Penegakan Hukum untuk Perangi Pornografi Butuh Kesabaran

images

JAKARTA: Penegakan hukum untuk memerangi pornografi membutuhkan kesabaran dan ketekunan dari semua pihak sehingga hukum bisa berjalan dengan semestinya.

Demikian disampaikan pakar hukum dari Universitas Indonesia Topo Santoso, di Jakarta, Senin, (27/ 11), pada acara Rapat Kerja Nasional Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIP3) bertajuk "Forum Konsolidasi KIP3 se-Indonesia Dalam Pemberdayaan Potensi Lembaga Pemantau Media".

"Hukum penegakan pornografi membutuhkan nafas panjang. Tidak bisa hanya berhenti sampai politik hukum saja," katanya.

Topo mengatakan, kebiasaan masyarakat bereaksi hanya pada saat awal saja ketika satu kasus baru terjadi. Namun, menurut dia, setelah beberapa saat masyarakat akan lupa dan tidak ada kontrol sama sekali terhadap kasus tersebut.

Dia mengatakan kasus pornografi hingga saat ini masih dianggap kasus yang ringan, yang sanksinya paling berat hanya denda. Belum ada penahanan bahkan terkadang tidak ada sanksi.

"Dapat ditarik kesimpulan kasus pornografi ini tidak dianggap serius, karena tidak ada reaksi yang jelas dari masyarakat," ujar dia.

Topo mengatakan advokasi terhadap satu kasus pornografi tidak berkelanjutan di Indonesia. Seharusnya masyarakat terus mengawasi proses penegakan hukum yang berjalan. Menurut dia, masyarakat harus mengawasi ketika kasus berada di pihak kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Masyarakat harus mengetahui keputusan dari pengadilan.

"Penegakan hukum merupakan suatu proses. Dalam kasus yang sama bisa terjadi perbedaan putusan karena ada perbedaan variabel-variabel yang mempengaruhi penegakan hukum," ujarnya.

Dia juga mengingatkan bahwa budaya hukum di setiap daerah berbeda-beda. Sehingga perlu dilihat kemanfaatan suatu hukum di satu daerah. Menurut dia, bisa jadi kemanfaatan satu hukum berbeda di daerah yang lain. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan selain kemanfaatan hukum tentu keadilan dari hukum tersebut.

Sementara itu, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Leo Batubara mengatakan, Dewan Pers tidak mungkin bergerak apabila tidak ada pengaduan dari masyarakat dalam soal pemberitaan di media massa cetak yang diduga berbau pornografi. Begitu pula dengan para penegak hukum lainnya.

Leo mengatakan perlu ada reaksi yang jelas dari masyarakat bahwa ada sesuatu yang salah yang meresahkan masyarakat. Menurut dia, selama ini masyarakat banyak melakukan protes. Namun, tidak ada pelaporan kepada Dewan Pers secara resmi.

Dia mengungkapkan dalam sosialisasinya kepada masyarakat pers dan berbagai kalangan, sikap Dewan Pers mempedomani Pasal 5 ayat (1) UU Pers dan Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang mengamanatkan: "Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul".
Penafsiran terhadap pasal 4 d: "Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi".

Leo menegaskan, Dewan Pers telah mengingatkan media-media yang berkandungan pornografi bahwa sebagian dari media tersebut bila diadukan ke pengadilan, potensial dapat diancam dengan pidana penjara. Sejumlah media lain, kata Leo, juga dapat diancam berdasar Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

"Karena Dewan Pers berwenang sebagai penegak KEJ maka pelanggaran KU HP Pasal 281, 282, 532, 533, serta UU Pers Pasal 18 ayat (2) adalah menjadi urusan the law enforces. Rambu-rambu tentang pornografi cukup lengkap. Pelanggaran banyak, cuma penegakan hukum lemah," ujarnya.

Dalam acara itu, Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIP3) sempat menyayangkan sikap Dewan Pers yang tidak tegas terhadap media yang masih menyiarkan pornografi dan pornoaksi.

"Fenomena pornografi dan pornografi bebas beredar di media massa atas alasan kebebasan pers untuk berekspresi," kata Ketua Badan Pelaksana KIP3 Hj Juniwati T Masjchun Sofwan.

Dia mengatakan, KIP3 prihatin atas merebaknya media yang mengeksploitasi pornografi sebagai komoditas utama. Menurut dia, dalam Undang-undang (UU) Pers dan Kode Etik Jurnalistik jelas disebutkan bahwa pers Indonesia dilarang memberitakan atau menyiarkan kecabulan, tetapi dalam kenyataannya hal yang dilarang itu justru dengan mudah dilanggar oleh media massa.

Dia mengatakan, UU Pers seperti "tidak berdaya" dalam menghadapi pelanggaran penyiaran pornografi oleh media massa tersebut. Oleh karena itu, dia mengatakan, KIP3 mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP) untuk segera menjadi UU, karena keberadaannya sangat dinantikan masyarakat. (M Kardeni)

 

Harian Suara KaryaSelasa, 28 November 2006
By Administrator| 30 November 2006 | berita |