Revisi UU Pers dan Swa-regulasi

Revisi UU Pers dan Swa-regulasi
09 Juni 2007 | Administrator

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Untuk menjawab kegerahan komunitas pers terhadap "rumor" akan adanya revisi UU Pers, Depkominfo menawarkan proses revisi UU Pers dipimpin oleh Dewan Pers, pihak Depkominfo cukup sebagai wakil. Usulan itu mengemuka dalam pertemuan "coffee morning" antara Menteri Kominfo, Sofyan Djalil,dengan wakil-wakil organisasi wartawan--termasuk Dewan pers.

 

Melaui perbincangan dalam pertemuan itu, akhirnya terkonfirmasi, bahwa hasrat pemerintah untuk merevisi UU Pers --yang terus  didengung-dengungkan tiga tahun terakhir-- bukan sekadar usulan atau aspirasi kosong, tetapi sesuatu yang nyata. Pemerintah bahkan dikabarkan sudah menganggarkan beaya untuk revisi UU Pers itu.

 

Setidaknya, pemerintah telah membentuk tim kajian, dan melakukan sosialisasi ke beberapa daerah atas hasil kajian yang dilakukan oleh dua universitas negeri ternama. Anehnya sosialisasi tersebut terkesan dilakukan secara tertutup, artinya tidak melibatkan wartawan atau kelompok civil society.

Kekhawatiran komunitas pers terhadap agenda revisi UU Pers adalah, bahwa proses revisi itu berada di luar kemampuan kontrol masyarakat pers. Artinya proses revisi didominasi oleh pihak pemerintah (Depkominfo) dan politisi (anggota DPR).

Juga yang belum cukup jelas adalah niatan revisi itu sendiri. Dari pemberitaan pers, mengutip pernyataan Menkominfo, disebutkan salah satu alasan utama perlunya revisi adalah agar UU Pers bisa lebih efektif sebagai ketentuan hukum untuk mengatur pers. Antara lain, untuk mengatur mengenai perusahaan pers menyangkut permodalan, pengorganisasian, dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk membatasi munculnya media-media yang asal-asalan, dan menindak media nakal.

Alasan lain perlunya revisi adalah untuk "memberdayakan" Dewan Pers, dengan memperkuat otoritasnya. Melalui revisi UU Pers, Dewan Pers bisa menjadi lembaga yang mempunyai kekuatan semi legal (quasi-judicial). Bahkan Dewan Pers diupayakan memiliki kekuatan hukum untuk menindak pers, menerapkan sistem lisensi wartawan dan sebagainya.

Tujuh tahun terakhir, sejumlah pihak, khususnya pemerintah dan politisi, menyuarakan agar Dewan Pers  menindak wartawan dan pers-pers nakal serta melenyapkan  ekses-ekses kebebasan pers. Tentu saja keinginan itu tidak bisa dilaksanakan Dewan Pers, yang  mandatnya hanya berurusan dengan penegakan etika pers, sementara banyak ekses-ekses kebebasan pers lebih berkait dengan soal penegakan hukum.

Dengan situasi seperti itu, bagi Dewan Pers, tawaran untuk memimpin proses revisi UU Pers adalah bagaikan "mendapatkan durian runtuh". Bagaimana tidak, jika skenario revisi itu sukses, maka Dewan Pers bakal menjadi lembaga yang memiliki otoritas untuk memaksakan keputusan dan kebijakannya--katakanlah sebagai polisi, jaksa, dan hakim bagai kalangan pers.

Jika memang demikian skenarionya, maka konsep swa-regulasi bakal kehilangan maknanya. Dewan Pers menjadi lembaga regulasi-tanpa-swa. Dewan Pers sepenuhnya menjadi regulator--sesuatu yang tidak lazim dalam sistem demokrasi. Namun, itu adalah skenario terburuk.

Dalam memimpin proses revisi UU Pers, nantinya, Dewan Pers berpeluang untuk meningkatkan efektivitas UU Pers dalam melindungi kebebasan pers--bukan UU Pers yang melegitimasi Dewan Pers menjadi pengatur pers.