Strategi Memajukan TVRI

Strategi Memajukan TVRI
07 September 2012 | Administrator

KENAPA lembaga penyiaran swasta (LPS), khususnya 10 televisi komersial Jakarta, menjadi pilihan sebagian besar masyarakat Indonesia? Kenapa bukan lembaga penyiaran publik (LPP) TVRI? Padahal, lewat UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, DPR dan pemerintah telah mendesain LPP TVRI-lah yang menjadi pilihan utama pemirsa televisi, dan LPS/komersial sebagai pilihan kedua. Keberpihakan negara kepada LPP, baik TVRI maupun RRI, jelas diamanatkan oleh Pasal 31 UU Penyiaran. Ayat (2) menyebut: “Lembaga penyiaran publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.” Ayat (3): “Lembaga penyiaran swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.”   

Undang-Undang Penyiaran tersebut sepertinya memberi perintah, TVRI dipersilakan menjangkau seluruh wilayah Indonesia, tapi jangkauan wilayah LPS komersial dibatasi. Analisis terhadap rumusan Pasal 31 tersebut menunjukkan sebenarnya DPR dan pemerintah telah bersikap visioner bahwa bangun penyelenggaraan penyiaran nasional mengarah bukan ke model Amerika Serikat, melainkan ke model Eropa Barat. Dalam tulisannya (Koran Tempo, 23 April 2012), Amir Effendi Siregar, Ketua SPS Pusat, Pemimpin Umum Majalah Warta Ekonomi dan dosen komunikasi Universitas Islam Indonesia, mengemukakan, di Amerika Serikat televisi komersiallah yang mendominasi, sementara program dan isi public broadcasting service (PBS) banyak yang bersifat pendidikan dan menjadi alternatif televisi komersial. Di negara demokrasi Eropa Barat, justru yang dominan adalah lembaga penyiaran publik.

TVRI tertinggal

Kenapa 10 televisi komersial Jakarta semakin maju pesat, dan kenapa TVRI tertinggal? LPS taat asas atas keberadaannya, yakni membidik masyarakat utamanya yang telah berkategori pasar. Pasar itu mencakup masyarakat menengah ke atas--jumlahnya sekitar 32 persen dari 230 juta penduduk--yang berkemampuan sebagai pembeli barang dan jasa. Pasar juga mencakup pengiklan. Supaya barang dan jasa yang tersedia dibeli oleh pembelanja potensial, pengiklan menyiapkan belanja iklan sekitar Rp 74 triliun (Media Scene 2010/2011).

Untuk memenangkan pasar tersebut, 10 televisi komersial Jakarta, dari kurang-lebih 400 televisi komersial, tampil profesional. Anggaran belanja triliunan rupiah disediakan. SDM yang kompeten direkrut dan digaji besar. Peralatan yang paling modern dioperasikan. Dibantu oleh hasil survei, LPS tersebut memasok aneka ragam program untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pasar yang disasar. Tidak mengherankan, dari kue iklan sebesar Rp 74 triliun, 61,5 persen adalah pangsa pasar LPS. Dan 98 persen dari jumlah itu diraih oleh 10 televisi komersial Jakarta.

Siapa penanggung jawab kegagalan LPP TVRI? Jawabnya: DPR, pemerintah, Dewan Pengawas, dan Dewan Direksi. DPR dan pemerintah penanggung jawab pertama, karena mereka gagal menangkap pesan yang disampaikan oleh Pasal 31 UU Penyiaran. Bahwasanya, keberadaan TVRI adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sebagian besar rakyat dari Sabang ke Merauke. Merekalah yang disebut publik, utamanya warga yang paling membutuhkan pencerahan dan pencerdasan. Bagaimana sacred mission TVRI itu mungkin terwujud, jika DPR dan pemerintah yang memiliki otoritas penentu anggaran hanya mengalokasikan anggaran jauh dari yang dibutuhkan TVRI? Beberapa tahun lalu, ketika anggaran belanja tiga market leaders televisi komersial masing-masing di atas sekitar Rp 1 triliun, TVRI hanya diberi sekitar Rp 400 miliar per tahun. Ketika pada 2011 dan 2012 anggaran market leader televisi komersial sebesar kurang-lebih Rp 2 triliun per tahun, anggaran belanja TVRI hanya Rp 650-850 miliar. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, sangat muskil bagi TVRI memasok aneka ragam program yang atraktif bagi publik di seluruh wilayah Nusantara.

DPR memilih Dewan Pengawas. Dewan Pengawas memilih Dewan Direksi TVRI. Laku paradoksnya, selama 10 tahun ini Dewan Pengawas dan Dewan Direksi TVRI yang terpilih tidak pernah tertantang dan diberi target untuk memberdayakan TVRI menjadi pilihan sebagian besar rakyat. Informasi yang terungkap, Dewan Pengawas dan Dewan Direksi tidak jarang dipusingkan oleh tekanan berbagai fraksi di DPR.

Dewan Pengawas dan Dewan Direksi selama ini hanya berkinerja sekadar sebagai pegawai yang tunduk kepada kehendak DPR dan pemerintah. Mereka melakukan pembiaran dan tidak pernah risau TVRI semakin ditinggalkan oleh pemirsanya. Pada Maret 2012, terdengar tokoh reformasi dan pemilik integritas Parni Hadi mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Direksi TVRI. Di kalangan pencinta LPP TVRI, muncul harapan. Jika terpilih menjadi direktur utama, dia pasti akan berjuang untuk membawa LPP TVRI sesuai dengan yang diinginkan Pasal 31 UU Penyiaran. Namun menjadi anggota Dewan Direksi saja dia ditolak.

Memajukan TVRI

Apakah masih mungkin, penyelenggaraan penyiaran nasional dibangun ke arah model Eropa Barat: LPP TVRI yang dominan, dan LPS menjadi pilihan kedua? Untuk semakin memajukan bangsanya yang sudah cerdas, negara Inggris, Jerman, Korea Selatan, Jepang, Australia mendukung LPP-nya menjadi pilihan pertama warganya. Paradoksnya, selama 10 tahun ini DPR dan pemerintah membiarkan TVRI semakin tertinggal. Karena tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah konstitusi, semestinya DPR, pemerintah, Dewan Pengawas, dan Dewan Direksi LPP TVRI memiliki kesatuan tekad membangun TVRI menjadi kebutuhan dan keinginan sebagian besar warga.

Untuk itu, di masa mendatang, DPR, pemerintah, dan pimpinan TVRI tidak salah mengikuti strategi industri penyiaran nasional, yakni menyediakan anggaran yang cukup, merekrut kru yang kompeten, dan memilih pimpinan TVRI yang paham konsep LPP serta mampu mengakselerasi kemajuan TVRI, dan taat asas terhadap arah dan tujuan keberadaan LPP tersebut.

Apakah DPR dan pemerintah serius ingin memajukan LPP TVRI? Jika ya, anggaran TV publik tidak lagi lebih kecil dibanding anggaran belanja market leader televisi komersial, yakni sekitar Rp 2 triliun. DPR dan pemerintah dapat memilih salah satu dari tiga sumber pembiayaan berikut. Jerman dan Korea Selatan membebankan sumber pembiayaan LPP-nya dari iuran pemilik pesawat TV dan radio, Australia dari APBN, dan Thailand dari sin tax, diambil dari cukai rokok dan pajak minuman keras.

Untuk merekrut SDM yang kompeten, patut dipertimbangkan agar 6.000 dari 7.000 kru TVRI dialihtugaskan keluar dari TVRI, dan kekurangannya kurang-lebih 1.000 awak baru direkrut dari pasar kerja berlandaskan standar kompetensi. LPP TVRI cukup dengan 2.000 awak dengan penggajian tidak kalah dari market leader TV komersial.

Fit and proper test untuk memilih pimpinan TVRI dilakukan oleh tim seleksi profesional yang paham konsep LPP, independen, dan memiliki integritas. Hasilnya di-endorse oleh DPR, kecuali bagi calon yang bercacat hukum sesuai dengan temuan DPR. Dengan bantuan konsultansi lembaga berpengalaman, misalnya Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM), LPP TVRI mendatang dapat merumuskan lebih tepat program-program yang berorientasi kebutuhan dan keinginan publik.

Dari uraian di atas, tersimpul strategi memajukan LPP TVRI dengan mengintegrasikan, pertama, tujuan (aims) adalah TVRI menjadi pilihan pertama sebagian besar masyarakat. Kedua, tersedianya dana yang cukup, peralatan yang diperlukan, awak yang kompeten, dan pimpinan yang paham konsep LPP serta efektif (means). Ketiga, memasok konten siaran bukan untuk melayani selera DPR, pemerintah, dan pimpinan TVRI, melainkan menyajikan aneka ragam program yang berkelanjutan dan atraktif, yang memenuhi kebutuhan dan keinginan publik Indonesia (ways).


*) Sabam Leo Batubara, mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2012/05/03/576/Strategi-Memajukan-TVRI-