Jurnalisme Desas-Desus

Jurnalisme Desas-Desus
12 Oktober 2015 | admin

   Negeri ini adalah negeri desas-desus, tempat di mana batas antara kebenaran dan ketidakbenaran begitu tipis. Banyak orang membicarakan tentang praktek korupsi yang merajalela di hampir semua lini, tapi hanya sedikit koruptor yang bisa ditemukan untuk kemudian dihukum. Karena itu  negeri ini  tetap dianugerahi kehormatan sebagai negeri terkorup nomor 1 di dunia. 
    Desas-desus melanda hampir semua departemen, pejabat, aparat dan para tokoh di negeri ini. Mulai dari masalah sembako hingga masalah kehidupan pribadi para pemimpin. Begitu populernya desas-desus, hingga hampir semua stasiun TV berlomba-lomba mengangkatnya sebagai salah satu tayangan infoteinmen favorit. 
    Acara berkategori hiburan yang sarat dengan desas-desus ini sama halnya dengan berita-berita politik lainnya di televisi tentang presiden belusukan, manuver pimpinan partai politik, ulah pejabat, tindakan sewenang-wenang oknum, praktek korupsi pejabat, hasil kerja kementerian yang mengundang tanda tanya, terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sebagainya. Semuanya berada pada batas antara ada dan tiada.

Menjual Desas-Desus
    Media di Indonesia selama ini hidup di tengah desas-desus dan menjadi besar serta meningkat oplah karenanya. Jangan heran bila kini begitu banyak media yang mengambil jalan pintas untuk meraih sukses dengan menggunakan teknik menjual desas-desus. Dengan model pemberitaan seperti ini media sebetulnya telah gagal menguak peristiwa yang bersifat skandal. Pemberitaan hanya lari dari satu isu ke isu lainnya. Jurnalisme investigasi tak pernah bisa dipraktekan di negeri ini. Malah ada tuduhan bahwa media adalah bagian dari pengidap amnesia bangsa ini yang kerap dengan segera melupakan peristiwa yang telah berlalu. 
    Coba lihat berawal dari isu krisis kepemimpinan, berganti menjadi isu mahalnya harga daging sapi, mahalnya harga daging ayam, mahalnya harga tempe, dan berputar ke merosotnya nilai rupiah.  Sementara desas-desus beredar di kalangan rakyat yang merasa was-was, Gubernur Bank Indonesia dan Presiden Jokowi menyatakan tak risau dengan keadaan yang ada. Banyak orang bertanya-tanya, rakyat dilanda desas-desus atau pimpinan di negara ini tengah melempar sebuah desas-desus.
    Barangkali ini yang membuat berbagai peristiwa penting dalam sejarah negeri ini masih bersisa sebagai sebuah misteri. Mulai kematian Tan Malaka, peristiwa G30S, Supersemar, kematian Bung Karno,  penyanderaan mahasiswa Trisakti di Puncak Jaya, peristiwa Tanjung Priok, penculikan para aktivis, penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Semanggi I dan II, kerusuhan di Timor Timur, kematian Marsinah serta Udin, penembakan misterius di tahun 1980-an, dan lain-lain. 
    Pemerintah dan intelijen termasuk yang paling mempercayai dan mengantisipasi desas-desus. Penelusuran ihwal desas-desus dipercaya sebagai bagian dari early warning systems pemerintahan. Dulu Kabakin Sutopo Juwono (alm) pernah menyatakan bahwa tugas intelijen itu antara lain adalah melemparkan isu dan kemudian menelusurinya sedemikian rupa sehingga masyarakat percaya bahwa isu itu memang ada.
    Pada 1971 ada desas-desus yang menggegerkan. Seorang perempuan asal Aceh, bernama Cut Zahara Fonna, yang tengah hamil 6 bulan mengaku mengandung seorang bayi ajaib. Bila orang menempelkan telinganya ke perut sang Nyonya Zahara orang akan mendengar si bayi bisa mengumandangkan sholat dan ayat-ayat Al Quran. Sejumlah pejabat negara berbondong-bondong menengok Cut Zahara Fonna yang dirawat di ruang VIP RS Cipto Mangunkusumo. Tak kurang dari Wakil Presiden Adam Malik dan Ibu Tien Soeharto menyatakan kekaguman mereka. Bahkan Adam Malik menyatakan, “Boleh jadi telah ada 7 keajaiban dunia. Namun keajaiban dunia yang ke-8 akan lahir di Indonesia, melalui perut Nyonya Cut Zahara Fonna.” 
    Apa yang terjadi? Rupanya kasus ini tak lain adalah sebuah penipuan biasa, dimana Nyonya Cut Zahara memasukkan tape recorder kecil --  yang masih merupakan barang langka ketika itu --  dalam belitan stagen di perutnya. Tak kurang wartawan kawakan seperti Mochtar Lubis mengritik hilangnya daya nalar dan tenggelamnya para pejabat Indonesia ke dalam tahyul. Pemberitaan media atas skandal memalukan ini berhenti saat Presiden Soeharto mengimbau agar pers tak lagi memberitakan hal memalukan yang melibatkan sang istri.
      Begitu kuatnya desas-desus hingga kadang orang tak lagi bisa membedakan mana fakta (realitas) dan mana yang pernyataan (opini). Contoh yng paling gres adalah berita di media massa mengenai peristiwa di Tolikara yang miskin fakta.

Produksi Desas-Desus
     Pada dasarnya, memang banyak orang saat ini tak paham dengan pengertian desas-desus sesungguhnya. Padahal desas-desus terus terjadi dan diproduksi banyak kalangan -- terutama politisi -- di negeri ini setiap hari. Desas-desus politik sengaja diciptakan untuk menyukseskan program politik kelompok sendiri dan menjatuhkan lawan politik. Bisa juga sekadar memopulerkan tokhoh atau kelompok tertentu. Bukan tak mungkin, idiom dan olokan yang bernada negatif kadang justru mendongkrak populatitas.
     Di negeri di mana tak ada orang yang ditangkap (yang ada cuma diamankan), harga sembako dan BBM, listrik, telepon  tak pernah dinaikkan (yang ada hanya disesuaikan, istilah baru: rebalancing), tak pernah ada penyimpangan aparat (karena yang menyimpang hanyalah para oknum), situasi keamanan selalu aman terkendali (tapi intelijen negara menengarai ada banyak kelompok pengacau keamanan). Desas-desus semaam ini  masih efektif sebagai sebuah cara komunikasi. Fakta dan imajinasi sengaja diletakkan di sebuah garis batas yang samar-samar dan orang diminta mereka-reka sendiri.
      Di negeri ini desas-desus berkembang masif lewat media sosial. Masyarakat butuh informasi, tapi yang mereka temukan adalah sebuah hiper-realitas. Media maistream masih sibuk menafsirkan kewajibana verifikasi sebagai sekadar konfirmasi. Media yang seharusnya menyodorkan “news” ternyata lebih banyak menyajikan “views”. Jangan heran bila media saat ini juga lebih banyak memraktekkan jurnalisme desas-desus. Hanya ada beberapa media, dalam hitungan jari, yang berani bicara jujur apa adanya.***
  
Stanley Adi Prasetyo 
Ketua Komisi Hukum;
 Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers