Penyebaran Berita Bohong dalam Tahap Serius

images

“Di Indonesia ‘fake news’ masuk tahap serius,” kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk How fake(d) news and social media filter bubbles impact the role of journalism in society di sela kegiatan World Press Freedom Day 2017, di Jakarta, Kamis (4/5/2017) Imam memandang berita bohong memiliki rentang yang sangat lebar, mulai dari yang satir untuk menyindir sampai yang dipublikasikan melalui berbagai kanal informasi.

 

Menurut dia, awalnya masyarakat mencari kebenaran atas informasi bohong melalui media mainstream. Namun saat ini informasi bohong justru masuk ke dimensi lain di media sosial dan diadopsi begitu saja di media mainstream tanpa klarifikasi.   Akibatnya, kata dia, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media mainstream. “Di ‘local election’, ‘fake news’ tumbuh dengan sangat cepat, ini juga ancaman terusmenerus bagi kita di Indonesia, setiap tahun kita berhadapan dengan ‘fake news’,” ujar dia.

 

Dia menekankan, di Indonesia berita bohong digali hingga ke isuisu lain termasuk isu sentimen agama. “’Fake news’ sudah mengancam eksistensi pers sebagai pilar keempat demokrasi,” jelas dia.

Menurut Imam, saat ini Dewan Pers dan masyarakat pers Indonesia tidak dalam posisi ingin membuat peraturan baru mengenai berita bohong karena pemberitaan bohong bisa disikapi masyarakat dengan berpegang pada aturanaturan yang ada. “Contohnya untuk melindungi kehormatan individu-individu yang terkena dampak berita bohong, di Indonesia sudah ada undang-undang yang melindungi itu,” kata dia. Yang terpenting, kata Imam, ada literasi media yang dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada publik.  Standar Rendah Dalam pada itu, praktisi media dari salah satu televisi swasta di Indonesia Don Bosco Salamun mengatakan bahwa standar jurnalis yang rendah berisiko ditunggangi kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut diungkapkan Don Bosco dalam salah satu sesi dialog World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Senin (1/5/2017) siang. Menurut dia, hal tersebut dapat merusak esensi kebebasan pers. “

 

“Ini merusak esensi kebebasan pers. Seharusnya kebebasan ini bisa dinikmati agar menjadi sesuatu yang bagus dan bukan  malah buruk,” kata Direktur Pemberitaan Metro TV  itu. Ia menjelaskan, permasalahan tersebut justru tumbuh  pada masa reformasi yang memunculkan jurnalis-jurnalis baru dalam jumlah yang sangat signifikan. Jika sebelum reformasi jumlah jurnalis di Indonesia hanya sekitar 3.000 - 4.000 orang, angka tersebut naik menjadi 10 kali lipat pasca reformasi.

 

“Di era itu ada lebih dari 40.000 jurnalis. Ini memang jumlah yang bagus terkait kebebasan pers, tapi di tengah itu tumbuh juga yang standarnya rendah yang kemudian membuat bisnis atau menunggangi media dengan kepentingan politik,” kata dia. Meskipun memiliki kekurangan,

namun ia menilai pasca reformasi merupakan masa ternikmat bagi kebebasan pers di Indonesia setelah mengalami banyak tekanan pada pemerintahan Orde Baru. Menurut dia, kebebasan pers saat ini tidak hanya dinikmati oleh insan pers yang terjun di media, namun juga masyarakat yang bisa mengakses segala  macam informasi melalui perangkat teknologi.

 

“Tidak hanya jurnalis yang bisa menyebarkan informasi, masyarakat pun bisa dengan membuat blog, vlog, dan sebagainya

atau menerima sumber informasi yang tidak terbatas,” tutur Don Bosco. Praktik tersebut merupakan bagian dari fase “3rd Screen”, katanya melanjutkan, yaitu pola masyarakat yang menerima informasi dari layar gawai masingmasing. Sedangkan pada fase “1st Screen” ialah bentuk penerimaan informasi media dari layar televisi, dan fase “2nd Screen” ada pada penerimaan informasi melalui monitor komputer. (antaranews. com/tirto.id) 

By AdminMediaCentre| 25 September 2018 | berita |