Hanya 30 Persen Pers yang Sehat

images

Jakarta (Kompas) - Sepuluh tahun sejak kemerdekaan pers, media baru terus bermunculan. Namun, lembaga pers belum sepenuhnya sehat. Hanya 30 persen lembaga pers yang sehat secara bisnis. Selain itu, dari sisi isi materi juga belum sepenuhnya mendidik, mencerdaskan bangsa, dan mendorong demokratisasi yang sehat.

Media memainkan peranan penting dalam perimbangan kekuasaan dan pilar demokrasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, kemerdekaan pers perlu diikuti dengan pembenahan kompetensi sumber daya manusia, penyehatan bisnis, penegakan kode etik, dan perlindungan memadai.

Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan UNESCO dan Dewan Pers dalam rangka memperingati 10 Tahun Kemerdekaan Pers, Selasa (5/5).

Dalam kesempatan itu diserahkan Penghargaan Karya Jurnalistik 2009. Untuk kategori Pengembangan Kemerdekaan Pers, penghargaan diberikan kepada Ninok Leksono (Harian Kompas) dengan karyanya Media, Teknologi dan Kekuasaan.. Untuk kategori Perlindungan Kemerdekaan Pers, penerima penghargaan ialah Abdul Manan dari Koran Tempo dengan karyanya Time Saja Tidak Cukup.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengatakan, sampai tahun 2008 terdapat 1.008 perusahaan media cetak, sekitar 150 televisi, dan sekitar 2.000 stasiun radio.

”Untuk penerbitan pers hanya sekitar 30 persen berkategori sehat bisnis,” ujarnya.

Sehat bisnis dalam artian perolehan iklan signifikan dan sebagian besar berkategori media berkualitas yang atraktif, mencerahkan, taat kode etik, dan dibutuhkan khalayak.

Sebagian besar dari 70 persen media cetak yang berkategori tidak sehat bisnis mengoperasikan wartawan yang tidak memenuhi standar. Dari sekitar 30.000 jurnalis Indonesia, hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi profesionalitas.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja mengatakan, liberalisasi ekonomi mengubah struktur pasar media di Indonesia. Apalagi hambatan masuk ke pasar berkurang. Jumlah pemain media membesar. Persaingan ketat tersebut disikapi dengan merger dan akuisisi. ”Karena persaingan itu, tayangan cenderung ikut selera pasar yang diukur lewat rating,” ujarnya.

Pemimpin Redaksi Kontan Yopie Hidayat menambahkan, kepemilikan media dan kaitannya dengan proses demokratisasi harus diperhatikan. Kemunculan media baru tak lepas dari fenomena bukan untuk bisnis media itu sendiri, melainkan mendukung kepentingan lain seperti politik atau bisnis di luar media. Media sebagai kendaraan. Arus informasi dikuasai segelintir pemilik modal.

Terkait perlindungan pers, praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, mengatakan, Undang -Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak sejarah. Namun, masih terdapat kekosongan di sana sini, seperti tidak mengatur penggunaan fitnah, hasutan, dan pencemaran nama baik. Hakim dan polisi dapat dengan mudah menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menjerat pers. (INE)

 

Kompas, Rabu, 6 Mei 2009
By Administrator| 06 Mei 2009 | berita |