Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia Oleh: Lukman Hakim Saifuddin Bagian Kesatu.

images

Namun, kita baru merayakan kemerdekaan pers Indonesia dalam angka yang sebaliknya, yaitu ke-17, seiring lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1990. Dalam hitungan umur manusia, pers kita sebaya usia ABG -- Anak Baru Gede. Lazimnya ABG, ada positif dan negatifnya. ABG itu semangatnya membara, tapi kadang tak tentu arah menggelora. Ingin bebas tanpa batas, padahal tatanan masyarakat sedemikian jelas. Berpikir hal-hal besar, tapi mungkin lupa hal mendasar. Mata ABG itu seperti pedang yang lebih senang ingin menebang penghalang, ketimbang memandang peluang pada ruang yang lapang.

AJI sudah melewati masa ABG. Di usia yang ke-22, AJI tentu dituntut lebih dewasa, sehingga mampu memaknai setiap kemerdekaan dengan lebih proporsional. Artinya, marilah kita menyadari bahwa kemerdekaan – atau tegasnya, kebebasan- adalah hak dan metode, bukan tujuan akhir. Merdeka adalah jalan yang harus kita pilih untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jika kita bicara kemerdekaan Indonesia, maka acuannya tentu saja konstitusi yang menyebut antara lain: melindungi segenap bangsa Indonesia; memajukan kesejahyeraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kita memperjuangkan kemerdekaan, melepas diri dari belenggu, supaya bangsa kita maju dengan berdiri di atas kaki sendiri tanpa ragu. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kemerdekaan atau kebebasan pers pun harus seusai dengan cita-cita rakyat Indonesia.

Proporsional juga berarti bahwa kita harus menyadari jatidiri bangsa Indonesia. Meskipun telah mengorbankan jiwa dan raga, para pejuang kita tidak jumawa, mereka dengan rendah hati menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan, menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ini menandakan sejatinya Indonesia mengakui kehadiran Tuhan dalam setiap aliran darah dan tarikan nafas. Dalam tataran sosial, masyarakat Indonesia dikenal relijius. Ini karena selain nampak dari sikap seperti tadi, juga terlihat dari maraknya ritual religi pada masyarakat kita, apa pun etnis dan sukunya, dimana pun kita tinggal di wilayah Nusantara, dan apa pun agama yang dianutnya.

Karenanya keberagaman adalah jatidiri bangsa Indonesia yang pertama. Adapun jatidiri kedua adalah komitmen akan nilai-nilai kemanusiaan. Karakter bangsa ini adalah menjadi bagian dari kemanusiaan universal, yang menghormati hak-hak kemanusiaan secara adil dan beradab dalam upaya memanusiakan manusia. Selanjutnya, jatidiri ketiga adalah bahwa meskipun beragam dalam banyak hal, bangsa Indonesia punya ikatan dan jalinan yang saling mempertemukan satu sama lain membentuk persatuan. Kemajemukan etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama yang dipeluk anak bangsa, dijaga, dan ditata dengan landasan filosofis dan kultural Bhinneka Tunggal Ika. Jatidiri keempa, bahwa Indonesia memiliki tradisi musyawarah penuh hikmah kebijaksanaan sebagai wujud demokrasi yang alami dan membumi. Musyawarah yang dipandu dengan kearifan, adalah ajaran yang menjadi warisan leluhur dalam merawat realitas keindonesiaan yang penuh keragaman. Keempat jatidiri inilah yang oleh para pendiri bangsa dijadikan dasar pijakan untuk mencapai jatidiri kelima, yaitu tekad mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kita semua.

Kata proporsional sengaja saya garisbawahi supaya kita sadar posisi dan paham situasi. Proporsinalitas, kita perlukan untuk menjaga keseimbangan antara perilaku dengan tatanan, antara perilaku dengan tatanan, antara keinginan dengan kenyataan, dan antara kebebasan dengan batasan. Tokoh pers Bill Kovach dan Tom Rosensteil dalam teori Sembilan Elemen Jurnalisme menyandingkan kata “proporsinal” dengan “komprehensif” agar produk jurnalistik dapat berperan tepat sebagai peta bagi masyarakat.

Pers sebagai pilar ke empat demokrasi adalah navigator gerak langkah bangsa. Opini publik yang tersaji di media, sangat menentukan ke mana bangsa ini mengarah. Ketika jurnalis terlalu berat sebelah terhadap ideologi tertentu dan mengamplifikasinya, maka masyarakat akan terbelah ke dalam dua potongan besar; satu bagian mengikuti tren yang dikembangkan media, satu lagi menentang arahan media, lalu mengekspresikan sikapnya dengan berbagai cara.

Di titik inilah konflik rentan terjadi, seperti yang kita rasakan setiap kali Pilpres dan Pilkada, di mana media darling mendapatkan perlawanan keras dari kelompok lain. Yang terjadi kemudian, semakin banyak pihak terlibat konflik dan lupa pada cita-cita bersama yang disepakati dalam konstitusi.

Bill Kovac dan Tom Rosenthiel mengajarkan tentang sembilan elemen jurnalisme yang harus dijunjung tinggi dan diupayakan para wartawan. Antara lain mengejar kebenaran, komitmen terhadap kepentingan publik, disiplin melakukan verifikasi, independen terhadap narasumber, pemantau kekuasaan, menyediakan forum bagi masyarakat, menyajikan hal penting yang menarik, menulis secara proporsional dan komprehensif, serta mengutamakan hati nurani.

Tentu tidak mudah menyadari di mana posisi kita. Terutama di era sekarang, era digital yang bisa bikin gatal bahkan rentan hilang akal. Kita berada di dunia yang tanpa batas, karena semua orang bisa terhubung di mana saja dan kapan saja melalui peranti digital secara bebas. Dalam segi positif, keterhubungan itu bisa memudahkan kesalingpahaman antarbudaya. Tetapi ketiadaan batas itu juga berisiko membuka lebar pertarungan hegemonic terkait ideologi, ekonomi, dan politik yang bisa berujung konflik.

 

 

 

 

Seperti konflik yang dipicu karena perilaku intoleransi. Kita sering gagal fokus memahami persoalan intoleransi di berbagai daerah. Intoleransi sering dikaitkan dengan untuk kekuatan mayoritas terhadap minoritas. Padahal intoleransi hanya bisa terjadi jika kita kehilangan sikap tepa selira dan tenggang rasa – yang maknanya lebih luas dari sekadar kata seimpati dan empati. Atau, menuding musabab konflik pendirian rumah ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM), sehingga memaksa Pemerintah untuk mecabut regulasi itu. Padahal PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah adalah produk aturan bersama, guna menghindari konflik. Pada kenyataannya hampir semua kasus sengketa pendirian rumah ibadah justru disebabkan ketidakpatuhan terhadap regulasi bersama tersebut.

Walhasil, keadilan harus kita tegakkan. Adil dalam arti setiap orang dapat menikmati haknya tanpa mencederai orang lain. Setiap orang dapat merasakan ha katas ekspresi kebebasan, asalkan paham batasnya. Adil dalam memberikan ruang bagi para pihak yang sedang berupaya mencari titik temu dari perbedaan.

***

Organisasi jurnalis seperti AJI potensial menjadi agen perubahan yang mempertautkan segala perbedaan, agar menjadi harmoni yang indah. Dengan tetap bertumpu pada profesionalitas, AJI dapat menjadi promotor kebudayaan yang dapat memajukan peradaban Indonesia lebih berkualitas. Independensi AJI dapat menjadi teladan dalam menyemai nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari mana pun, dari agama yang luhur dan juga ajran para leluhur. Toh, diakui atau tidak, dalam kondisi tertentu jurnalis mengemban tugas suci seperti nabi. Yakni, menjadi juru penerang yang menyampaikan fakta kebenaran, sekaligus juru damai yang mendorong tercapainya kedamaian.

Namun, sebelum menjadi pemandu arah bagi publik, hal terbaik adalah memulai dari diri sendiri. AJI harus lebih menampilkan diri sebagai laboratorium keberagaman. Sebuah kawah candradimuka yang membentuk jurnalis sebagai perawat indahnya keberagaman. Jurnalis yang pada dasarnya berasal dari masyarakat, harus mampu merepresentasikan nilai-nilai yang baik dan mencerahkan bagi masyarakat yang beragam. Tahap berikutnya, AJI harus semakin kencang mendorong terciptanya ruang redaksi yang multicultural sebagai etalase kehidupan masyarakat yang berperadaban tinggi.

Selanjutnya, di era digital ini AJI harus berada di garda terdepan untuk menemukan model bisnis media dan pola kerja jurnalis yang tepat dalam menjaga mutu pers Indonesia. Karena tantangan bagi AJi bukan lagi semata rezim yang suka membungkam media massa, tapi hyga kecerewetan dan keruwetan media sosial. Kita sadar, jurnalis dan media masssa bukan lagi pilihan utama sumber informasi bagi publik. Ada media sosial yang kadang memerankan fungsi media, dan netizen yang memerankan kerja jurnalis.

Alhasil, tantangan jurnalis zaman serba digital ini bukan lagi semata menjaga “marwah profesi”, tapi sudah pada tahap lebih membumi, supaya dapat menancapkan pengaruhnya lebih pasti. Perlu diperluas interaksi dengan para pemangku kepentingan di berbagai institusi. Idealisme yang membumi, tak hanya memerlukan kaki-kaki, tapi juga mensyaratkan strategi bersinergi, dengan pemangku kepentingan seantero negeri.

***

Sebelum reformasi, isu kebhinnekaan, perb e daan, keberagaman, dan sejenisnya tidak menonjol karena setidaknya dua hal. Pertama, negara amat dominan menjalankan fungsi kontrolnya. Sedikit saja muncul bibit isu atau masalah keberagaman, langsung dibungkam dengan tindakan represif. Media sangat dikontrol pemerintah kala itu sehingga sulit mengembangkan wacana-wacana sosial kemasyarakatan. Ke dua, sebagian besar elit pembuat opini publik masih lekat kesinambungan sejarah dengan proses berdirinya NKRI. Masih banyak pelaku sejarah yang memahami betul visi-misi para pendiri bangsa. Mereka melakukan internalisasi nilai dan distribusi makna kebhinnekaan Indonesia lewat jalur politik, pendidikan, sosial, dan media.

 

 

Begitu masa reformasi, kran terbuka amat lebar hamper tanpa saringan. Berbagai kelompok dalam masyrakat berebut pengaruh dnegan menggunakan sebanyak mungkin saluran. Pada era digital, amplifikasi berjalan luar biasa. Terjadi air bah informasi di smeua proses: akses, produksi, dan distribusi. Kelompok liberal, sekuler, pluralis di satu sisi dab kelompok fudamentalis, konservatif di sisi lain, “bertarung” secara terbuka memperebutkan ruang di ranah online maupun offline.

Reformasi mengakibatkan terjadinya perubahan kontrol sosial. Pemerintah bukan lagi pemegang utama tuas kontrol. Dinamika politik dan sosial berubah, dari dikendalikan pemerintah, menjadi dikuasi kelompok masyarakat dan korporasi bisnis.Kelompok mayoritas, sekuat mungkin mempertahankan dominasi dnegan enggan berbagi, alias menegasikan kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas berusaha mempertegas eksistensinya di ranah publik. Kemudian, korporasi bisnis menarik kedua kelompok itu ke dalam ruang kapitalisasi. Persinggungan tiga kepentingan tersebut membuka peluang terjadinya konflik.

Ini juga mengubah peta perang informasi dan opini. Tak jarang opini dimunculkan bukan untuk memperjuangkan ideologi, tapi untuk mendulang keuntungan bisnis belaka. Mucullah kecenderungan unik, yakti sebuah web Islami yang dieklola nonmuslim dan diterbitkan oleh kelompok media yang identic dengan hiburan. Sementara

Ada media yang rut in menayangkan figur agamawan yang berupaya meraih simpati publik lewat format hiburan, sehingga “tuntutan jadi tontonan”, sehingga masyarakat bukan tercerahkan agamanya, tapi mengikuti tren fesyen figur tersebut. Sementara di sisi lain, aktualisasi identitas kelompok minoritas, dikapitaliasi dalam bentuk sensai, ketimbang pemuliaan hak asasi.

Bersambung edisi berkutnya >>

By AdminMediaCentre| 24 September 2018 | berita |