“Perempuan Masih di Lapangan yang Rendah”

images

JAKARTA - Hingga kini masih banyak muncul berita pers yang mendiskriminasi perempuan. Padahal, sejak 40 tahun silam persoalan tersebut telah didiskusikan. Kampanye anti diskriminasi perempuan juga intensif dilakukan. Pangkal persoalan rupanya belum beranjak dari persepsi mendasar: menempatkan perempuan lebih sebagai obyek dan memiliki kodrat sebagai manusia lemah.

Banyak praktisi pers terjangkiti persepsi keliru yang berkembang di masyarakat ini. Superioritas laki-laki di ruang redaksi pers, karena masih sedikitnya perempuan menjadi praktisi pers, menambah sering munculnya berita yang diskriminatif terhadap perempuan.

Kode Etik Jurnalistik sebenarnya melindungi perempuan dari perlakuan diskriminatif. Di dalam Pasal 8, di antaranya disebutkan, wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin.

Demikian antara lain pemikiran yang muncul dalam dialog Dewan Pers bertema “Perempuan dalam Pemberitaan Pers” yang disiarkan langsung oleh stasiun TVRI, Selasa, 26 Agustus lalu. Dialog ini menghadirkan pembicara Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho, wartawan senior, Astrid Adinegoro, dan aktivis perempuan, Debra H Yatim. Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, sebagai moderator.

Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan terutama banyak muncul dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual dan pornografi. Di dalam berita seperti itu perempuan banyak ditonjolkan sebagai obyek kekerasan, penyebab munculnya tindakan kriminal, atau korban seksual yang identitasnya tidak dilindungi.

Menurut Bekti, pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat melanggar sejumlah pasal di dalam Kode Etik Jurnalistik. Misalnya, Pasal 2 mengenai keharusan wartawan menghormati pengalaman traumatik narasumber dan Pasal 5 soal perlindungan indentitas korban kejahatan susila. Ketentuan lainnya yang bisa dilanggar ada di Pasal 8 yang melarang wartawan berlaku diskriminatif atas dasar jenis kelamin.

“Jika menyangkut pemberitaan, adukan saja ke Dewan Pers. Dewan Pers akan selalu melakukan kajian mengenai persoalan ini”, katanya.

Sementara Debra H Yatim meyakini masih ada kekhawatiran laki-laki terhadap peran perempuan. Sehingga, sering dikatakan, perempuan harus bekerja dua kali lebih keras dari laki-laki untuk dapat mencapai karir seperti laki-laki. Lapangan kompetisi antara laki-laki dengan perempuan tidak rata. ”Perempuan masih ada di lapangan yang rendah. Kalau datar, kita bisa lihat (hasilnya berbeda),” tegasnya.

Sumber dari sikap diskriminatif terhadap perempuan dalam pers, menurut Debra, disebabkan masih banyak praktisi pers yang tidak memenuhi kaedah jurnalistik dalam bekerja, bahkan kaedah yang mendasar sekalipun. Sehingga bias-bias diskriminasi perempuan yang ada di masyarakat berimbas ke redaksi pers.

”Karena ini kebudayaan, kita harus tunggu waktu, sambil kerja keras meningkatkan SDM dan pendidikan,” katanya

Di tempat yang sama, Astrid mengungkapkan adanya sejumlah media yang terbit sesaat dengan cara mengeksploitasi perempuan. Perempuan hanya ditempatkan sebagai obyek dan dilihat dari sisi keindahan tubuhnya saja.

Sudah seharusnya laki-laki yang bekerja di media tidak lagi memandang perempuan hanya sebagai obyek. ”Kualitas perempuan dan laki-laki itu sama. Perempuan kadang-kadang lebih teliti, dan bisa melihat sisi lain yang tidak ditangkap laki-laki,” ungkap Astrid.*


SMS PEMIRSA:
”Perempuan tidak mau jadi jurnalis karena profesi ini tidak menjanjikan secara sosial ekonomi.” (0819.31957xxx)

”Menurut saya memang ada unsur kesengajaan dari sebagian perempuan untuk menjadi obyek demi sensasi dan popularitas.” (0852.68733xxx)

”Perempuan itu manusia super, pemersatu dan diplomatis bagi yang paham tentang potensi dirinya. Salut dan terima kasih perempuan. Mohon dikembangkan dalam dunia pers.” (0859.59213xxx)

”Tentang perempuan di pemberitaan, menurut saya bukan tidak bisa tapi tidak ada kesempatan karena tertahan posisi perempuan dan jabatannya yang rendah.” (0852.60635xxx)

”Wanita memang dikodratkan sebagai penolong. Jadi tidak mungkin berada di depan selalu. Sebetulnya profesi jurnalis sangat tepat untuk perempuan tapi sayangnya (perempuan) tidak dapat bekerja total.” (0812.1561xxx)

By Administrator| 04 Oktober 2008 | berita |