Mekanisme Penyelesaian Masalah Pemberitaan Pers

Mekanisme Penyelesaian Masalah Pemberitaan Pers
09 Februari 2007 | Administrator

Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2000-2003, 2003-2006
Sampai sekarang belum ada jalan keluar yang dapat menuntaskan penyelesaian masalah atau penanganan perkara akibat pemberitaan pers. Karena mekanisme yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UUPers) dalam menyelesaikan masalah akibat pemberitaan pers selain belum memuaskan, juga masih diperdebatkan. Di satu sisi kalangan pers menginginkan supaya kekeliruan dan atau kesalahan yang terjadi dalam pemberitaan pers diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai ketentuan UUPers. Tapi pada sisi lain aparat penegak hukum umumnya cenderung menerapkan pasal-pasal perdata dan pidana karena pengaturannya dalam UUPers tidak lengkap.

Mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers masih diperdebatkan karena� ada pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi menurut UUPers tidak mengikat. Mekanisme itu hanya mengikat pihak pers sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) UUPers yang mewajibkan pers melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sedangkan pihak di luar pers sama sekali tidak terikat untuk melaksanakannya. Sebab yang namanya �hak�, maka tergantung yang bersangkutan apakah akan mempergunakan haknya atau tidak. Demikian juga beberapa pertimbangan hukum majelis hakim mengatakan, bahwa pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi tidak menyebabkan hilangnya gugatan perdata dan tuntutan pidana.

Oleh karena itu tidak bisa dipaksakan supaya anggota masyarakat lebih dulu menempuh mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai UUPers sebelum menempuh proses hukum apabila terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam pemberitaan pers. Lagi pula kalangan masyarakat sering mengeluh mengingat pelaksanaan Hak Jawab kurang memuaskan. Di samping itu, juga tidak efektif karena penempatan Hak Jawab sering kurang proporsional dan terlambat memuatnya. Lagi pula seperti dikeluhkan Letjen TNI Djadja Suparman ada kecenderungan pers menerapkan cara-cara pemberitaan �pukul dulu urusan belakangan�. Artinya beritakan dulu apa� adanya, soal kemudian ada koreksi dan atau pelurusan berita, itu urusan nanti. Cara-cara inilah oleh berbagai pihak dikualifikasi sebagai character assassination atau pembunuhan karakter.

Memang harus diakui, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers� menjadi masalah karena kedua hak itu yang tadinya merupakan norma etik menjadi norma hukum. Sebelum kedua hak itu ditetapkan menjadi norma hukum, maka sebagai norma etik� dengan dilaksanakannya Hak Jawab dan Hak Koreksi, penyelesaian masalah telah dianggap selesai. Akan tetapi dengan ditetapkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai norma hukum dalam hukum positif, maka penyelesaian masalah menurut norma etik tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara hukum sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPers.

Bahkan sebenarnya dengan dimasukkannya Hak Jawab dan Hak Koreksi menjadi ketentuan hukum positif sangat memberatkan pers karena UUPers menetapkan apabila pers tidak melaksanakan Hak Jawab diancam pidana denda maksimal Rp. 500 juta. Padahal sesuai ketentuan kode etik, apabila Hak Jawab tidak dilaksanakan dikenakan sanksi moral, namun sanksi itu berubah menjadi pidana sekalipun berupa denda. Pembentuk UU sendiri dalam hal ini sebenarnya tidak adil, karena kalau Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers sebagaimana mestinya, tidak ada imbalan atau kompensasi dengan menyatakan tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan.

Dengan demikian, mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang diatur oleh UUPers tersebut menjadi kurang efektif. Sebab, tidak ada kewajiban kalangan masyarakat untuk menempuh mekanisme dimaksud. Di sini terasa sekali pembentuk UU bersikap mendua (ambivalen). Kalau pembentuk UU mau fair, maka� seharusnya tidak hanya pers yang wajib melayani Hak Jawab, tapi masyarakat juga wajib menempuh mekanisme Hak Jawab apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam pemberitaan pers.

Di samping berbagai kendala seperti dikemukakan di atas, mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers seperti diatur dalam UUPers� tersebut tidak mencapai sasaran. Tidak lain karena pembentuk UUPers sebenarnya tidak menghendaki UUPers sebagai lex specialis dalam konteks adagium hukum yang mengatakan lex specialis derogat legi generali. Bahkan sebenarnya pembentuk UUPers� justru mentolerir masuknya peraturan perundang-undangan lain dalam kaitan dengan perkara pers. Beberapa bukti untuk itu dapat disebut sebagai berikut.

  • Dalam Penjelasan Umum UUPers pada alinea terakhir ditegaskan, �untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya�. Dengan rumusan seperti itu jelas sekali bahwa pembentuk UUPers tidak berkehendak produknya bersifat mandiri. Dengan kata lain, pembentuk UU mengundang masuknya atau berlakunya peraturan perundang-undangan lain berkenaan dengan perkara pers.
  • Alinea terakhir Penjelasan Pasal 12 UUPers menyatakan, �sepanjang menyangkut pertanggung jawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku�. Itu berarti kalau ada tuntutan pidana, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan lain, seperti KUHPidana dan KUHAP, bukan UUPers. Kembali di sini terbukti bahwa pembentuk UUPers tidak menginginkan produk legislatif ini bersifat mandiri atau dijadikan sebagai lex specialis.
  • Penjelasan Pasal 8 UUPers menegaskan, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan Penjelasan Pasal 8 ini juga menunjukkan pengakuan pemberlakuan ketentuan lain.
  • Penjelasan Pasal 9 UUPers mengenai kesempatan bekerja termasuk mendirikan perusahaan pers, juga ditegaskan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  • Penjelasan Pasal 11 UUPers mengenai penambahan modal asing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Jelaslah bagi kita bahwa sejak semula pembentuk UUPers tidak menginginkan produk legislatif yang satu ini dikualifikasi sebagai lex specialis.

Idealnya UUPers merupakan lex specialis. Yaitu UUPers yang bersifat khusus meniadakan UU bersifat umum, seperti KUHPidana. Akan tetapi untuk menjadi lex specialis, mau tidak mau UUPers yang berlaku sekarang harus direvisi atau disempurnakan. Penulis sendiri termasuk orang yang sejak semula menghendaki supaya UUPers merupakan lex specialis. Ketika pada tahun 1979 dibentuk Tim Naskah Akademis Penyempurnaan UUPers (UU No. 11 Tahun 1966) oleh Menteri Kehakiman, Prof. Oemar Seno Adji, penuslis termasuk salah seorang anggota tim di samping� S.Tasrif (almarhum), Jakob Oetama dan diketuai oleh Kepala BPHN, Dr. JCT Simorangkir SH (almarhum) yang merekomendasikan menjadikan UUPers� sebagai lex specialis.

Untuk itu, semua jenis delik pers yang terdapat dalam KUHPidana dimasukkan ke dalam UUPers yang disempurnakan, tapi dengan modifikasi. Antara lain menetapkan pencemaran nama baik sebagai perkara perdata tidak lagi merupakan perkara pidana. Selain itu, paradigma pemenjaraan wartawan akibat kekeliruan dan atau kesalahan dalam pemberitaan yang dianut oleh KUHPidana buatan pemerintah kolonial Belanda diganti dengan pidana denda. Jadi tidak ada lagi kriminalisasi atau pemidanaan masuk penjara atas karya jurnalistik.
Dalam hubungan ini, kalangan pers yang menginginkan pemberlakuan UUPers berkaitan dengan penyelesaian perkara pers, tidak bisa disalahkan, bertolak dari pemahaman bahwa UUPers adalah UU bersifat khusus. Sebaliknya, anggota masyarakat dan aparat penegak hukum umumnya yang cenderung mempergunakan pasal-pasal KUHPidana dalam penyelesaian perkara pers, juga tidak bisa disalahkan, karena bertolak dari pemikiran bahwa UUPers bukan lex specialis atas KUHPidana.
Dikatakan demikian karena UUPers belum memenuhi syarat menjadi lex specialis. Menurut berbagai pemikiran yang dihimpun dan menurut ketentuan KUHPidana, maka paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya suatu UU dapat dikategorikan sebagai lex specialis.

  1. Untuk menjadi lex specialis, rezim hukumnya harus sama. Misalnya sama-sama rezim hukum pidada. Itu berarti rezim hukum perdata tidak mungkin menjadi lex specialis terhadap rezim hukum pidana. Sedangkan UUPers rezim hukumnya tidak jelas karena berisikan berbagai rezim hukum seperti perdata, pidana, hukum acara, HAKI, Cyber-law dan lain-lain. Karena itu UUPers� perlu disempurnakan supaya dapat dijadikan sebagai lex specialis terhadap KUHPidana.
  2. Harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh dua aturan yang berbeda (vide Pasal 63 KUHPidana). Jadi dikaitkan dengan UUPers harus ada satu perbuatan yang dilarang oleh UUPers, juga dilarang oleh KUHPidana. Sebagai contoh, larangan penghinaan yang diatur dalam KUHPidana juga harus diatur dalam UUPers. Tapi ternyata tindak pidana penghinaan hanya diatur oleh KUHPidana, tidak diatur oleh UUPers. Oleh karena itu, kalau ada pengaduan ke pihak kepolisian tentang penghinaan, mau tidak mau memakai Pasal 310 KUHPidana, karena tidak diatur dalam UUPers. Dari segi ini pun jelas sekali bahwa UUPers tidak memenuhi syarat untuk dijadikan lex specialis terhadap KUHPidana.
  3. Ancaman hukuman UU bersifat lex specialis jauh lebih berat dari UU bersifat umum. Contohnya, Pasal 339 dan Pasal 340 KUHPidana. Atau UU Anti Korupsi dan UU Anti-terorisme terhadap KUHPidana, ancaman hukuman UU bersifat khusus tersebut jauh lebih berat dari ancaman hukuman UU bersifat umum (KUHPidana). Sedangkan UUPers seperti diketahui ancaman hukumannya maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500 juta.

Lantas bagaimana jalan keluar atau perundang-undangan mana yang diterapkan dalam hal terjadi masalah akibat pemberitaan pers. Seperti dikemukakan di atas, idealnya adalah menerapkan UUPers sebagai lex specialis. Untuk itu, maka UUPers yang berlaku sekarang harus disempurnakan. Dan dalam penyempurnaan itu pun harus menjadi jelas menyangkut pertanggungjawaban pidana pers. Sebab menurut UUPers yang berlaku sekarang dikaitkan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana menurut KUHPidana terdapat perbedaan, sehingga terkesan terjadi dualisme.

Di samping itu, prinsip ultimum remidium dalam perkara pidana perlu diterapkan dalam penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers. Dengan prinsip ini, maka penerapan pasal-pasal pidana merupakan upaya terakhir. Itu berarti, kalau masih ada upaya hukum yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah, maka ketentuan itulah yang lebih dulu dipergunakan. Dengan demikian, seyogianya diupayakan dulu penyelesaian masalah� menurut UUPers, tidak langsung begitu saja mengancam pasal-pasal pidana, lebih-lebih berkenaan dengan masalah yang timbul akibat pemberitaan pers.*

(Tulisan ini merupakan makalah RH Siregar yang disampaikan dalam beberapa diskusi)