Kekerasan terhadap Jurnalis Banyak Libatkan Pejabat Publik

images

Otak pembunuh wartawan Radar Bali (Jawa Pos Grup) Anak Agung Gede Prabangsa akhirnya terungkap. Kepolisian Daerah Bali telah menetapkan tujuh tersangka. Di antaranya adalah I Nyoman Susrama, anggota legislatif terpilih DPRD II Bangli dari PDI Perjuangan.

Prabangsa dieksekusi di rumah milik Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, Rabu (11/2). Prabangsa dihabisi karena mengungkap modus penunjukan langsung pelaksanaan proyek Dinas Pendidikan di Bangli. Jenazahnya ditemukan di Selat Lombok. Mengapa kasus kekerasan terhadap wartawan masih saja terjadi? Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kasus serupa? Berikut, perbincangan Budi Kurniawan dari KBR 68H dengan Kapolda Bali Irjen Pol Teuku Ashikin Husein (T), Anggota Dewan Pers Wikrama Irians Abidin (W), dan Direktur Eksekutuf LBH Pers Hendrayana (H):

Apa motif pembunuhan terhadap wartawan tersebut?

T: Pada tanggal 16, tepatnya 99 hari yang lalu, ditemukan jenasah wartawan. Dia adalah redaktur, Radar Bali. Dia dibunuh. Dari motifnya diketahui adalah karena wartawan tersebut sedang melakukan investigasi korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli. Dengan kerja keras, akhirnya kita bisa mengungkapkan tujuh tersangka. Tersangka itu adalah penduduk Bangli juga, pengawas dari proyek dinas pendidikan. Mereka diancam sebagai pelaku pembunuhan berencana degan ancamannya hukum seumur hidup.

Apakah ada oknum yang terlibat?

T: Kalau pejabat belum kita temukan. Cuma aktor intelektual ini adalah seorang anggota legislatif yang baru saja terpilih. Sekarang, mereka sudah ditahan di Polda Bali. Nilai korupsi dalam proyek itu belum kita ketahui.

Kasus kekerasan terhadap wartawan melibatkan pejabat. Mengapa demikian?

W: Memang akhir-akhir ini fenomena antara kejahatan umum terutama pembunuhan yang dikaitkan dengan korupsi yang kemudian diberitakan, cukup mencolok. Kali ini berhubungan dengan kegiatan jurnalistik yang menimpa Prabangsa. Menurut saya, fenomena ini akan terus terjadi selama kegiatan yang merugikan masyarakat, seperti korupsi, illegal logging, masih saja terus terjadi. Tapi itu tidak membuat wartawan takut, berhenti, dan lemah. Justru hal seperti ini membuat kita harus membangun kekuatan bersama melalui advokasi yang mungkin dilakukan. Dewan Pers sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kemerdekaan pers bukan semata-mata milik media, milik wartawan, tapi adalah milik masyarakat. Kemerdekaan pers sangat diperlukan dalam rangka memenuhi hak asasi publik demi mendapatkan informasi yang benar. Karena informasi, transparansi, akuntabilitas, diperlukan. Tanpa kemerdekaan pers, demokrasi akan jadi semu. Apalagi kalau pada waktu wartawan diancam yang berakibat pada kematian maka informasinya tertutup untuk masuk ruang publik, sehinga kontrol publik tidak ada. Dengan itu maka kita akan kembali lagi ke rezim yang koruptif, represif.

Apa yang bisa dilakukan organisasi wartawan untuk memperkuat barisannya?

W: Mungkin yang paling konkrit adalah wartawan yang professional bergabung merapatkan barisan melalui organisasi yang ada, seperti PWI, AJI. Dewan pers sudah melakukan verifikasi organisasi yang patut menjadi tempat bergabung para wartawan. Saya menganggap organisasi ini harus punya tim advokasi. Yang dimaksud tim advokasi adalah tidak hanya advokasi dalam arti ketika ada kasus saja, tetapi untuk mengantisipasi hal yang merugikan wartawan dan tugasnya. Karena perlindungan hukum dalam pasal 8 UU 40 tahun 1999 menurut saya, tidak terbatas pada perlindungan hukum yang sifatnya pidana saja, tapi juga perdata. Karena tekanan, pembatasan pada wartawan dalam menjalankan tugasnya tidak hanya datang dari luar tapi juga dari dalam yang tidak kalah bahayanya bagi kemerdekaan pers.

Berapa banyak kasus kekerasan yang menimpa wartawan saat ini?

H: Data kekerasan terhadap wartawan ternyata tidak ada penurunan. Justru yang terjadi, ada peningkatan kasus kekerasan. Data LBH Pers untuk tahun ini (2009) ada sekitar 25 kasus kekerasan fisik dan 27 kekerasan non fisik. Dalam kasus jatuhnya pesawat Herkules, di Magetan, juga terjadi kekerasan berupa pelarangan liputan dan penyekapan terhadap wartawan. Pada tahun 2008 ada sekitar 22 kasus kekerasan.

Mengapa kasus kekerasan itu meningkat?

H: Bisa jadi ada hubungannya dengan pemilu. Saya melihat arah kecenderungan ke situ. Tapi itu terkait juga dengan kesadaran masyarakat tentang fungsi dan tugas jurnalistik. Ada beberapa kasus yang hingga saat ini belum terungkap seperti kasus Udin.

Bagaimana dengan keterlibatan pejabat publik dalam kasus kekerasan itu?

H: Kalau dilihat dari pelaku memang banyak dilakukan pejabat publik. Catatan LBH Pers, tahun 2009 kekerasan dilakukan oleh polisi ada 7 kasus, TNI 6 kasus, aparat pemerintah 4 kasus non fisik, 3 kasus fisik, oleh partai politik 3 kasus non fisik, 1 kasus fisik. Saya melihat kasus kekerasan itu justru dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang kerja jurnalistik. Bentuk fisik yang kita lihat seperti perampasan kamera, pemukulan, penganiayaan yang berakibat meninggal.

Bagaimana Anda menilai proses pengadilan terhadap pelaku kekerasan?

H: Untuk kasus yang kita dampingi, seperti di Jakarta, semuanya bisa terungkap di persidangan, dan pelakunya dihukum. Tapi ketika kasus yang melibatkan oknum pejabat, belum terungkap, seperti dalam kasus Udin. Tapi dengan adanya proses hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis memberi efek bahwa pekerjaan jurnalis mendapat perlindungan dan karena itu harus diproses karena ada perlindungan terhadap profesi. Memang telah ada proses hukum selama ini walau belum semuanya terungkap.*

(Talkshow di KBR 68H ini terselenggara atas kerjasama dengan Dewan Pers)

 

Harian JURNAL NASIONAL, Rabu, 27 Mei 2009
By Administrator| 27 Mei 2009 | berita |