UU ITE Seharusnya Mengatur Hal Teknis

images

JAKARTA - Tanggal 25 Maret lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE ini patut disambut baik karena dapat menjadi landasan hukum untuk memerangi pornografi dan kejahatan lain yang tersebar melalui dunia maya. Namun, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso cemas dengan UU tesebut karena katanya, berisi sejumlah pasal karet yang bisa digunakan untuk mengekang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Apa sikap Dewan Pers terhadap UU ITE? Pasal mana saja yang dinilainya merupakan pasal karet? Dan apa yang akan dilakukan Dewan Pers atas UU tersebut? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dan Bekti Nugroho dengan Sekretraris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso:

Bagaimana penilaian Anda terhadap UU ITE?

Pertama, UU ITE sangat terlambat ditetapkan di Indonesia. Kedua, UU ini mencantumkan pasal (Pasal 27 dan 28) yang ketinggalan zaman. Kenapa saya katakan terlambat. Karena isu yang di-cover di sini adalah soal cyber. Kalau di Inggris ada cyber law. Umumnya diratifikasi tidak lama setelah teknologi internet mulai ada. Rata-rata beberapa negara memiliki UU ini sejak awal tahun 90-an.

Jadi Indonesia terlambat?

Memang sebenarnya draf RUU ini yang sekarang jadi UU ITE sudah ada pada tahun 1998. Tapi waktu itu ada dua materi, yakni RUU tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, dan RUU Pemanfaatan Tanda Tangan Elektronik. Perumusan kedua RUU itu sudah dilakukan sejak tahun 1998. Tapi rumusan yang dirancang dalam UU itu sangat akademis dan tepat guna karena menjawab kebutuhan teknis tentang bagaimana memanfaatkan teknologi informasi untuk transaksi bisnis. Tapi, sepuluh tahun kemudian (2008) dua RUU itu jadi satu. Jadi UU ITE sebagian memang masih mengadopsi dua RUU sebelumnya itu. Tapi juga dengan tambahan beberapa materi yang tidak relevan. Misalnya tentang penyebaran pornografi, kabar bohong, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian, yang tidak disinggung dalam draf RUU sebelumnya itu. Jadi, UU ITE sudah terlambat 10 tahun, dan isinya juga ketinggalan zaman.

Bagaimana prosedur pembahasan RUU ITE?

Saya kira lembaga advokasi media banyak yang tidak tahu tentang pembahasan UU ini. Padahal, biasanya, isu strategis dan krusial seperti itu tidak lepas dari perhatian lembaga tersebut. Tapi, karena UU ITE itu sangat teknis karena itu lepas dari perhatian civil society. Karena dianggap teknis maka kita anggap UU ini tidak berisi hal kontroversial, seperti mengatur hal politik dan sosial. Kedua, karena UU ini terkait teknologi, maka banyak "angpau". Karena itu, pihak berkepentingan ingin agar RUU ini tidak diekspose ke publik.

Pasal mana saja yang ditolak Dewan Pers?

Saya kira keberatan utama Dewan Pers adalah terhadap dua pasal itu, Pasal 27 dan 28. Karena pasal itu terkait dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Itu kan hal yang fundamental. Tapi juga pasal pornografi tidak relevan diatur dalam UU ini karena isunya berbeda. UU ITE adalah aturan teknis, dan kerena itu tidak perlu mengatur pornografi. UU ITE mau mengatur banyak hal. Soal kebencian, misalnya. Hal yang abstrak diatur juga dalam UU ini.

Anda juga menolak pasal yang mengatur penyebaran kebencian dan penghinaan?

Ya. UU ITE juga tidak merinci tentang kategori pencemaran nama baik atau penghinaan itu. UU ini sebenarnya sama dengan KUHP. Jadi, untuk apa hal yang sudah diatur dalam KUHP kemudian diatur lagi dalam UU yang spesifik teknis dengan ancaman yang diperbesar. Ini kan paradigma berpikir yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Artinya, di dalam KUHP penyebaran kebencian sudah diatur tapi tidak mengatur media penyebarannya. Lalu, untuk apa diatur lagi dalam UU ITE. Apakah mau mengambil alih KUHP. Karena itu, sebut saja UU ini dengan UU Informasi dan Pembatasan Pornografi. Hemat saya, paradigma UU ini agak aneh. Mereka memasukkan unsur budaya dan sosial dalam UU yang sangat teknis.

UU ITE seharusnya hanya mengatur hal teknis?

Betul. UU ITE ini baik kalau hanya mengatur persoalan teknis. Kita sambut baik. Tapi hanya dengan dua pasal itu, konstruksi keseluruhan UU ini jadi sangat mencurigakan. Kita pertanyakan siapa yang memboncengi UU ini dengan memasukkan dua pasal kolonial itu. Yang menyedihkan adalah, paradigma berpikirnya. Kita mengadopsi gaya hukum kerajaan, zaman perbudakan ke dalam era modern, era elektronik sekarang ini. Jadi, ini tidak match. Bagaimana kita bisa menerjemahkan penyebaran rasa kebencian hanya karena orang meng-forward satu informasi. Apalagi UU ITE kan sebuah penerjemahan era baru, kesadaran baru yang seharusnya tidak direspons dengan hukum kuno. Hukum penyebaran kebencian itu kan merupakan produk hukum yang dirumuskan pada abad ke-12 untuk menghukum masyarakat terjajah untuk melindungi golongan bangsawan. Semangat pasal ini feodal-kolonialisme, bukan demokrasi. Apalagi ada potensi pidana dengan pasalnya yang berat, penjara 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah.

Apa yang dilakukan Dewan Pers ke depan?

Minimal permintaan yang merupakan good scenario adalah melakukan judicial review mencabut kedua pasal itu. Dan skenario terburuknya adalah meminta pemerintah dalam peraturan pelaksanaannya, yakni dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya merinci tentang kebencian, kebohongan, dan pencemaran. Hal itu harus ditegaskan. Hal itu merupakan delik material. Dan yang paling penting, pasal itu tidak dikenakan pada karya jurnalistik. Dewan Pers akan bertemu Menteri Kominfo. Karena belakangan, Menteri agak kaget dengan pasal "sosial" ini. Padahal, ini adalah UU eksak. (by: Fransiskus Saverius Herdiman)

 

Harian JURNAL NASIONAL, Jum'at, 18 April 2008
By Administrator| 21 April 2008 | berita |