Laporan Perjalanan ke Sydney

Laporan Perjalanan ke Sydney
18 Juli 2015 | Administrator

Dewan Pers pada 29 April-3 Mei 2008 berkunjung ke Australia atas undangan Research Institute for Asia and The Pacific, The University of Sydney. Kunjungan bertema “Media untuk Demokrasi di Indonesia” (Media for Democracy in Indonesia) tersebut merupakan program kerjasama untuk meningkatkan kapasitas Dewan Pers. Delegasi Dewan Pers adalah Leo Batubara, Abdullah Alamudi, Bambang Harymurti, Wina Armada, Wikrama Iryans Abidin, Lumanulhakim, dan Lukas Luwarso.

Program kunjungan ini sebagian didukung oleh Departemen Luar Negeri Australia melalui Australia-Indonesian Institute, dan University of Sydney berperan sebagai tuan rumah yang membantu mengorganisir kunjungan. Selama lima hari di Sydney, delegasi Dewan Pers menyampaikan presentasi dalam beberapa diskusi di kampus University of Sydney maupun di beberapa forum lainnya. Selain itu, Dewan Pers juga menghadiri rapat-rapat dan diskusi di Dewan Pers Australia.

Pada hari pertama, delegasi bertemu dengan Dr. Anne Dune, (Chair Dept of Media and Communications) bersama beberapa staf pengajar Fakultas Media and Communications, University of Sydney. Dalam pertemuan tersebut didiskusikan situasi kebebasan pers di Australia dan Indonesia, khususnya mengenai peran fakultas media dan komunikasi, di Australia dalam memasok tersedianya wartawan yang siap pakai.

Dr. Anne Dune menjelaskan sekitar 50 persen alumni  fakultasnya menjadi wartawan, selebihnya bekerja di bidang public relations dan peneliti media. Meskipun di fakultasnya banyak pengajar dari kalangan wartawan, Dr. Anne Dune tidak menyebut fakultas yang ia pimpin sebagai “school of journalism”, mengingat materi perkuliahan tidak seluruhnya terkait dengan jurnalistik, melainkan lebih pada studi media dan komunikasi.

Menurutnya, karakter fakultas media dan komuniasi di Australia berbeda dengan universitas di Amerika yang sebagian besar mengidentifikasi diri sebagai school of journalism, seperti di Columbia University, misalnya. Fakultas komunikasi di Australia mirip dengan di Indonesia, yang cenderung berpretensi menyiapkan “pakar media” ketimbang praktisi (wartawan).  Namun, Leo Batubara menyebut, setidaknya wartawan di Australia sebagian besar adalah alumni fakultas komunikasi. Sementara di Indonesia, lulusan fakultas komunikasi lebih banyak menjadi humas.

Pada hari kedua delegasi berkunjung ke kantor Dewan Pers Australia untuk mengikuti rapat komisi pengaduan (complaint committee) dan komisi kebijakan (policy committee). Delegasi mengamati bagaimana tiga kasus pengaduan diproses dalam Rapat Komisi Pengaduan, dengan mendengarkan keterangan pengadu dan penjelasan dari pihak media yang diadukan. Setelah mendengarkan keterangan pihak pengadu dan yang diadukan, dilanjutkan dengan diskusi penilaian masing-masing anggota komisi dan perumusan ajudikasi (adjudication) yang akan ditetapkan pada rapat pleno seluruh anggota Dewan Pers Austalia keesokan harinya.

Wikrama Abidin, anggota delegasi, menilai proses penanganan pengaduan di Dewan Pers Australia (DPA) mirip dengan proses penanganan pengaduan di Dewan Pers Indonesia (DPI). “Yang membedakan, Dewan Pers Australia menangani secara lebih efisien dan efektif. Ini pelajaran yang baik bagi kita,” ujarnya.

Setelah  memproses tiga pengaduan, selanjutnya dilaksanakan rapat Komisi Kebijakan yang membahas sejumlah persoalan yang terkait dengan kinerja pers dan kebebasan pers baik di Australia maupun di sejumlah negara tetangga. Dengan kehadiran delegasi Dewan Pers Indonesia, pembahasan menyangkut situasi pers di Indonesia dan Timor Lorasae berjalan dengan menarik. Antara lain didiskusikan mengenai kontroversi UU ITE dan masalah  pornografi di Indonesia. Selain itu dibahas kemungkinan kerja sama antara DPA dan DPI dalam membantu komunitas pers di Timor Lorasae merumuskan UU Pers dan pembentukan Dewan Pers di negara baru tersebut.

Pada hari ketiga, delegasi mengikuti rapat pleno DPA yang diikuti oleh 19 dari 22 anggota. Rapat pleno ini membicarakan kembali agenda rapat-rapat sehari sebelumnya disertai pengambilan keputusan dan pengesahan. Seusai rapat pleno, anggota DPA dan delegasi DPI menyelenggarakan lokakarya (working lunch) membahas sejumlah isu pers, berbagi pengalaman sebagai sesama Dewan Pers, dan tanya jawab seputar kondisi kebebasan pers di Indonesia dan Australia.

Seusai mengikuti Rapat Pleno, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, Lukas Luwarso, dan Kepala Sekretariat, Lukmanulhakim, mengadakan pembicaraan khusus dengan Sekretaris Eksekutif DPA, Jack Herman, berbagi pengalaman dalam mengelola manajemen sekretariat Dewan Pers masing-masing. Secara prinsip pengelolaan kedua Dewan Pers hampir sama, yang membedakan, DPA hanya dikelola oleh empat staf, sedangkan staf DPI mencapai 30.

Pada hari kedua dan ketiga, selain agenda utama mengikuti rapat di DPA, beberapa anggota delegasi memberikan kuliah dan menjadi pembicara dalam beberapa diskusi.

Bambang Harymurti dan Abdullah Alamudi memberikan kuliah tentang situasi media di Indonesia di depan mahasiswa program Post-Graduate, dan dalam Southeast Asian Seminar Series di University of Sydney. Sedangkan anggota lainnya Leo Batubara, Wina Armada, dan Wikrama Abidin, memberikan kuliah berbahasa Indonesia kepada mahasiswa yang mengambil kuliah Indonesian Studies - advanced language class.

Pada hari keempat seluruh anggota delegasi mengukuti The Future of Journalism Conference, yang diselenggarakan oleh The Media, Entertainment and Arts Alliance (MEAA) dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Se-Dunia. Bambang Harymurti menjadi salah satu pembicara konferensi ini dalam sesi: Independent Voices: Press Freedom in The Digital Era.

Melalui kinjungan kerja empat hari ke Austrlia ini banyak pelajaran dan pengalaman  yang dapat diambil oleh delegasi Dewan Pers Indonesia. Hal yang menonjol adalah  kesamaan cara kerja antara DPI dan DPA, yang membedakan adalah efisiensi dan kualitas kinerjanya.

Selain itu, delegasi juga mempelajari berbagai persoalan kebebasan pers yang juga di alami oleh negara maju seperti Australia, sebagaimana di Indonesia. Yang membedakan adalah dengan sistem demokrasi yang telah mapan persoalan pers di Australia bisa ditangani secara sistemik, sementara di Indonesia persoalan menumpuk dan sistem tidak membantu menyelesaikan.*