Misteri Pembunuhan Udin Sebagai Sebuah Utang

Misteri Pembunuhan Udin Sebagai Sebuah Utang
23 September 2013 | Administrator

Masih banyak pertanyaan menggantung di negeri ini. Salah satunya adalah kematian wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin yang terjadi 17 tahun silam yang hingga kini masih merupakan misteri. Pembunuhnya belum kunjung terungkap padahal Kapolda DIY Yogyakarta telah berganti 16 kali. Apakah Kasus Udin ini akan menjadi bagian dari banyak kasus yang menjadi dark number di negeri ini? Ataukah akan hilang atau kedaluwarsa ditelan perjalanan waktu?


Udin yang kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964. Pada Selasa malam, pukul 23.30 WIB 13 Agustus 1996, Udin dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB pada usia 32 tahun. Ia mati tepat 10 tahun setelah bergabung dengan Bernas, tepatnya sejak 1986.

Polisi Disorot
Saat itu muncul sorotan terhadap kinerja polisi yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, dimana kepolisian masih menjadi bagian dari ABRI.  Semestinya polisi dalam melakukan proses penyidikan harus berbasis pada hasil olah TKP dan bukti-bukti forensik, tapi malah yang terjadi sebaliknya.


Kanit Reserse Kriminal Umum Polres Bantul  yang berpangkat Serka (kalau sekarang: brigadir polisi) saat itu justru melakukan hal yang berbau klenik dan bukannya memraktekkan metoda scientific investigation. Sampel darah Udin yang harusnya disimpan sebagai barang bukti justru dilarung ke Laut Kidul dengan alasan untuk membuang sial. Awalnya si Kanit menyatakan sampel darah tersebut akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural dengan dilarung ke Laut Selatan. Bukan hanya itu, buku catatan Udin juga diambil dan kemudian tidak jelas ada di mana.


Para wartawan dan aktivis di Yogya menemukan indikasi kemungkinan adanya kaitan antara beberapa tulisan kritis Udin di Bernas dengan kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo yang merupakan kerabat keluarga Cendana saat itu dikatit-kaitkan dengan kematian Udin. Kapolres Bantul saat itu, Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Ia menyatakan akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers tersebut berlangsung.


Di tengah pertanyaan orang tentang apa yang dilakukan polisi untuk mengusut kematian Udin, si Kanit Reskrimum tersebut kemudian dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta. Apakah ia seorang pahlawan yang perlu diselamatkan dan dilindungi ataukah ia seorang yang teledor dan melakukan kesalahan sehingga patut dihukum? Ataukah justru ia menyelamatkan Polri dari kemarahan penguasa saat itu? Yang jelas pertanyaan ini bagi publik juga menggantung. Beberapa sumber menyebut sang mantan Kanit kini telah berpangkat Kombes dan berdinas di satuan khusus di kepolisian.


Penjelasan polisi berbeda dengan logika masyarakat. Masyarakat menilai ada skenario   pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh suaminya. Sedangkan Dwi Sumaji (Iwik) seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik mengaku dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik."


Hal tersebut memunculkan berbagai pro-kontra sekaligus sorotan terhadap kinerja Polri. Berbagai pihak termasuk di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus Udin diusut tuntas dan siapapun yang terlibat dalam kasus tersebut harus diproses secara hukum. Bahkan  Kassospol ABRI saat itu, Letjen TNI Syarwan Hamid menegaskan bahwa oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas. Di tengah berbagai tekanan publik, saat itu Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS menyatakan bahwa pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin.

Sebuah Utang
Upaya pengungkapan pembunuhan Udin melalui jalur pengadilan juga tampaknya buntu dan berbau tak sedap aroma perselingkuhan politik. Iwik yang tak terbukti melakukan pembunuhan akhirnya ditangguhkan penahananannya dan kemudian divonis bebas. Pakar pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr JE Sahettapy SH menilai pengusutan kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini polisi yaitu motif perselingkuhan terlalu dicari-cari.


 Tujuh belas tahun semua hingar-bingar itu sepertinya telah berlalu. Tapi masyarakat dan para wartawan di Indonesia tetap melihat pentingnya kasus pembunuhan Udin untuk dapat diungkap kepada publik. Udin dianugerahi penghargaan Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atas perjuangannya bagi kebebasan pers pada 22 Juni 1997. AJI juga menggunakan nama Udin untuk memberikan penghargaan kepada jurnalis atau sekelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakan pers demi kebenaran dan keadilan.


    Akankah kasus Udin kadaluwarsa sesuai ketentuan hukum? Semestinya tidak, karena untuk membuktikan bahwa penyidikan lama yang penuh rekayasa sangat mudah dengan memeriksa ulang seluruh nama yang pernah jadi korban perekayasaan. Hal ini sekaligus bisa menjadi bukti baru (novum). Yang dibutuhkan polisi hanyalah kemauan dan tekad untuk mengungkap kebenaran. Sebuah kejahatan tak akan selamanya dapat ditutupi. Suatu saat akan terbongkar. Dan ingat, sebuah tindak kejahatan selalu meninggalkan jejak. Jejak-jejak yang jelas ini tinggal dirunut kembali.


    Kasus Udin adalah utang bagi bangsa ini untuk segera bisa diungkap. Masyarakat, aktivis, pemerhati hukum,  dan para wartawan kini menagih utang ini pada aparat penegak hukum. Kematian Udin 17 tahun lalu memang telah mengubur jasadnya, tapi sebagai sebuah kasus ia tidak pernah mati. Matinya wartawan Udin bukan matinya sebuah kebenaran. Kini saatnya kita semua membantu polisi melunasi utangnya pada bangsa ini. Hal ini penting agar bangsa ini bisa bergerak melaju ke depan, dan tidak menyandera bangsa ini untuk selalu menoleh ke belakang.***
                                        
Stanley Adi Prasetyo adalah  Ketua Komisi Hukum Dewan Pers