Kebebasan Pers dan Masa Depan Papua

Kebebasan Pers dan Masa Depan Papua
27 Oktober 2014 | Administrator

Seorang wartawan profesional dituntut memiliki kemampuan mencari, mengolah dan menyajikan informasi berdasarkan hal-hal yang faktual. Seorang wartawan dituntut untuk memiliki daya tembus terhadap semua rintangan yang dihadapinya. Karena itulah kita bisa melihat ada wartawan yang sampai mendapatkan hadiah Pulitzer karena kerja kerasnya.

Di Indonesia du wartawan Perancis yang sedang menyiapkan liputan di Papua ditangkap. Dua wartawan televisi dari Prancis itu, Thomas Dandois (40 tahun), dan Valentine Bourrat (29), ditangkap di Wamena, Papua pada awal Agustus karena dituduh melakukan kontak dengan anggota gerakan separatis di Papua.

Pihak kepolisian setempat menyatakan keduanya ditahan karena menyalahi ijin kunjungan. Keduanya masuk menggunakan visa turis, namun diduga melakukan aktivitas jurnalistik. Dua wartawan itu telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran keimigrasian tersebut.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah Papua memang dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi wartawan asing? Jawabannya barangkali tergantung kepada siapa dan instani mana pertanyaan ini diajukan. Yang jelas ada banyak wartawan asing mengeluh bahwa mereka tak bisa masuk ke Papua. Setiap kali wartawan asing mengajukan permohonan visa secara resmi untuk masuk ke Papua pasti ditolak. Makanya tak heran, mereka yang nekad, biasanya akan menggunakan visa turis. Larangan memasuki wilayah Papua ternyata bukan hanya dialami wartawan asing, tapi juga dialami oleh LSM asing maupun pekerja dan lembaga kemanusiaan.

Beberapa tahun lalu, wartawan dalam negeri juga mengeluhkan tak bebas saat mereka meliput di Papua. Tapi sejak sekitar tiga tahun terakhir situasi telah berubah. Meliput Papua bagi wartawan domestik sudah lebih leluasa, meski masih mencekam.

Wartawan adalah sebuah profesi, orang bertanya mengapa ada perbedaan perlakuan antara wartawan asing dan wartawan domestik. Jawabannya kadang dikaitkan dengan nasionalisme dan jiwa merah putih.

Pembuat kebijakan rupanya kurang memahami bahwa kebebasan pers pada dasarnya adalah bagian dari hak asasi, khususnya hak untuk mencari, mengolah dan menympaikan informasi. Memang hak ini bukan sebuah hak yang bersifat non-derogable. Kemerdekaan pers boleh dikendalikan, tapi harus melalui aturan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Larangan wartawan meliput di Papua bisa dilakukan bila kawasan Papua dinyatakan sebagai daerah darurat sipil atau darurat militer.

Papua, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, saat ini adalah berada dalam keadaan tertib sipil. Artinya aman-aman saja, meski memang ada gangguan di daerah pegunungan tengah. Dengan demikian para wartawan baik asing maupun domestik semestinya diijinkan untuk datang meliput.

Ingat, menutup informasi itu mirip dengan menyapu debu ke dalam karpet. Indonesia punya pengalaman buruk dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Saat itu kontrol pemerintah atas media sangat kuat. Tak ada media satupun yang berani menurunkan berita terkait fakta sebenarnya yang terjadi di Provinsi ke-27 Indonesia saat itu. Kalaupun ada liputan, ya, ketika para pejabat datang ke ibukota Dili dan dapat sambutan yang meriah lengkap dengan tari-tarian.  

Semua orang kaget ketika mengetahui bahwa rakyat Timor Leste memilih merdeka saat ditawari otonomi khusus. Semua orang menilai rakyat Timor Timur sebelumnya selalu ingin bergabung dengan Indonesia.

Jadi, sebuah pelarangan liputan untuk wartawan asing justru kontraproduktif untuk keutuhan bangsa. Lepasnya Timor Leste dari NKRI tak lepas dari tertutupnya akses informasi dari wilayah tersebut. Saat itu masalah sosial politik di Timor Timur tak banyak mendapat tempat di media nasional.

Dalam hal Papua, media asing selama ini lebih banyak memberitakan soal Papua berdasarkan isu-isu dan informasi sepihak. Akan lebih baik membiarkan mereka masuk dan mengabarkan yang sebenarnya dari pada menghalangi mereka dan berharap tak ada berita buruk tentang Papua.

Kita semua mesti sadar bahwa pendekatan kekerasan yang dilakukan selama ini terhadap Papua telah mengakibatkan kekecewaan masyarakat memuncak. Kekecewaan ini yang kemudian terwujud dalam berbagai gerakan yang memperjuangkan keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI.

Pemerintah setelah era Orde Baru menyadari betul situasi tersebut. Ditambah lagi, pemerintah sulit untuk menghindar dari terpaan gelombang reformasi yang sedang menghantam semua bidang. Pertimbangan tersebut yang menyebabkan pemerintah memilih jalan otonomi khusus dalam upaya menjawab keinginan rakyat Papua untuk merdeka.

Provinsi Papua terdiri dari berbagai macam suku dan berbagai macam bahasa yang berbeda-beda. Tanah Papua yang kaya dengan hasil bumi ternyata tidak sebanding dengan kondisi kehidupan rakyat Papua yang masih dalam serba keterbatasan. Kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan masih menghiasi kehidupan rakyat Papua sampai dengan saat ini, karena mereka tidak dapat menikmati hasil kekayaan tanah Papua.

Walau mempunyai wilayah paling terbesar, Papua mempunyai  jumlah penduduk yang sedikit. Total penduduk Papua mencapai sekitar 2,6 juta jiwa. Jika dikaitkan dengan luas wilayah, maka kepadatan penduduk di Papua mencapai 5 jiwa/km persegi. Kepadatan terjadi secara tidak merata di wilayah Papua karena sebagian besar masih merupakan hutan lebat. Sebagian besar penduduknya kurang menikmati pendidikan dan harus hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Kondisi geografis dan demografis juga menjadi titik sulit perkembangan media di Papua. Jarak antara satu konsentrasi penduduk dengan konsentrasi penduduk lain amat jauh. Menutup informasi dan menghambat kebebasan pers di Papua sama halnya dengan mempertaruhkan masa depan Papua.*

Stanley Adi Prasetyo adalah Anggota Dewan Pers periode 2013-2016.