitas yang bisa hidup dan yang tidak berkualitas segera mati. Karena itu Dewan Pers merasa perlu terus mendorong masyarakat untuk dapat memahami pers dengan lebih baik. “Masyarakat cerdas membutuhkan media yang mencerdaskan”, katanya.

Pernyataan ini disampaikan Leo Batubara saat menjadi narasumber Workshop Media Literacy: Mendorong Masyarakat Cerdas Memahami Media yang diselenggarakan Dewan Pers atas dukungan Yayasan TIFA di Serang, Banten, Rabu, 30 Januari lalu. Acara yang difasilitatori Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, Lukas Luwarso, ini dihadiri kurang lebih 50 peserta dari media massa, lurah, camat, kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, organisasi pers, humas, pengusaha, dan mahasiswa.

Menurut Leo Batubara, saat ini pemerintah tidak boleh lagi mengontrol pers. Pihak yang boleh mengontrol bisa datang dari kalangan internal pers, seperti wartawan sendiri, redaktur, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, atau ombudsman pers yang bersangkutan.

Pengontrol pers lainnya berasal dari eksternal pers, yaitu pemantau media atau media watch, organisasi pers, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, penegak hukum (setelah berita dipublikasikan) dan masarakat. “Nasib media cetak, media radio, dan media televisi berada di tangan rakyat,” ungkap Leo untuk menegaskan posisi penting masyarakat dalam menentukan perkembangan pers.

Empat Golongan
Menurut Leo saat ini ada empat golongan wartawan yang harus disikapi berbeda oleh masyarakat. Golongan pertama adalah wartawan yang menolak “amplop”. Mereka beranggapan menerima amplop bertentangan dengan fungsi yang dijalankannya. Kedua, wartawan yang menerima amplop dengan alasan perusahaan persnya tidak memberi gaji yang mencukupi. Ketiga, wartawan yang memperalat pers untuk mendapat uang. Banyak dari golongan ini yang membuat penerbitan pers hanya untuk menjadi alat pemeras narasumber saja.

Terakhir adalah “wartawan” gadungan yang hanya mengejar amplop. Sebutan untuk golongan ini beragam, seperti CNN (cuma nanya-nanya), WTS (wartawan tanpa suratkabar), Muntaber (muncul tanpa berita), atau wartawan bodrex. “Kalau wartawan bodrex bukan dibina tapi diusir,” tegas Leo menjawab permintaan peserta agar Dewan Pers membina wartawan bodrex.

Selain penting untuk memahami empat golongan wartawan, masyarakat juga diharapkan bisa memperlakukan dua macam berita secara berbeda. Pertama adalah berita kategori karya jurnalistik. Berita ini didapat wartawan dengan menempuh cara-cara kerja jurnalistik dan bertujuan untuk kepentingan umum. Jika berita semacam ini dinilai melanggar UU No.40/1999 tentang Pers atau Kode Etik Jurnalistik, sanksi yang diberikan kepada pers bisa dalam bentuk Hak Jawab, Hak Koreksi, atau denda maksimal Rp 500 juta.

Sebaliknya, lanjut Leo, untuk berita kategori bukan karya jurnalistik, pers yang mempublikasikannya bisa dihukum menurut ketentuan perundangan yang berlaku, misalnya menurut KUHP, dan pelakunya bisa dipenjara. Berita seperti ini, contohnya, bertujuan memeras, rekayasa, berintensi malice untuk menjatuhkan seseorang, berkandungan pornografi yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi, atau untuk menghina agama. (red)

By Administrator| 01 Februari 2008 | berita |