BANDUNG— Dunia pers nasional saat ini berada dalam kondisi cukup bebas untuk menyampaikan berita dan informasi kepada publik. Hal ini berdasarkan capaian survei Indeks Kemerdekaan Pers yang digelar Dewan Pers pada tahun 2022 sebesar 77,88%. Bagi pemerintah, tentu hasil itu menggembirakan serta wajib dipertahankan dan ditingkatkan karena kebebasan pers harus ada untuk membangun peradaban bangsa. Meski begitu, pemerintah juga tidak menutup mata bahwa terdapat beberapa hal dalam dunia pers yang harus dibenahi agar iklim dan ekosistem pers menjadi lebih baik lagi.
Demikian isi pesan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof Mohammad Mahfud MD, yang hadir sebagai keynote speaker dalam talk show bertemakan “Jurnalisme Berkualitas untuk Peradaban Bangsa” pada Senin (12/12/2022) di Hotel Trans Luxury, Bandung, Jawa Barat, yang diselenggarakan oleh Dewan Pers dalam rangka Anugerah Dewan Pers 2022. Mahfud menekankan, pers memiliki kedudukan sangat penting dan dibutuhkan banyak pihak. Sebagai seorang pejabat negara, ia mengakui bahwa pers amat penting dalam perjalanan tugasnya.
Berbagai hal yang diberitakan dan dikritik pers tidak hanya jadi masukan tapi juga jadi modal atau amunisi untuk disampaikan pada rapat-rapat (kabinet) yang berlangsung. “Kalau kita buat kebijakan atau tindakan, terkadang ada perdebatan baik di kabinet maupun kementerian. Tapi kita tidak bisa mengelak untuk bilang bahwa hal itu sudah diberitakan pers, sudah telanjang, dan masyarakat tidak percaya seperti yang digambarkan pers sehingga kita harus bikin kebijakan dan keputusan yang tepat,” jelas Mahfud.
Oleh karena itu, ia menyebut wartawan dan insan pers itu bukanlah bekerja, melainkan berkarya. Sebab, karya jurnalistik mengandung pesan moral dan nilai-nilai tertentu yang ingin dicapai.
Hal senada juga mencuat dalam talk show yang menghadirkan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil, Plt Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya, Direktur Komunikasi SBM ITB Dr. Nurlaela Arief, dan wartawan Tempo Agung Sedayu. Kemerdekaan, kondisi, dan kualitas pers saat ini menjadi tema yang diangkat oleh empat narasumber dalam talk show.
Ridwan Kamil mengawali talk show dengan bercerita tentang kebebasan informasi di provinsi Jabar. Saat ia pertama kali menjadi Gubernur Jabar, Indeks Kemerdekaan Pers di provinsi itu berada di posisi 29. Tahun berikutnya, Jabar langsung melesat naik ke posisi nomor 2. Menurut Emil, begitu ia akrab disapa, ada empat langkah yang dilakukannya untuk mereformasi bidang informasi di provinsi Jabar, salah satunya adalah dengan memperbaiki komunikasi.
“Jabar adalah satu-satunya provinsi yang memiliki unit kerja anti-hoax, karena kami sadar, masa depan itu bisa dirusak oleh hoax. Anak-anak milenial di sini bertugas men-tracking berita bohong. Tiap Senin, 5 berita bohong harus ditampilkan supaya masyarakat Jabar tenang,” ungkapnya. Lalu bagaimana membedakan hoax dan bukan hoax? “Saya bilang, kalau (berita) itu belum ada di Detik, Kompas, Liputan 6, dll, jangan di-sharing dulu karena akurasinya masih fifty-fifty. Lebih baik terlambat (mendapatkan berita) tapi akurat. Media-media mainstream itu rujukan. Kalau sebuah berita dimuat berarti memenuhi kaidah pemberitaan,” ujar Emil.
Penjelasan Emil senada dengan penjelasan Plt. Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya. Menurutnya, berita itu tidak bisa bohong, namun informasi bisa. Oleh karena itu, kerja jurnalis adalah melakukan investigasi dan klarifikasi saat mereka mendapatkan informasi. Dengan sistem kerja seperti ini, pers sebagai pilar keempat demokrasi akan bisa terus terjaga kemerdekaan dan kebebasannya.
“Jurnalis adalah profesi terhormat, dan hanya kita yang bisa menjaga profesi sendiri. Praktik-praktik jurnalistik yang sudah baik diteruskan, tetapi yang kurang tolong diperbaiki. Pers yang berkualitas itu penting karena membawa kemaslahatan untuk kita semua,” kata Agung.
Dr. Nurlaela Arief memberikan sudut pandang menarik soal jurnalisme berkualitas dari sudut pandang humas. Menurutnya, mulai banyak masyarakat yang jenuh dengan tren berita saat ini yang mengandalkan clickbait dan tema berita seragam yang bisa dikonsumsi gratis. Tak heran jika media-media berbayar yang menawarkan berita-berita investigatif berkualitas mulai diminati. Apalagi, media-media berkualitas seperti itu memiliki kredibilitas tinggi untuk dijadikan bahan riset. “Media berbayar yang berkualitas itu punya market tersendiri,” ujarnya yakin.
Adapun Agung Sedayu mengakui, tantangan paling besar bagi seorang jurnalis adalah ketika melihat fakta bahwa masyarakat sudah mampu menyampaikan informasi dengan bebas. Timbullah pertanyaan, apakah media masih dibutuhkan? Jawabannya tentu masih. Namun yang jadi pertanyaan lanjutan adalah, media dan informasi seperti apa yang dibutuhkan publik?
“Kalau hanya mengejar kecepatan, jelas media kalah karena saat ini, semua orang bisa menjadi pewarta dan berlomba dengan kecepatan. Kebohongan dan kebenaran di media sosial pun campur aduk dan membuat semua kebingungan. Media (arus utama) menjadi penting. Ketika ada gegar informasi di media sosial, akan ada kecenderungan publik mencari sumber informasi yang terpercaya. Mereka akan kembali ke media arus utama,” pungkas Agung. (ira)