Memorandum Dewan Pers: RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi

Memorandum Dewan Pers: RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi
18 Juli 2015 | Administrator

Memorandum Dewan Pers*
No. 05/M-DP/V/2005

RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi

Dewan Pers mencermati sejumlah ketentuan hukum yang diatur dalam RUU KUHP telah menyimpang dari semangat reformasi dan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Upaya membangun sistem yang lebih terbuka dan demokratis, yang dilakukan tujuh tahun terakhir, berpotensi mengalami kemunduran, jika  RUU KUHP disahkan tanpa melalui proses pengkajian secara kritis. Naskah RUU KUHP yang akan disampaikan pemerintah ke DPR terlalu berorientasi pada hegemoni kekuasaan, memberi peluang terlalu besar kepada pemerintah (negara) untuk turut campur secara berlebihan dalam wilayah masyarakat (public domain). Dalam RUU KUHP terdapat pasal-pasal yang berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi, dan berkomunikasi yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Amandemen UUD 1945 (Pasal 28), serta TAP MPR XVII/1998, tentang Hak Asasi Manusia.

Mengingat hal tersebut, Dewan Pers dengan ini perlu menyampaikan beberapa catatan (memorandum) terhadap naskah  RUU KUHP, sebagai berikut:

  1. Paradigma penyusunan RUU KUHP kental bernuansa negara kolonial, otoriter dan anti-demokrasi, hal ini antara lain terlihat dari klausul pasal-pasal yang terkait dengan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme; pembocoran pertahanan negara dan rahasia negara; penghinaan; penghasutan; penyiaran berita bohong; pornografi; pencemaran; dan fitnah. Sedikitnya terdapat 49 pasal, yang dapat dikategorikan telah mengadopsi ketentuan pasal-pasal haatzaai artikelen (dari KUHP yang berlaku saat ini), dan ketentuan pasal-pasal dalam UU Subversi (yang telah dicabut oleh MPR).
  2. Semangat untuk melakukan kodifikasi (pengkodean) dan unifikasi (penyeragaman) dalam RUU KUHP juga membahayakan proses demokrasi serta tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Dinamika perubahan sosial dan politik dalam sistem demokrasi, serta  kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, tidak mungkin dapat ditangani dalam sistem hukum pidana yang dikodifikasi. Sementara itu, keberagaman dan heterogenitas masyarakat Indonesia juga tidak mungkin diatur dalam sistem hukum pidana yang bermaksud menyeragamkan. Lebih dari itu, Pasal-pasal dalam RUU KUHP kental bernuansa punishment (menghukum) dari pada treatment (memperbaiki). Padahal kecenderungan paradigma hukum di dunia internasional saat ini lebih mengedepankan hukuman sebagai treatment.
  3. Dalam konteks kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, RUU KUHP menjadi ancaman bukan saja karena tetap dipertahankannya pasal haatzaai artikelen melainkan juga penetapan sejumlah pasal dengan menggunakan delik formal. Misalnya menyangkut ketentuan penyebaran kabar bohong dan berita tidak pasti; dengan pasal tersebut seorang wartawan  bisa dihukum hanya karena dugaan “menyebarkan kabar yang diketahui akan menimbulkan keonaran”. Jika RUU ini disahkan, akan berdampak semakin dipenjarakannya wartawan yang kritis. Pasal-pasal dalam RUU KUHP tidak hanya mengancam pers tetapi juga kepada masyarakat yang sedang berunjuk rasa, pembicara diskusi, penceramah, ilmuwan, dan seniman.
  4. Adanya ketentuan pidana tambahan dalam RUU KUHP berupa pencabutan hak menjalankan profesi—yang memiliki kode etik--juga terasa berlebihan. Profesi jurnalis (sebagaimana pengacara, dokter, akuntan, dan sebagainya) dapat dicabut oleh negara, jika negara memandang terjadi pelanggaran profesi. Padahal, semestinya  pencabutan profesi merupakan domain  organisasi profesi, bukan wilayah yang diatur oleh negara.

Jakarta, 3 Mei 2005
Dewan Pers

ttd

Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A.
Ketua


R.H. Siregar - Wakil Ketua
Santoso – Anggota
Sulastomo – Anggota
Sutomo Parastho – Anggota
Amir Effendi Siregar – Anggota
Sabam Leo Batubara – Anggota
Hinca IP Pandjaitan – Anggota
Uni Zulfiani Lubis - Anggota

* Memorandum ini dikeluarkan berdasarkan hasil rangkuman pemikiran yang tercetus dalam dua diskusi menyangkut RUU KUHP, yang diselenggarakan oleh Dewan Pers pada 19 April dan 3 Mei 2005.