Membangun Informasi Publik yang Berkualitas Sejalan dengan Semangat Reformasi

Membangun Informasi Publik yang Berkualitas Sejalan dengan Semangat Reformasi
30 Desember 2009 | Administrator

Pokok Pikiran Dewan Pers dalam Rapat Dengar Pendapat
Dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat
Jakarta, 25 November 2009

 

I. Pendahuluan
Mengukur kualitas informasi publik, bermuara pada interelasi antara media massa dengan masyarakat. Media massa, khususnya media pers yang dikelola wartawan, adalah sarana penyebaran informasi publik dan menjadi penentu kualitas informasi. Pers dan wartawan sering dibebani berbagai peran dan tanggungjawab  sosial—sebagaimana instansi pemerintah, partai politik, atau  lembaga pendidikan.  Sebagai sebuah idealisme, pers adalah karya intelektual, hasil kerja wartawan menjadi sarana aktualisasi, komunikasi, dan ekspresi publik.

 

Namun selain memiliki tanggung jawab sosial, pers juga merupakan entitas bisnis. Dan sebagai produk indutri, pers tunduk pada hukum pasar. Pers harus menarik untuk dikonsumsi dan sesuai selera pasar agar dapat bertahan hidup. Di tengah situasi industri media massa yang telah bertransformasi saat ini, pers tidak lagi hanya bisa bertumpu sebagai "produk intelektual" melainkan juga sebagai produk informasi yang juga perlu mempertahankan pengemasan dan cara penyampaian, selain substansi atau kedalaman isi informasi. Itu sebabnya saat ini semakin populer istilah infotainment (informasi hiburan), infotorial (informasi iklan), info-pesanan, dan sebagainya.

Dalam sejarah dunia media massa selalu ada yang berorientasi pada kualitas informasi dan ada pula yang berorientasi kuantitas (laku di pasar). Selalu ada pers atau wartawan "bermutu" atau yang "tidak peduli mutu". Sebagai entitas penyalur informasi dan pendapat, kebebasan media massa dijamin oleh konstitusi. Tidak peduli media massa itu "bermutu rendah" atau "bermutu tinggi", eksistensinya dilindungi sejauh tidak melanggar hukum dan publik menerima.

II. Dewan Pers dan Kualitas Informasi
Dewan Pers memikul sebagian beban untuk meningkatkan kualitas informasi secara umum, dan dalam hal ini meningkatkan profesionalisme pers, sesuai diamanatkan UU Pers 1999. Beban ini bersama-sama dipikul oleh perusahaan pers, organisasi wartawan, dan organisasi pemilik perusahaan atau penerbit pers. Negara (Pemerintah) juga menanggung sebagian beban untuk menerapkan sistem pendidikan yang memadai agar dapat menghasilkan sumber daya manusia (antara lain calon-calon wartawan) yang berkualitas.

Informasi berkualitas hanya dapat diproduksi oleh media massa dan wartawan berkualitas. Dan Dewan Pers sejak 21 tahun yang lampau telah menggagas dan mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik, yaitu Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), yang upayanya untuk meningkatkan kualitas media dan wartawan, sayangnya, tidak pernah memperoleh bantuan finansial dari negara. Meskipun sumbangan LPDS cukup signifikan dalam melatih sedikitnya 2.000 wartawan dan calon wartawan.

----------------------------------

Pengaduan dan Penyelesaian Perkara Sengketa Pemberitaan

? Dewan Pers semakin dipercaya sebagai lembaga mediasi dan penyelesaian sengketa pemberitaan serta penaatan Kode Etik Jurnalistik.
? Jumlah yang mengadu, baik langsung maupun tidak langsung, semakin banyak. Tahun 2007: 319 kasus. Tahun 2008: 424 kasus. Sampai Juni 2009: 269 kasus. Total yang ditangani Dewan Pers sejak berdiri tahun 2000 sekitar 2000 kasus.
? Tingkat penyelesaian kasus mencapai 97\\%.

---------------------------------

III. Kompetensi Wartawan
Kondisi ekonomi masih belum memungkinkan untuk menempatkan wartawan sebagai satu profesi yang terhormat. Menjadi--atau mengaku sebagai--wartawan merupakan sarana termudah untuk mendapatkan lapangan kerja. Siapa saja kini bisa menjadi "wartawan" dengan cepat dan gampang, siapa saja dapat mendirikan perusahaan pers dan memproduksi media (cetak). Dengan kondisi seperti ini, penggalakan kompetensi wartawan menjadi prioritas program Dewan Pers periode 2006-2009 dan perlu terus dilanjutkan oleh Dewan Pers periode berikutnya.

Kompetensi wartawan yang digagas Dewan Pers merupakan upaya yang bersifat suka rela untuk ditetapkan oleh perusahaan pers serta organisasi wartawan.  Selama ini, secara tidak langsung beberapa organisasi wartawan dan perusahaan pers telah menerapkan kompetensi wartawan, walaupun tidak mengeluarkan semacam sertifikasi untuk mendukung atau mem-formal-kan. PWI, misalnya, melakukan ujian setiap kali para anggotanya naik jenjang. Sedangkan AJI menetapkan  etika dalam perilaku para anggotanya sebagai salah satu persyaratan (umpamanya, tidak boleh menerima "uang amplop").

Selain itu, perusahaan pers berkualitas biasanya menyelenggarakan in-house training atau mengirim wartawannya ke pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan lembaga pelatihan. Pengembangan wartawan berbasis kompetensi biasanya telah dilakukan oleh media mapan, Dewan Pers berharap, di masa depan, kompetensi wartawan yang dirumuskan Dewan Pers bersama komunitas pers Indonesia dapat berfungsi semacam ISO 9000 untuk industri media massa. Standar tersebut diberikan kepada media yang secara manajemen dan produk telah memenuhi standar kompetensi (compliance). Perusahaan pers dan asosiasi wartawan dapat memanfaatkan standar kompetensi ini untuk:
- Merekrut wartawan.
- Pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pers.
- Pengembangan karir dan penerapan  sistem penggajian.
- Penyusunan kurikulum pelatihan jurnalistik.
- Penyusunan kurikulum bagi pendidikan jurnalisme di perguruan tinggi.
- Wacana upaya kampanye membangun pers yang bermartabat, profesional dan menaati kode etik.

Penyusun dan penerapan kompetensi wartawan dipastikan dapat memperkaya wacana untuk memperbaiki kinerja pers, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas informasi publik. Memang memerlukan upaya berjangka panjang, dan kesabaran, untuk menanggulangi rendahnya profesionalisme wartawan di sebagian media pers. Karena hal ini berkaitan dengan masalah pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung pengembangan sumber daya manusia yang profesional.

--------------------------------------

Saksi/Keterangan Ahli Delik Pers

? Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 13 Tahun 2008 yang meminta pengadilan dalam perkara delik pers untuk meminta keterangan ahli dari Dewan Pers.
? Permintaan pemberian keterangan ahli dari Dewan Pers terus meningkat. Tahun 2007: 7 kasus. Tahun 2008: 18 kasus. Tahun 2009: 30 kasus. Diprediksi tahun 2010 lebih dari 50 kasus.
? Terbitnya SEMA ini membantu pelaksanaan kemerdekaan pers, terutama ketika pers dilaporkan ke jalur hukum karena melakukan pencemaran nama baik.

------------------------------------

IV. Penutup
Memang masih terdapat pers yang tidak profesional, atau wartawan bodrex di Indonesia. Namun, dalam konteks kualitas informasi publik, kita musti melihat pada sumbangan media massa yang profesional, baik di Jakarta maupun di sejumlah ibu kota provinsi. Karena media profesional inilah yang memiliki khalayak pembaca, pendengar, atau penonton yang luas. Dalam hal media pers cetak, media pers profesional pada umumnya memiliki jumlah oplah atau tiras yang tinggi.

Pers Indonesia dari kelompok profesional pada umumnya telah menerapkan prinsip Menyebarkan informasi publik yang berkualitas, dan dikonsumsi oleh banyak anggota masyarakat, yang memiliki potensi dalam membentuk pendapat publik. Pada mereka lah  informasi publik yang berkualitas dan bermanfaat dapat diharapkan muncul untuk membangun masyarakat.

Jakarta, 25 November 2009
Dewan Pers

Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA
Ketua