Kebebasan Pers Terancam

Kebebasan Pers Terancam
16 September 2009 | Administrator

Oleh Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers
Tahun 2008 dapat disebut sebagai tahun yang paling mengancam kebebasan pers. Pemerintah dan DPR menerbitkan lima UU, tiga di antaranya —UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Keterbukaan Informasi Publik—mengkriminalkan pers. Sementara UU Pemilu dan UU Pilpres dapat memberedel pers.

 

Tahun 2009, menjelang masa bakti DPR 2004-2009 berakhir, pemerintah dan DPR menyiapkan RUU Rahasia Negara (RUU RN), yang lebih represif mengancam pers daripada peraturan dan perundang-undangan kolonial Belanda dan tentara pendudukan Jepang yang terkait pers.

 

Berdasar Pasal 49 Ayat (1), korporasi (termasuk perusahaan pers) yang melanggar rahasia negara dipidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman Ayat (2), perusahaan pers pelanggar ketentuan itu dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Pasal 44 Ayat (1), pelanggar ketentuan rahasia negara—termasuk pers—dapat dipidana penjara tujuh tahun-20 tahun. Ketentuan paling singkat tujuh tahun berintensi agar wartawan pelanggar dapat di-”Prita”-kan (Prita Mulyasari, korban pertama UU ITE), langsung dipenjarakan tanpa putusan majelis hakim.

Berdasarkan Pasal 11 dan 12, Presiden dapat mendelegasikan penetapan rahasia negara kepada pimpinan Lembaga Negara. Ketentuan berikut terkait standar dan prosedur perlindungan dan pengelolaan rahasia negara diatur Peraturan Menteri/Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen.

Mengancam pers

Penentuan rahasia negara menjadi pasal karet dan mengulang pengalaman pada era Orde Baru. UU Pokok Pers (No 11/1966 junto No 21/1982) melarang pemberedelan pers. UU itu memberi otoritas kepada Menteri Penerangan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Maka, berdasarkan Peraturan Menteri No 1/1984, Menpen berwenang mencabut surat izin usaha penerbitan pers.

Dalam pertemuan masyarakat pers dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU RN, di Dewan Pers (13/8/2009), Dewan Pers menilai RUU RN tak berparadigma demokrasi, tak konstitusional, dan mengancam kebebasan pers.

RUU RN dinilai tidak demokratis karena desainnya menempatkan penguasa sebagai yang berdaulat dalam pengaturan rahasia negara. Di negara demokratis, pengaturan rahasia negara berprinsip maximum access limited exemption. Sebagian besar informasi dapat diakses publik, sebagian kecil dikecualikan sebagai rahasia negara. Sementara RUU RN bermuatan limited access maximum exemption.

RUU RN tidak memedomani Pasal 28F UUD 1945 bahwa rakyat mempunyai hak konstitusional untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

RUU RN bertentangan dengan kebebasan pers (UU No 40/1999 tentang Pers). Sesuai UU Pers, pertama, perusahaan pers tidak boleh diberedel dan dihukum sebagai korporasi terlarang. Yang memberedel dan menghukum pers sebagai korporasi terlarang dapat dipidana penjara paling lama dua tahun sesuai Pasal 18 Ayat (1).

Kedua, kesalahan pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik untuk kepentingan umum tidak dikriminalkan. Kesalahan pers akibat pemberitaan pers diselesaikan dengan hak jawab. Jika pengadu tidak puas atas putusan Dewan Pers dapat menempuh jalur hukum. Ancamannya, pers teradu dapat dipidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Berdasar konsep kebebasan pers yang dianut UU Pers, kriminalisasi pers dan pidana denda dengan jumlah besar akan melumpuhkan fungsi kontrol sosial pers.

UU Pers memberi perintah kepada pers, pertama, memperjuangkan keadilan dan kebenaran; kedua, melakukan fungsi kontrol sosial; ketiga, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang terkait kepentingan umum; keempat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Pelaksanaan amanat itu adalah bagian kontribusi pers dalam membantu pelaksanaan pemerintah yang bersih dan baik serta memerangi korupsi.

Masalahnya, bagaimana pers dapat melaksanakan amanat itu jika RUU RN justru (1) menerapkan rezim ketertutupan, (2) mengancam pers dengan penjara dan denda yang potensial membangkrutkan.

Menolak RUU Rahasia Negara

Ketika anggota Masyarakat Pers Indonesia —terdiri Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan SET, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Institut Pengembangan Media Lokal (IPML), serta Forum Pemantau Informasi Publik— bertemu Komisi I DPR (8/9/ 2009), bahan RUU RN hasil pembahasan terkini belum mengakomodasi tuntutan dan masukan masyarakat pers yang telah disampaikan kepada Menhan sebulan sebelumnya. Kepada Komisi I DPR, masyarakat pers menyampaikan, Indonesia memerlukan UU RN, tetapi menolak RUU RN versi Departemen Pertahanan karena masih berparadigma otoriter, tidak konstitusional, dan antikebebasan pers.

Saat penulis bertemu Agus Brotosusilo, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik (9/9/2009), dinyatakan sejumlah tuntutan Dewan Pers dipertimbangkan untuk diakomodasi. Ancaman pemberedelan dan pernyataan perusahaan pers sebagai korporasi terlarang dihapus. Ancaman pidana penjara turun, paling singkat empat tahun, denda menjadi maksimal Rp 5 miliar. Atas perubahan itu, dosis sianida RUU RN dikurangi, tetapi masih mengancam kebebasan pers.

Kesimpulan

Dari desain RUU RN itu dapat disimpulkan, pertama, harapan rakyat agar pers dapat efektif membantu memerangi korupsi dan terselenggaranya pemerintahan bersih dikhawatirkan kian sulit terwujud. Ancaman penjara dan denda besar akan melumpuhkan fungsi kontrol pers dan mematikan jurnalisme investigasi.

Kedua, RUU RN yang berorientasi rezim ketertutupan akan mempersempit bahkan berpotensi menutup akses publik dan pers atas sumber informasi yang bermasalah, yang diduga korup.

Ketiga, argumentasi bahwa RUU RN melindungi kepentingan nasional patut diwaspadai karena berintensi melindungi penyelenggara negara yang berorientasi kepentingan kelompok dan individu.*

 

Sumber: harian Kompas, Senin 14 September 2009