UU Distribusi Media Bisa Mengatur Pornografi

images

JAKARTA - Tanggal 5 Maret 2008 Dewan Pers melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR-RI. RDP itu menghasilkan sebuah rekomendasi yakni meminta Dewan Pers mengkaji kembali gagasan penyusunan UU Distribusi Media. Pentingnya UU Distribusi Media ini sebenarnya sudah lama didengungkan Dewan Pers. Hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dan anak-anak dari pornografi. UU Distribusi dianggap sebagai jalan tengah dari kontroversi UU Antipornografi selama ini. Seberapa penting dan mendesak gagasan UU Distribusi media tersebut? Apakah UU Distribusi menjadi jalan keluar dari pro-kotra UU Antipornografi? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dan Bekti Nugroho anggota Dewan Pers dengan Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso:

Seberapa penting keberadaan UU Distribusi?

Sangat penting dalam konteks "kekacauan" dunia media cetak di Indonesia. Sejak tahun 1998 ada yang berpedapat media telah kacau karena tidak ada lagi sistem lisensi, perizinan. Juga tidak ada lembaga yang mengatur media seperti Departemen Penerangan dulu. Ada Dewan Pers tapi perannya sangat minimal, hanya pada tataran etika. Sehingga setelah 10 tahun, ternyata self regulation kurang bisa berjalan. Karena itu, sudah saatnya UU Distribusi Media Cetak itu segera diagendakan. UU itu bukan saja bisa menjadi solusi bagi dua isu itu, tapi juga bisa sedikit banyak mengatur atau mengontrol penerbitan yang sepertinya tidak ada aturan mainya ini. Saat ini Dewan Pers kesulitan mendata jumlah media cetak yang ada. Karena media cetak itu tidak jelas atauran mainnya, siapa saja bisa menerbitkan media. Sehingga sekarang menjadi kabur antara penerbitan pers cetak untuk publik dan non pers, seperti pamflet, buletin, jurnal. Ketentuan itu tidak ada aturan mainnya. Nah, dengan UU distribusi hal itu bisa diatur.

DPR sudah lama memberi mandat kepada Dewan Pers membuat draf UU Distribusi. Mengapa hal itu belum dilakukan?

Barangkali karena agenda yang harus dikerjakan Dewan Pers sangat banyak. Sebenarnya pembuatan UU itu bukan bagian esensial Dewan Pers, tapi kerja DPR. Khususnya di Indonesia, diharapkan juga kerja kelompok advokasi kebebasan pers. Tapi gagasan dan kampanye yang dilakukan Dewan Pers akan pentingnya undang-undang tersebut sudah dilakukan. Cuma memang belum serius dikembangkan. Kiranya rekomendasi DPR ini bisa membuat UU ini serius ditangani.

Pornografi di media cetak dan televisi marak terjadi. Ini menjadi momentum baik untuk mengintrodusir UU tersebut?

Memang setelah kita introdusir beberapa tahun ini, kita sudah mulai memformulasikan rumusan bagaimana bunyi UU ini. Tapi kalau UU ini ada maka dia hanya mengatur media cetak saja, bukan televisi. Karena televisi tidak didistribusikan.

Film dan penyebaran compact disk diatur?

Ya, itu bisa diatur dalam UU ini. Memang tidak banyak negara yang memiliki UU distribusi ini. Hongkong misalnya, memiliki UU Pendaftaran dan Distribusi Koran. Koran didefinisikan secara jelas. Tapi di Indonesia definini Koran tidak jelas. Hukum di Indonesia sering tidak memadai, tidak spesifik. Hukum kita sering mengatur yang abstrak, umum dan tidak konkrit. Karena itu, kita akan mengadopsi UU Hongkong itu. Negara di Eropa Barat dan Amerika, tidak secara spesifik mengatur distribusi media cetak. Yang ada adalah aturan soal kompetisi media cetak. Misalnya, Amerika ada ketentuan soal distribusi agar tidak menjurus kepada monopoli satu perusahaan media. Misalnya, satu perusahaan tidak bisa mendirikan beberapa media harian di satu wilayah.

Jadi yang diatur adalah mencegah agar tidak terjadi konglomerasi?

Ya. Sedangkan di Indonesia, contohnya Jawa Pos, dia bisa mendirikan empat harian di satu kota. Ada harian bisnis, harian pagi, harian sore dan harian kriminal. Kalau kita adopsi UU Amerika itu maka hal itu tidak bisa karena melakukan upaya dominasi.

Munculnya ide UU Distribusi di Indonesia terkait dengan pengaturan tentang pornografi. Apakah pornografi diatur dalam UU sendiri atau masuk dalam UU Distribusi?

Di Amerika misalnya, UU Antipornografi itu spesifik diatur untuk anak. Pertama, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam bisnis pornografi. Kedua, anak-anak tidak bolah memiliki akses untuk media pornografi. Oleh karena itu, beberapa media seperti Playboy, tidak boleh dijual bebas. Dalam salah satu klausul UU Distribusi diatur bahwa media porno yang dijual harus ditutup sampul rapat dan diletakkan di tempat yang tak terjangkau anak. Jadi tidak bisa dijual di pinggir jalan, yang bisa mudah dilihat dan dibaca anak. Kalau melanggar maka akan dihukum. Tapi pornografi tidak diatur. Memang ada percobaan untuk mengaturnya, tapi selalu kandas.

Apakah tayangan televisi juga diatur?

Pengaturannya hanya pada alokasi waktu saja. Dan sejauh itu bukan televisi publik tapi televisi kabel, maka tidak ada masalah. Ada televisi berlangganan di hotel. Karena asumsinya orang dewasa sudah punya kebebasan untuk menonton sesuai keputusannya sendiri.

Malajah Playboy Indonesia dijual di jalan. Ini momentum untuk UU Distribusi?

Kita bisa mengadopsi cara di Amerika itu. Misalnya, tidak dijual di pinggir jalan. Selain itu harus ditutup. Itu esensinya.

Mengapa Anda lebih memilih mengatur pornografi melalui UU Distribusi daripada UU Antipornografi?

Karena kalau UU Antipornografi yang digodok dan diusulkan oleh kaum konservatif itu berbahaya bagi kebebasan berekspresi. Karena, dimana-mana kebebasan berekspresi itu dimulai dengan isu moral ini. Karena itu, ketika isu moral menjadi hegemoni kelompok tertentu, akhirnya melebar menjadi larangan berkesenian, berpendapat dan lain sebagainya. (Sumber: Harian Jurnal Nasional, edisi Rabu, 12 Maret 2008. by: Fransiskus Saverius Herdiman)

 

By Administrator| 12 Maret 2008 | berita |