Ada berapa saja jenjang kompetensi wartawan?

Jenjang kompetensi wartawan terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
a. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda.
b. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya.
c. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama.

Apakah karena setiap orang berhak menjadi wartawan berarti pula setiap orang dapat otomatis menjadi wartawan?

Walaupun pada prinsipnya semua orang berhak menjadi wartawan, tidaklah berarti pula semua orang otomatis dapat melakukan profesi wartawan. Dalam hal ini perlu diingat profesi wartawan adalah:
(1) Profesi yang honorable (terhormat);
(2) Mengabdi kepada kepentingan umum ;
(3) Tunduk kepada hukum di bidang profesinya.

Oleh sebab itu hanya orang yang dapat memenuhi ketiga hal tersebut saja dapat menjalankan profesi sebagai wartawan.
Pertama, untuk menjalankan profesi wartawan yang honorable (terhormat) seseorang secara teoritis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mencapai standar kompetensi yang sangat tinggi di bidangnya;
2. Menyangkut kepentingan publik;
3. Mengandung trust atau kepercayaan tinggi dalam relasi pekerja;
4. Tingkat independensinya tinggi;
5. Penghasilan berdasarkan kinerja;
6. Memiliki Kode Etik. 

Kedua, profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan umum, memerlukan keterampilan teknis, pengetahuan umum dan kesadaran filosofis mengenai pers. Tanpa mengetahui, memahami dan menghayati hal-hal tersebut seorang akan sulit menjalankan profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan publik.

Ketiga, pers memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap masyarakat. Jika pers diselenggarakan dengan baik, maka pers akan memberikan pula pengaruh yang baik. Sebaliknya apabila pers dijalankan dengan buruk akan pula memberikan dampak buruk. Produk pers tentu saja berkaitan dengan bagaimana pers mencari, mengolah dan menyiarkan berita. Sedangkan proses mencari, mengolah dan menyiarkan berita tidak dapat dihindari bersinggungan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Dengan kata lain, pada akhirnya pers juga sangat berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Maka seorang wartawan setidaknya harus patuh dan taat kepada prinsip-prinsip hukum dan keadilan, terutama yang berhubungan dengan kemerdekaan berekspresi, termasuk didalamnya kemerdekaan.

Bagaimana sejarah kaitan antara pers ”idealisme” dan pers ”non idealisme” di Indonesia?

Jika diurut, munculnya faham pers idealisme di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Indonesia. Sebagai bagian dari proses perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan, pers juga menghadapi persoalan yang sama dihadapi oleh banyak pihak, kala itu tunduk kepada pemerintahan penjajahan Belanda sepenuhnya, ataukah ikut menebarkan embrio benih-benih kemerdekaan. Sikap pertama sering disebut sikap koorporatif sedangkan sikap kedua sering dinamakan faham nonkoorporatif. Pada perkembangannya kemudian faham ini terbelah dua, mereka yang berpihak kepada Belanda disebut kubu tidak idealisme, dan yang mencoba melawan Belanda disebut kubu idealisme. Dari sinilah perkembangan istilah non idealisme dan idealisme dalam pers.

Dalam perjalanannya kemudian, proses sejarah itu kemudian banyak disalahtafsirkan seakan-akan pers yang idealisme akan mengabaikan fungsi ekonomis dan sebaliknya pers yang mementingkan nilai ekonomis akan mengabaikan idealisme. Padahal sejarah pers Indonesia membuktikan, pers yang idealisme sekalipun sejak awal sudah juga memperhatikan aspek ekonomis. Misalnya pers yang termasuk katagori idealis sejak dahulu justru sudah memasang iklan di halaman depan atau cover! Ini membuktikan sejak awal benturan antara idealisme dan ekonomis dalam pers nasional bukan merupakan benturan utama.

Sejak tahun 80an sampai sekarang pers yang memiliki idealisme tinggi umumnya justru juga memiliki aspek ekonomis yang baik. Sebaliknya banyak pers yang ketika awalnya mengutamakan unsur ”komersial” justru bertumbangan.

Kenapa fungsi lembaga ekonomi diletakan dalam ayat terpisah dibanding fungsi-fungsi lainnya?

Penempatan pengaturan ayat tersebut bukannya tanpa maksud. Penempatan fungsi lembaga ekonomi setelah fungsi-fungsi lain dimaksudkan, bagaimanapun prioritas utama bagi pers adalah menjalankan fungsi informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Adapun fungsi ekonomi merupakan unsur penunjang terhadap fungsi-fungsi utama pers. Ini bermakna UU Pers menganut paham, dalam pers nasional yang diutamakan adalah fungsi-fungsi yang disebut pada ayat terlebih dahulu, yaitu fungsi pendidikan, informasi, hiburan dan kontrol sosial. Sedangkan fungsi ekonomi berada pada kedudukan penunjang. 

Apakah adanya fungsi pers sebagai lembaga ekonomi berarti telah melahirkan benturan atau pertentangan antara unsur ekonomis dan unsur idealisme?

Sama sekali tidak. Justru adanya ketentuan ini membuat antara fungsi ekonomi dan fungsi idealisme saling melengkapi. Pers yang idealis tidaklah berarti mengabaikan fungsi ekonomi. Begitu pula sebaliknya, pers yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik, tidaklah berarti otomatis tidak memiliki idealisme. Pers yang idealis juga membutuhkan fungsi ekonomi yang baik. Atau jika dibalik, pers yang memiliki fungsi ekonomi bagus juga tetap memerlukan idealisme tinggi. Fakta menunjukan, dalam seperempat tahun terakhir, sebagian besar perusahaan pers yang memiliki kemampuan ekonomis baik justru perusahaan pers yang memiliki idealisme tinggi.

Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) UU tentang Pers dijelaskan, ”Perusahaan pers yang dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.” Dari uraian ini, dimasukannya fungsi ekonomi dalam fungsi pers, diharapkan pembuat undang-undang agar dapat menciptakan kualitas pers yang baik. Bagaimanapun pembuat UU Pers menyadari, untuk memperoleh kualitas pers yang baik dalam era modern dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya operasional pers dan pemakaian peralatan membutuhkan dana yang signifikan. Untuk itu pers tidak mungkin lagi dipisahkan dengan fungsi ekonomi terutama dalam kecukupan biaya, efektifitas dan efisiensi. Walaupun bukan tidak mungkin sama sekali, tetapi dewasa ini pers yang mengabaikan fungsi ekonomis akan sangat sulit menjalankan fungsi-fungsi pers lainnya.

Dari penjelasan UU Pers juga diingatkan, adanya fungsi ekonomi ini agar perusahaan pers dapat memberikan kesejahteraan kepada para wartawan maupun karyawannya. Sudah menjadi rahasia umum, tidak sedikit perusahaan pers yang memberikan kesejahteraan kurang memadai kepada para wartawannya. Akibatnya, para wartawannya dalam menjalankan profesinya seringkali melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, melanggar Kode Etik Jurnalistik dan juga melanggar hukum seperti menerima suap atau melakukan pemerasan. Pembuat undangundang pers sejak awal sudah berpendapat, agar wartawan tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji, melanggar Kode Etik Jurnalistik dan hukum, perusahaan pers harus mampu memberikan kesejahteraan kepada para wartawannya.

Apa saja fungsi pers nasional??

Sebetulnya banyak sekali teori tentang fungsi pers, bahkan beberapa teori itu saling bertentangan. Oleh karena itu untuk mengetahui apa fungsi dari pers nasional yang terbaik adalah menelisik dari UU tentang Pers. Menurut pasal 3 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers nasional sebagai media massa mempunyai empat fungsi:
(a) Informasi;
(b) Pendidikan;
(c) Hiburan dan;
(d) Kontrol sosial. 
Sedangkan menurut pasal 3 ayal (2) UU Pers, selain keempat fungsi tersebut, pers nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Kenapa Undang-undang Pers tidak memberikan kemungkinan adanya peraturan pelaksana dari pemerintah seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri sebagaimana ada pada undang-undang lainnya??

Dibandingkan dengan undang-undang lain, Undang-undang Pers memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki undang- undang lainnya, yakni Undang-undang Pers menganut prinsip swaregulasi. Maksudnya segala peraturan yang menyangkut pelaksanaan dari Undang-undang Pers tidak dimuat oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat pers sendiri. Pembuatan peraturan pelaksanaan Undang-undang Pers oleh masyarakat pers sendiri inilah yang dinamakan prinsip swaregulasi. 

Swaregulasi dikaitkan dengan salah satu fungsi Dewan Pers. Menurut pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-undang Pers, salah satu fungsi dari Dewan Pers adalah ”memfasilitasi organisasiorganisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.” Berdasarkan ketentuan inilah jika Undang-undang Pers membutuhkan peraturan pelaksanaan untuk menjabarkannya, tidak dibuat oleh pemerintah tetapi oleh organisasi pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers. Sebagai contoh dalam pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya disebut, ”Pers wajib melayani hak jawab.” Bagaimana pelaksanaan hak jawab itu sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang Pers. Untuk memperjelas hal inilah kemudian Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers membahas dan membuat peraturan tentang hak jawab. Maka lahirlah Peraturan Dewan Pers No. 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab. Dalam peraturan ini dijabarkan secara rinci bagaimana pelaksanaan hak jawab yang dimaksud oleh Undang-undang Pers. 

Ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f inilah salah satu ”keutamaan” dari Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut ketentuan ini, Dewan Pers berfungsi”memfasilitasi organisasiorganisasi pers menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas kewartawanan.” Inilah yang dimaksud dengan ”keutamaan” atau salah satu ”mahkota” dari Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Dewan Pers untuk mengeluarkan peraturan di bidang pers yang sesuai dengan sifat hakekat pers. Hal ini merupakan pengakuan resmi yang sangat tegas terhadap prinsip mengatur diri sendiri untuk bidang pers. 

Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2004 badan-badan yang dibentuk oleh peraturan setingkat undang-undang dapat membuat peraturan di bidangnya. Dengan demikian, Peraturan Dewan Pers mempunyai dasar hukum yang sangat kuat. Sebagai peraturan yang dibuat berdasarkan turunan dari undang-undang, Peraturan Dewan Pers tidak saja mengikat masyarakat pers sendiri, tetapi juga semua pihak yang terkait dengan pers, termasuk yang bukan masyarakat pers.

Dilihat dari arti katanya, ”memfasilitasi” bermakna membuat segala sesuatu menjadi mudah. Arti ”mempermudah” disini bukan hanya menyediakan sarana dan prasarana yang memungkinkan organisasi pers menyusun peraturan di bidang pers, tetapi juga termasuk menyiapkan konsep, melaksanakan pendataan atau riset, menyediakan tenaga ahli atau pakar, mengorganisir proses pembuatannya dan seterusnya.

Pengalaman jejak sejarah bangsa Indonesia terbukti, pemerintah yang mana pun, jika diberi peluang, cenderung untuk memperlemah kemerdekaan pers dengan berbagai cara, termasuk jika perlu menabrak ketentuan undang-undang bermacam dalil. Contohnya menurut Undang-undang No. 11 Tahun 1966 pers tidak boleh dibredel dan tidak perlu izin dari pemerintah. Tetapi dalam praktek pemerintah memakai ”masa transisi” yang terdapat dalam pasal 20 Undang-undang No. 11 Tahun 1966 untuk tetap mengendalikan pers dengan izin. Dalam hal ini pemerintah ”menafsirkan” masa transisi sekitar 20 tahun! Begitu pula pada periode berikutnya, pemerintah tetap ”mengendalikan” pers melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya pemerintah waktu itu, SIUPP tidak ada kaitannya dengan isi tetapi dengan perusahaan pers. Nah, kalau perusahaan pers dinilai menyimpang oleh pemerintah, dengan serta merta pemerintah dapat membatalkan SIUPP yang sudah diberikan, tetapi pemerintah bersikeras tidak melakukan pembredelan!

Latar belakang seperti ini membuat para pembuat Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berkeyakinan, jika kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksana dari Undang-undang tentang Pers, apapun tingkatan dan bentuknya, akan tetap cenderung memanfaatkannya untuk membentengi diri dari pers sekaligus mengurangi kemerdekaan pers. Maka pilihannya pun jatuh kepada sikap tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah membuat peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tentang Pers. Sebaliknya agar Undangundang Pers tetap dapat operasional, kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaannya diserahkan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi pers membuatnya. Itu pun tidak dalam bentuk cek kosong melainkan harus melibatkan masyarakat pers. Inilah yang disebut self regulasi, yakni kewenangan untuk mengatur diri sendiri.

Asas-asas apa saja yang ada dalam Undang-undang tentang Pers??

Dalam Undang-undang Pers, asas diatur di bab II. Pengaturan asas itu disatukan dalam satu bab dengan fungsi, hak dan peranan. Dalam sistematika bab II ini tidak dibedakan mana yang asas, mana yang fungsi dan hak, sehingga sulit dibedakan mana bagian yang dimaksud dengan asas, fungsi atau hak menurut Undangundang Pers. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menurut ilmu hukum, dari jiwanya, dalam Undang-undang Pers mempunyai asas sebagai berikut:
I. Asas Demokrasi:
(a) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara;
(b) Pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;
(c) Terhadap pers nasional tidak boleh disensor;
(d) Terhadap pers nasional tidak boleh dikenakan pelarangan siaran;
(e) Terhadap pers nasional tidak boleh dibredel;
(f) Terhadap pers nasional tidak boleh dihambat dan dihalang-halangi dalam menjalankan tugasnya.

II. Asas Keadilan
(a) Pers wajib melayani hak jawab;
(b) Pers wajib melayani hak koreksi;
(c) Pers memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

III. Asas Supremasi Hukum
(a) Pers nasional menghormati asas praduga tidak bersalah;
(b) Wartawan mempunyai hak tolak;
(c) Pers wajib menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.

Apa saja perbedaan utama antara Undang-undang Pers lama (UU No. 21 Tahun 1982) dan Undang-undang Pers baru (UU No. 40 Tahun 1999)? 

Antara UU Pers Tahun 1999 No. 40 tentang Pers dengan UU Pers yang sebelumnya terletak pada paradigmanya. UU Pers No. 40 Tahun 1999 memiliki paradigma demokratis dengan segala implikasinya, sedangkan UU Pers sebelumnya memiliki paradigma otoriter dengan segala implikasinya pula. Di samping itu secara teknis juga terdapat beberapa perbedaan, antara lain seperti berikut:

UU No. 21 Tahun 1982 :
1. Pemerintah bertindak sebagai pembina pers nasional.
2. Dewan Pers cuma perpanjangan tangan dari pemerintah.
3. Pengertian pers hanya media cetak.
4. Pers cetak memerlukan izin dari pemerintah.
5. Pemerintah dapat membredel pers.
6. Diterapkan wadah tunggal organisasi pers.
7. Menerapkan pertanggungjawaban pidana sistem air terjun/ waterfall system.
8. Terdapat banyak peraturan pelaksana yang dapat dimanipulir oleh pemerintah.
9. Sama sekali tidak boleh modal asing.

UU No. 40 Tahun 1999
1.Pemerintah tidak ikut campur dalam masalah kemerdekaan pers.
2.Dewan Pers bersifat independent.
3.Pengertian pers meliputi pers cetak, elektronik dan segala macam saluran lainnya.
4.Pers cetak tidak memerlukan izin dari pihak manapun.
5.Pers tidak boleh dibredel. T
6.idak ada wadah tunggal organisasi Pers.
7.Menerapkan pertanggungjawaban pidana khusus dan pada umumnya.
8.Tidak terdapat kemungkinan adanya peraturan pelaksana, kecuali untuk pengangkatan anggota Dewan Pers dengan Keputusan Presiden.
9.Modal asing boleh masuk melalui pasar modal.

Dalam pertimbangan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers disebut, agar mendapat jaminan dan perlindungan hukum pers, ”bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak mananpun.” Apakah ini berarti

Di negara hukum seperti Indonesia, tidak boleh ada yang kebal hukum. Pers juga tidak imun terhadap hukum. UU Pers sendiri justru dengan tegas menyatakan pers berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Jelas sekali, pers harus menghormati supremasi hukum. Pers bukanlah lembaga super yang berada di atas hukum. Pers harus mengakui dan tunduk serta taat kepada hukum.

Adapun pengertian ”pers bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” berarti tidak boleh ada seorang atau satu lembaga pun yang dapat mengekang kemerdekaan pers yang profesional dan beretika. Dalam makna ini haruslah ditafsirkan, bahwa pers bebas memberitakan apapun, sesuai dengan keyakinannya, sepanjang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Tidak boleh ada yang dapat memaksa pers untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu yang pers yakini, sepanjang berdasarkan aturan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Pernyataan dalam UU Pers, bahwa ”bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” menegaskan dalam proses pers mencari, memperoleh, mengolah, menyimpan, memiliki dan menyebarkan atau menyiarkan informasi, pihak manapun di luar pers tidak boleh ikut campur, apalagi memaksa pers.

Lalu, apakah ini berarti pers juga tidak boleh ada campur tangan hukum sekalipun untuk pers dan dengan demikian pers dapat berbuat apa saja? Kalau memang demikian, apakah hal ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri? Konstruksi UU Pers yang menegaskan ”pers bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” haruslah dilihat sebagai sebuah hukum atau sebuah perintah dari perundang-undangan. Jadi, kalau pers memakai atau menaati ketentuan ini, tidaklah dapat dikatakan pers berada di atas hukum atau diluar hukum. Pemakaian aturan ini justru menunjukan pers diatur dan berdasarkan hukum. Dengan demikian, berarti pers sebenarnya sudah tunduk dan taat kepada hukum, yakni hukum yang berbunyi, ”pers bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.” Ketentuan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa pers tidak tunduk kepada hukum atau pers berada di atas hukum. Sebaliknya ”bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” harus ditafsirkan sebagai sebuah hukum itu sendiri. 

Adanya ketentuan ini berarti bahwa selama proses penciptaan karya jurnalistik berlangsung sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, tidak ada satu pun yang dapat turut campur dan memaksa kehendaknya kepada pers. Tetapi baik ketika melakukan proses pencarian bahan maupun begitu sebuah karya jurnalistik telah dilahirkan, dan disiarkan kepada publik, pers tetap harus tunduk dan taat kepada hukum dalam UU Pers lainnya. Dengan demikian, walaupun ada rumusan ”bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” sama sekali tidak berarti pers imun terhadap hukum dan berada di atas hukum. Rumusan ”bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun” merupakan penegasan kemerdekaan pers dijamin dan dilindungi oleh hukum, sekaligus juga penegasan bahwa pers sendiri juga harus tunduk dan taat kepada hukum.