Pers Harus Dukung Cara Preventif Sikapi Korupsi

images

Jakarta (Berita Dewan Pers) – Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, berpendapat liputan pers tentang korupsi masih terpusat pada aspek penegakan hukum. Pers masih mengabaikan upaya penghapusan korupsi melalui cara preventif.
Menurutnya, selama ini pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi lebih banyak ke soal proses hukum terhadap pelakunya. Padahal, proses hukum tidak lagi sangat efektif menghilangkan perbuatan melanggar hukum.

“Pers pada tataran preventif harus senantiasa mensinyalir potensi korupsi dari setiap kegiatan pemerintahan, tetapi tidak sekedar menduga-duga. Sesuai pula dengan sistem keterbukaan informasi publik, pers harus dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi untuk mencegah korupsi,” kata Bagir Manan saat berbicara dalam diskusi bulanan Dewan Pers tentang “Peran Pers Dalam Pemberantasan Korupsi, Sudah Optimalkah?” di Jakarta, akhir Agustus lalu.

Diskusi yang dipandu Lukas Luwarso, mantan Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, ini menghadirkan narasumber Agus Sudibyo (Anggota Dewan Pers), Arya Gunawan (Unesco Jakarta), Wahyu Muryadi (Pemimpin Redaksi majalah Tempo), dan Bambang Widjojanto (pengacara).

Bambang Widjojanto sependapat dengan Bagir Manan. Ia menilai, pencegahan korupsi yang didorong dan diintegrasikan dengan penindakan hasilnya akan jauh lebih baik. Pemberantasan korupsi harus juga dilakukan melalui gerakan sosial anti korupsi. “Banyak hal yang bisa dilakukan dalam hal pencegahan,” kata mantan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.

Sayangnya, lanjut Bambang, tindakan pencegahan korupsi yang sangat dibutuhkan itu tidak cukup menarik bagi pers. Sering persoalan itu tidak dianggap bernilai berita sehingga jarang diberitakan. “Maukah kita menelisik ke sistem yang bagi pers itu kering?”

Investigasi
Arya Gunawan melihat saat ini ada stagnasi dalam pemberantasan korupsi. Terkait jurnalisme investigasi yang diharapkan dapat ikut mengungkap korupsi, liputan itu menurutnya belum cukup laku di Indonesia.

Terhambatnya perkembangan jurnalisme investigasi disebabkan antara lain faktor ketidakpedulian, tidak tersedia sumber daya, sikap berpuas diri, konflik kepentingan, dan masih rendahnya apresiasi khalayak.

“Saya merasa tidak banyak media (di Indonesia) yang menjadikan jurnalisme investigasi sebagai andalan utama. Sebagian besar media lebih melakukan pendekatan secara umum,” kata Arya.

Mantan wartawan Kompas ini menegaskan, media bukan faktor determinan tunggal atau penentu satu-satunya dalam keberhasilan pemberantasan korupsi. Pers hanya syarat yang mesti ada tapi tidak mencukupi. Harus ada tindaklanjut dari lembaga resmi serta politik yang jelas dari pemerintah dan juga tekanan dari publik.

“Hal penting dari pers lainnya, selain jurnalisme investigasi, adalah terus menggonggongi lembaga resmi dan mendidik masyarakat untuk pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Wahyu Muryadi tidak menampik pendapat yang menyatakan peran pers dalam pemberantasan korupsi belum optimal. Namun, menurutnya, semangat investigasi dalam diri wartawan Indonesia semakin mengental.

Liputan investigasi yang serius atas kasus korupsi, ia menambahkan, membutuhkan keterlibatan banyak wartawan dan waktu yang lama. Hal itu tidak mudah diatasi oleh pers.*

By Administrator| 03 September 2010 | berita |