Laporan Perjalanan dari India Mengikuti Simposium Internasional: PERAN PENDIDIKAN DEWAN PERS

images

Dewan Pers medapat undangan untuk menghadiri Simposium international: “Journalism Ethics and Society in the Age of Globalization”, yang diselenggarakan di New Delhi, 15-18 November 2006. Simposium ini diadakan oleh Press Council of India dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional India ke-40, yang jatuh pada tanggal 16 November, dan merupakan simbol kebebasan pers di India. Tanggal itu merupakan saat pertama kali Dewan Pers India didirikan. Simposium international ini diadakan untuk memperingatinya.

 

Dewan Pers menugaskan Leo Batubara (Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat) dan Lukas Luwarso (Sekretaris Eksekutif) untuk hadir dalam acara itu. Acara simposium dihadiri lebih dari seratus peserta, 15 diantaranya datang dari berbagai negara. Peserta asing meliputi perwakilan Dewan Pers dari 11 negara,  yaitu dari: Bangladesh Press Council, Chittagong Press Club (Bangladesh), Israel Press Council, Indonesian Press Council, Kibris (Cyprus) Turkhis Press Council, Nepal Press Council, Slovak Press Council, Srilanka Press Complaint Commission, Turkish Press Council, Media Council of Tanzania, dan pengamat pers dari State University of  New York, USA.

 

Acara simposium internasional ini dibuka secara resmi oleh Presiden India, A.P.J. Abdul Kalam. Dalam sambutan pembukaannya Presiden India menyampaikan bahwa media massa di India dikenal selalu menyorot isu-isu sosial. Menurutnya, media di India berperan penting dalam mendidik masyarakat, sehingga menjadi partner yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam rangka membangun India. Presiden juga menyinggung soal perlunya self-regulasi  media untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat dalam dunia media. Pada acara pembukaan juga turut hadir dan memberikan sambutan antara lain Menteri Informasi dan Penyiaran, P.R. Damunsi; dan Gubernur Delhi, Sheila Dhiksit, acara pembukaan dipandu oleh Ketua Dewan Pers India, G.N. Ray.

Pada sesi pertama simposium, dengan sub-topik: Ethics and Media, tampil tujuh pembicara dan tiga panelis. Pembicara pertama, Anita Pratap, wartawan freelance yang pernah bekerja untuk CNN, memaparkan bahwa di era globalisasi saat ini “media telah menjadi candu bagi masyarakat”. Seluruh sektor masyarakat telah “ketagihan” media, dari balita yang kecanduan film kartun  hingga nenek-nenek yang gemar telenovela.

Dalam kaitan dengan jurnalisme, Anita menilai, telah terjadi penurunan kualitas, karena media cenderung melakukan sensasionalisasi dan komersialisasi informasi. Akibatnya masyarakat cenderung memilih hiburan atau infotainmen, yang dikemas dengan ringan. Perkembangan media tergantung dari cara penyampaiannya, karena menurutnya, tidak ada informasi yang membosankan, yang ada hanya cara penyampaian informasi (penyiar/penulis) yang membosankan.

Pada hari kedua simposium, dengan membahas sub-topik: Role of Self-Regulatory Bodies in Media, adalah presentasi wakil masing-masing negara yang hadir, untuk berbagi informasi dan pengalaman tentang upaya menegakkan swa-regulasi media. Leo Batubara memaparkan kerja-kerja yang telah dilakukan Dewan Pers Indonesia selama enam tahun keberadaannya.

Dalam makalah berjudul Self-Regulatory Role of Indonesian Press Council, Leo Batubara menyampaikan, bahwa perubahan besar dalan iklim pers di Indonesia terjadi ketika Presiden Soeharto mundur pada 1998, kebebasan pers selain memberikan harapan untuk membangun demokrasi juga menimbulkan berbagai persoalan. Ancaman kebebasan pers di Indonesia mencakup upaya kekuatan anti-demokrasi yang  masih terus berupaya mengontrol kembali pers, termasuk dari kalangan pemerintah; di sisi lain juga masih rendahnya etika jurnalistik, seperti jurnalisme amplop di kalangan wartawan.

Leo Batubara menegaskan, kebebasan pers di Indonesia di masa depan bergantung pada tingkat pemahaman masyarakat dan mereka yang berkuasa terhadap pers dan demokrasi. “Melalui pendidikan dan kampanye yang memadai tentang pentingnya kebebasan pers bagi pembangunan masyarakat. Melakukan kampanye dan pendidikan itulah yang telah dilakukan Dewan Pers Indonsia enam tahun terakhir. Sejak berdiri pada April 2000, Dewan Pers telah menerima pengaduan sebanyak 950, serta melakukan berbagai aktivitas di berbagai kota di Indonesia untuk mengkampanyekan pentingnya mempertahankan kebebasan pers yang bertanggungjawab, serta perlunya menggunakan mekanisme yang diatur oleh UU Pers dalam menyelesaikan persoalan pemberitaan pers.”

Pemamparan Dewan Pers Indonesia, tentang peran edukasi, mendapat respon yang baik. Dewan Pers bukanlah semata-mata lembaga mediator atau arbitrase yang menyelesaikan atau medamaikan sengketa yang terkait dengan pemberitaan pers. Di negara-negara berkembang, seperti yang menghadiri simposium ini, pendidikan untuk membuat warga lebih “melek media” (media literacy) masih sangat dibutuhkan.

Sementara itu dalam presentasi masing-masing negara, bisa disimpulkan, pengalaman dan persoalan yang dihadapi Dewan Pers di Indonesia tidak begitu berbeda dengan negera lain. Bagaimana menyeimbangkan antara perlunya menjaga kebebasan pers dan hak-hak masyarakat untuk medapatkan informasi sesuai yang dibutuhkan, termasuk menghormati privasi anggota masyarakat. Persamaan lain adalah karakter kerja yang bersifat sukarela (voluntary) yang seringkali menyebabkan efektivitas lembaga seperti Dewan Pers kurang bisa optimal. Meskipun demikian di sejumlah negara, seperti India dan Bangladesh, kelembagaan Dewan Pers bersifat quasy-judicial atau semi-pengadilan, yang keputusan-keputusannya harus dipatuhi dan mengikat. Itu sebabnya, Dewan Pers di dua negara tersebut diketuai oleh seorang hakim yang masih aktif.

Kehadiran wakil Dewan Pers dalam acara simposium internasional di India sangat bermanfaat dalam upaya saling menimba pengetahuan dan pengalaman dengan Dewan Pers dari berbagai negara. Simposium di India merupakan acara ke manca negara pertama yang pernah dihadiri Dewan Pers Indonesia secara resmi selama enam tahun keberadaan Dewan Pers independen.

By Administrator| 05 Desember 2006 | berita |