Kebebasan Pers Bukan Milik Pers Semata

images

Era kebebasan pers telah berlangsung selama hampir 10 tahun. Pers telah benar-benar merdeka. Tetapi kemerdekaan pers itu belum diikuti oleh kualitas yang memadai. Bahkan, kebebasan pers telah disalahgunakan dengan melakukan tindakan yang tidak terpuji dan tidak sesuai kode etik pers. Dalam pelaksanaannya, wartawan sering melakukan tindakan yang dinilai tidak etis, seperti pemerasan, dan tindakan lain yang dapat dimasukkan sebagai pelanggaran pidana.

Untuk itulah, pada 17 Maret lalu, Dewan Pers mengeluarkan surat edaran kepada pemerintah daerah agar mewaspadai praktik wartawan yang memeras. Jika menemukan praktik yang tidak sesuai dengan profesi jurnalistik, maka harus melaporkannya ke polisi atau Dewan Pers. Apa saja praktik yang tidak sesuai kode etik tersebut? Upaya apa yang dilakukan Dewan Pers untuk mengatasi hal itu? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dengan Anggota Dewan Pers Wina Amanda:

Apa saja bentuk pengaduan yang diterima Dewan Pers terkait tindakan yang dinilai tidak etis?

Sebelum ke sana saya ingin memberikan penjelasan tentang posisi kemerdekaan pers. Banyak yang salah menduga bahwa kemerdekaan pers semata-mata hak istimewa pers, khususnya wartawan. Sehingga dengan asumsi seperti ini maka wartawan bisa melakukan apa saja, dan imun terhadap hukum. Kalau seseorang mengaku wartawan, maka seolah-olah dia berada di atas hukum. Padahal, asumsi seperti itu salah.

Apa yang dimaksudkan dengan kemerdekaan pers?

Kemerdekaan pers itu adalah milik seluruh rakyat, milik publik. Oleh karena itu, kemerdekaan pesr harus digunakan sebesarnya untuk kepentingan publik. Jadi, di satu pihak, kalau ada orang merongrong kemerdekaan pers, dia tidak hanya berkaitan dengan keistimewaan pers, tetapi juga dia mengganggu kebebasan publik. Sebaliknya, jika pers tidak menjalankan tugasnya dengan benar, maka dia juga mengganggu publik. Oleh karena itu, kemerdeekaan pers harus dijaga benar. Inilah tugas utama Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers. Karena kebebasan pers bisa diganggu oleh siapapun, baik oleh orang pers sendiri, oleh publik, dan pemerintah. Pers juga bisa diganggu oleh para "penumpang gelap" yakni oleh orang yang mengaku dirinya wartawan padahal tidak menjalankan tugas jurnalistik. Yang dilindungi adalah pekerjaan jurnalistiknya, wartawannya. Dan itu hanya terbatas pada 6M yaitu, mencari, memperoleh, mengolah, menyimpan, memiliki, dan menyiarkan informasi. Di luar kontekes itu tidak. Dalam menjalankan tugas pun ada pers yang professional. Jika melakukan kesalahan maka itu dilakukan dengan tidak disengaja. Juga ada pers yang tidak professional, seperti tidak menaati etika, tidak menguasai kaidah jurnalistik. Dan ada penumpang gelap yaitu yang mengatasnamakan pers.

Muncul banyak kasus yang dilakukan wartawan gadungan. Mereka melakukan pemerasan kepada pihak lain. Hal ini termasuk praktik yang tidak etis?

Ya. Memang praktik seperti itu banyak terjadi. Menariknya, praktik seperti itu terjadi pada era reformasi, dimana kebebasan pers telah sangat luas. Karena itu banyak muncul wartawan gadungan, setengah gadungan. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadi agen penyalur narkoba, pelaku curanmor. Padahal tugas itu tidak sesuai dengan tugas jurnalistik. Muncul "penumpang gelap" yang mengatasnamakan wartawan. Banyak orang bukan wartawan tapi mengatasnamakan wartawan untuk memeras sana dan sini.

Walau muncul praktik tercela, pada era reformasi ini wartawan menjadi pekerjaan alternatif. Apa yang menjadi daya tarik dunia ini?

Barangkali yang pertama adalah adanya mitos pekerjaan wartawan, baik di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, wartawan identik dengan pencarian kebenaran. Dia tidak puas dengan pengetahuan atau informasi yang ada. Apalagi di Indonesia, wartawan identik dengan pejuang. Kalau kita bicara dari sejarah, maka wartawan lebih dulu ada daripada TNI. Wartawanlah yang lebih dahulu menyuarakan pentingnya Indonesia dan pentingnya kemerdekaan. Jadi usia profesi wartawan lebih tua daripada tentara. Kemudian, terus berlanjut menuju kepahlawanan hingga hari ini. Apalagi ketika reformasi, pers memperoleh kedudukan yang hebat dalam menjalankan tugas perlindungan hukum, dan tidak boleh dihalangi ketika menjalankan tugas. Pers tidak boleh dibredel, disensor, dan berperan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Di lain pihak profesi itu di era sekarang ini tidak punya kompetensi apa-apa. Anda malam bermimpi dan besok bisa jadi wartawan. Bikin saja buletin, maka jadilah Anda wartawan. Inilah yang menyebabkan hal itu terjadi. Juga hal ini tidak terlepas dari adanya salah kaprah tentang profesi wartawan.

Apakah dengan demikian pers perlu dibatasi?

Kalau kita lihat dari sejarah jurnalistik dan secara sosial, memang selalu ada keseimbangan antara kemerdekaan pers dan reaksi masyarakat. Ketika pers ditindas, maka masyarakat akan bereaksi mendukung pers. Tapi ketika pers melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya, maka masyarakat akan berbalik supaya pers kembali dikekang. Itu juga terjadi di mana-mana di dunia ini, termasuk di Indonesia. Ini persepsi yang salah. Masyarakat salah kaprah karena seolah-olah perlakuan itu karena adanya perlindungan pers. Dan karena itu, aspek perlindungan pers yang dikurangi. Walau kemerdekaan pers dilindungi, tetapi tidak mudah menjadi wartawan. Dia harus tunduk dan taat pada kode etik jurnalistik, punya teknik skill yang bagus, membuat berita berimbang, akurat, dan tidak boleh beritikad buruk.*

 

Sumber: harian Jurnal Nasional, Rabu, 1 April 2009
By Administrator| 01 April 2009 | berita |