Sistem Etika Dapat Mengurangi Beban Hukum

images

Sistem etika yang dijalankan dengan baik akan dapat mengurangi beban hukum. Sebab, dalam kehidupan yang semakin kompleks saat ini, jika ada prilaku menyimpang di masyarakat, penyelesaiannya tidak lagi hanya bisa mengandalkan sistem hukum. Karena itu lembaga-lambaga yang memiliki tugas menegakkan sistem etika bisa berbagi pengalaman tentang bagaimana etika dapat menjadi alternatif yang baik bagi penyelesaian persoalan sebelum masuk ke wilayah hukum.

Dewan Pers dan lembaga penegak etika lainnya yang dibentuk oleh beragam profesi sangat penting untuk bertemu guna bertukar pikiran, saling berlajar dan menunjang efektivitas penegakan etika. Persoalannya mengefektifkan sistem etika bukan permasalahan ringan. Dibutuhkan dukungan infrastruktur di setiap aspek. Sehingga rule of ethics bisa sejalan dengan role of law.

Dalam penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers, misalnya, Dewan Pers telah memiliki mekanisme “pengadilan etika”. Mekanisme ini harus ditempuh terlebih dulu sebelum persoalannya masuk ke wilayah hukum.

Demikian antara lain pemikiran yang berkembang dalam kunjungan resmi Mahkamah Konstitusi (MK) ke Dewan Pers, di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta, 15 September lalu. Dalam rombongan MK tampak Ketua dan anggota MK, Jimly Asshiddiqie dan H.A.S. Natabaya serta staf Mahkamah Konstitusi. Rombongan disambut Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA, dan RH Siregar serta beberapa anggota dan staf Dewan Pers. Pertemuan berlangsung sekitar dua jam dalam suasana diskusi yang akrab.

Pada pertemuan ini masing-masing lembaga menyampaikan fungsi dan perannya. Dari Dewan Pers, RH Siregar menjabarkan tujuh fungsi Dewan Pers. Menurutnya, berdasar fungsi-fungsi Dewan Pers tersebut, sejak awal Dewan Pers lebih menitikberatkan pada upaya-upaya edukatif. “Tidak dalam konteks fungsi penghakiman dan penghukuman”, katanya.

Mengomentari fungsi Dewan Pers yang salah satunya adalah mengawasi pelaksanaan kode etik, Jimly menyatakan apabila fungsi tersebut dapat dilaksanakan akan baik efeknya. Sebab menurutnya prilaku menyimpang tidak harus ditangani secara hukum.

Jimly menambahkan, masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan semua penyelesaian permasalahan melalui hukum. “Kalau ada yang bisa diselesaikan melalui sistem etika, why not. Kalau sistem etika berfungsi, sistem hukum juga tidak terlalu berat bebannya. Ini akan memberi jaminan lebih baik bagi kehidupan kolektif kita sebagai bangsa”.

Anggota Dewan Pers, Hinca IP Pandjaitan, menjelaskan bahwa telah ada sistem etika yang dijalankan pers Indonesia. Ia mencontohkan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini merupakan kesepakatan 29 organisasi pers di Indonesia yang kemudian ditetapkan dan diawasi pelaksanaannya oleh Dewan Pers. Dalam kode etik itu ada ketentuan mengenai hak jawab dan hak koreksi sebagai sistem etika yang bisa lebih dulu ditempuh untuk penyelesaian permasalahan pemberitaan.

Kemudian, jika sistem etika ini telah dijalankan oleh Dewan Pers atau masyarakat namun tidak dipatuhi oleh perusahaan pers, baru bisa ditempuh jalur hukum. Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers mengancam dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta kepada pers yang tidak mau melayani hak jawab.


Karena itu, menurut Hinca, hak jawab yang selama ini menjadi wilayah etika, naik kelas menjadi hukum positif. “Ini menjadi penyelamat dan menjawab persoalan Prof. (Jimly Asshiddiqie) tadi, sebaiknya sistem etika didahulukan sebelum masuk ke sistem hukum”, jelasnya.

Dalam pertemuan ini Jimly juga menjelaskan fungsi-fungsi MK. Satu di antara fungsi tersebut adalah mengawal Konstitusi, yaitu UUD 1945. Tujuannya agar konstitusi, sebagai hukum tertinggi, tidak hanya ada di atas kertas namun betul-betul bisa dikawal pelaksanaannya.

Terkait dengan putusan MK yang kadang menimbulkan ketidakpuasan dan kontroversi, Jimly menganggap hal itu sulit dihindari. Selalu ada pihak yang tidak puas terhadap putusan MK dan diberitakan pers. Menanggapi ketidakpuasan tersebut anggota MK tidak diperbolehkan memberikan pernyataan yang bersifat penjelasan atau komentar ke masyarakat luas.

“Ketika hakim mengomentari, maka dia akan menjadi pihak tertentu. Karena itu ketika wartawan bertanya ke hakim, sebaiknya tidak bertanya dengan pertanyaan why”, ungkapnya.

By Administrator| 07 November 2006 | berita |